Thursday, 23 May 2013

tafsir al Maraghi



TAFSIR AL-MARAGHI
Karya Ahmad Musthofa Al-Maraghi

  1. Biografi  Ahmad Musthofa Al-Maraghi.
Nama lengkap Ahmad Mustafa Al-Maraghi adalah Ahmad Mustafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im  Al-Maraghi, lahir di kota Maragah, sebuah kota yang terletak dipinggiran sungai Nil, kira kira 70 Km arah selatan kota Kairo Mesir, Pada Tahun 1300 H/1883 M. ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Maragi karena dinisbahkan pada kota kelahirannya.
Al-Maragi dibesarkan bersama delapan saudaranya dibawah naungan rumah tangga yang sarat pendidikan agama. Dikeluarga inilah Al-Maragi mengenal dasar dasar agama islam sebelum menempuh pendidikan dasar disebuah madrasah didesanya, ia sangat rajin membaca Al-qur’an, baik untuk membenahi bacaan maupun menghafalnya, karena itulah sebelum menginjak usia 13 Tahun ia telah hafal Al-qur’an.
Pada tahun 1314 H/1897 M, Al-Maragi menempuh kuliah di Universitas Al-Azhar dan Universitas Darul ‘Ulum di Kairo, karena kecerdasannya yang luar biasa, ia mampu menyelesaikan pendidikannya di dua Universitas itu pada tahun yang sama, yaitu 1909 M.
Di dua Universitas itu, ia menyerap ilmu dari beberapa ulama kenamaan seperti Muhammad Abduh, Muhammad Bukhait al-Muthi’I, Ahmad Rifa’I al-Fayumi, Muhammad Rasyid Ridha dan lain lain, mereka memiliki andil yang sangat besar dalam membentuk intelektualitas al-Maragi. Kegigihan menuntut ilmu telah membuahkan hasil, al-Maragi sangat cakap pada semua bidang ilmu agama.
Al-Maraghi mengabdikan diri sebagai guru di beberapa madrasah, tak lama kemudian ia diangkat sebagai Direktur Madrasah Al-Mu’allimin di Fayum, sebuah kota yang terletak 300 Km arah barat kota Kairo, kemudian pada tahun 1916-1920 M, ia diangkat menjadi dosen tamu di Fakultas Filial Universitas Al-Azhar, di Khartoum Sudan.
Setelah itu, al-Maragi diangkat sebagai dosen bahasa arab di Universitas Darul ‘Ulum serta dosen ilmu Balaghahdan kebudayaan pada Fakultas bahasa arab di Universitas al-Azhar. Dalam rentang waktu yang sama ia juga masih memberikan ilmunya dibeberapa madrasah, antara lain Ma’had Tarbiyah Mu’allimin, ia pun dipercaya menakhodai Madrasaah Usman Basya di Kairo.
Al-Maragi merupakan potret ulama yang mengabdikan hampir seluruh waktunya untuk kepentingan ilmu, di sela sela mengajar, ia tetap menyisihkan waktunya untuk menulis,  salah satu karya monumentalnya adalah Tafsir al-Qur’an al-Karim yang lebih dikenal dengan nama Tafsir Al-Maragi. Tafsir ini ditulis selama kurang lebih 10 tahun, sejak tahun 1940-1950 M, menurut sebuah sumber ketika al-Maragi menulis tafsirnya, ia hanya beristirahat selama 4 jam sehari, dalam 20 jam yang tersisa, ia menggunakannya untuk mengajar dan menulis.
Ketika malam telah bergeser pada paruh terakhir kira kira 3.00 al-Maragi memulai aktivitasnya dengan sholat tahajud dan hajat, memohon doa dan petunjuk  Allah, kemudian ia menulis tafsir, ayat demi ayat, pekerjaan itu diistirahatkan ketika berangkat kerja, pulang kerja, ia tidak langsung melepas lelah sebagaimana orang lain, aktivitas tulis menulisnya yang sempat terhenti, dilanjutkan kembali, kadang kadang sampai jauh malam,
Dalam mukaddimah tafsirnya al-Maragi menuturkan alasan menulis kitab tafsir, ia merasa ikut bertanggung jawab untuk mencari solusi terhadap pelbagai masalah yang terjadi di masyarakat berdasarkan Al-qur’an, di tangan al-Maragi Al-qur’an ditafsirkan dengan gaya modern sesuai dengan tuntunan masyarakat. Pilihan bahasa yang disuguhkan kepada pembacapun ringan dan mengalir lancar, pada beberapa bagian, penjelasannya cukup global, tetapi dibagian lain uraiannya begitu mendetail, tergantung kondisi.
Tafsir al-Maragi pertama kali diterbitkan  pada tahun 1951 M, terbitan pertama ini terdiri atas 30 juz, sesuai dengan jumlah juz al-Qur’an, pada penerbitan kedua terdiri dari 10 jilid, dan tafsir ini juga pernah diterbitkan 15 jilid, dan yang beredar di Indonesia adalah edisi Tafsir al-Maragi yang 10 jilid.
Al-Maragi menetap di Hilwan, sebuah kota satelit yang terletak sekitar 25 Km sebelah selatan kota Kairo, hingga meninggal dunia pada usia 69 tahun (1952 M). [1]
B-   Latar Belakang penulisan
Di dalam profil diatas sedikit diulas tentang al-Maragi menulis kitab tafsir ini adalah karena beliau merasa bertanggung jawab akan peristiwa dan problema yang terjadi di masyarakat, ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi berdasarkan dalil dalil qur’ani sebagai alternatif, maka dari itu tidak mengherankan apabila tafsir yang lahir dari buah pikiranya dengan gaya modern, yaitu disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan modern, seperti dituturkan oleh al-Maragi sendiri dalam pembukaan tafsirnya.
Dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maragi juga menggunakan ra’yi sebagai sumber dalam menafsirkan ayat ayat, namun perlu diketahui, penafsiran yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah dan susah diterima akal atau tidak didukung oleh bukti bukti secara ilmiah, dan ini juga diungkapkan oleh beliau didalam muqaddimahnya :
“ maka dari itu kami tidak perlu menghadirkan riwayat riwayat kecuali riwayat tersebut dapat diterima dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan, dan kami tidak melihat disana hal hal yang menyimpang dari permasalahan agama yang tidak diperselisihkan lagi oleh para ahli, dan menurut kami, yang demikian itu lebih selamat untuk menafsirkan kitabullah serta lebih menarik hati orang orang yang berkebudayaan ilmiah yang tidak puas kecuali dengan bukti bukti dan dalil dalil, serta cahaya pengetahuan yang benar”
Ungkapan maragi diatas menegaskan bahwa riwayat riwayat yang dijadikan sebagai penjelas terhadap ayat ayat Al-qur’an adalah riwayat yang shahih, dalam arti yang dapat digunakan sebagai hujah, disamping menggunakan kaidah bahasa arab, dengan analisis ilmiah yang disokong oleh pengalaman pribadi sebagai insan akademis dan pandangan para cendikiawan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan, ini berarti dilihat dari sumbernya al-Maragi menggunakan naql dan ‘aql secara berimbang dalam menyusun tafsirnya.[2]
Dalam konteks modern rasanya penulisan tafsir dengan melibatkan dua sumber penafsiran tersebut merupakan sebuah keniscayaan, sebab sungguh tidak mungkin menyusun tafsir dengan hanya mengandalkan riwayat semata, selain karena jumlah riwayat sangat terbatas juga karena kasus kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika social, ilmu pengetahuan, dan tehnologi yang sangat cepat, sebaliknya melakukan penafsiran dengan mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan rentan akan penyimpangan penyimpangan, sehingga justru tidak dapat diterima, mungkin dengan alasan inilah, sejak memasuki masa muta’akhirin sampai sekarang banyak penafsiran Al-qur’an yang mengkombinasikan rasio dan riwayat.
C-  Karya karya Mustafa Al-Maragi
Al-Maragi adalah ulama kontemporer terbaik yang pernah dimiliki oleh dunia islam, selama hidup, ia telah mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan dan agama, banyak hal yang telah ia lakukan, selain mengajar di beberapa lembaga pendidikan yang telah disebutkan, ia juga mewariskan kepada umat ini karya lainnya adalah sebagai berikut;
v  Al-Hisbat fi al-islam
v  Al-wajiz fi Ushul al-fiqh
v  ‘Ulumul Balaghah
v  Muqaddimat at-tafsir
v  Buhuts wa ‘Ara’ fi funun al-balaghah
v  Ad-Diyanat wa al-Akhlaq
D-   Metode dan Sistematika Penafsiran
Dari sisi metodologi Al-Maragi bisa disebut mengembangkan metode baru, bagi sebagian pengamat tafsir, al-Maragi adalah mufassir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara “Uraian Global” dan “Uraian rincian” sehingga penjelasan ayat ayat didalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu ma’na Ijmali dan ma’na tahlili. Namun tidak dapat dipungkiri, tafsir Al-Maragi sangat dipengaruhi oleh tafsir tafsir yang ada sebelumnya, terutama tafsir Al-Manar, hal ini wajar karena dua penulis tafsir tersebut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada Al-Maragi di bidang tafsir, bahkan sebagian orang berpendapat bahwa tafsir Al-Maragi adalah penyempurnaan terhadap tafsir Al-Manar yang sudah ada sebelumnya, metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Adapun metode penafsiran tafsir Al-Maragi antara lain sebagai berikut :
  1. Metode Tafsir Bil Iqtirani (Perpaduan antara bil ma’qul dan bil manqul)
  2. Metode Tafsir Muqarin / Komperasi (bila ditinjau dari segi cara penjelasannya terhadap tafsiran ayat ayat Al-qur’an) yaitu membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara dalam masalah yang sama, ayat dengan hadits (isi dan matan), antara pendapat mufasir dengan mufasir yang lain dengan menonjolkan segi segi perbedaan.
  3. Metode Tafsir Ithnab (bila ditinjau dari segi keluasan penjelasan tafsirnya), ialah penafsiran dengan cara menafsirkan ayat Al-qur’an hanya secara mendetail/rinci, dengan uraian uraian yang panjang lebar, sehingga cukup jelas dan terang yang banyak disenangi oleh para cerdik pandai.
  4. Metode Tafsir Tahlili (bila ditinjau dari segi sasaran dan tertib ayat ayat yang ditafsirkan) adalah penefsirkan ayat ayat Al-qur’an dengan cara urut dan tertib dengan uraian ayat ayat dan surat surat dalam mushaf, dari awal surat al-Fatihah hingga akhir surat an-Nas
Sistematika dan langkah langkah penulisan yang digunakan di dalam tafsir Al-Maragi adalah sebagai berikut :
  1. Menghadirkan satu, dua atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan. Pengelompokan ini dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan, ayat ayat ini diurut sesuai tertib ayat mulai dari surat al-fatihah hingga an-nas (metode tahlili).
  2. Penjelasan kosa kata (Syarah al-mufradat), setelah menyebutkan satu, dua atau kelompok ayat, Al-Maragi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut ukurannya, dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca.
  3. Makna ayat secara umum (Ma’na Ijmali), dalam hal ini Al-Maragi berusaha menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih lanjut, kelihatannya pengertian secara ringkas yang diberikan oleh Al-Maragi ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, dimana sebelumnya tidak ada mufasir yang melakukan hal serupa.
  4. Penjabaran   (Al-Idhah), Pada langkah terakhir ini, Al-Maragi memberikan penjelasan yang luas, termasuk menyebutkan asbabun nuzul jika ada dan dianggap shahih menurut standar atau kriteria  keshahihan riwayat para ulama, dalam memberikan penjelasan, kelihatannya Al-Maragi berusaha menghindari uraian yang bertele tele, serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahas yang sederhana, singkat, padat, dn mudah dipahami oleh akal.[3]
Namun demikian dikalangan penganut tafsir salafi, Tafsir Al-Maragi dianggap kontroversial dan banyak ditinggalkan, tafsir ini sangat digemari oleh para pelajar yang mengkaji tafsir dibangku perguruan tinggi, gaya penafsirannya  dianggap modern, yakni berusaha menggabungkan berbagai mazhab penafsiran, terutama metode tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi, kelompok yang membela Al-Maragi mengatakan, penafsiran sang Syech bersumber dari periwayatan yang relative terpelihara dari riwayat yang lemah dan susah diterima akal atau tidak didukung oleh bukti bukti secara ilmiah, pernyataan itu mengacu kepada ucapan Al-Maragi dalam muqadimah kitab tafsir itu.
Bagian paling kontroversi dalam tafsir Al-Maragi antara lain bahwa kisah maskh atau azab yang merubah muka bani israil menjadi rupa monyet dalam Al-qur’an bukan kejadian sungguhan, melainkan hanya simbol saja. Al-Maragi juga mengatakan bahwa adam bukanlah bapak manusia ( juz 1/ hal 77) dan Hawwa tidak diciptakan dari tulang rusuknya (juz 1/ hal 93), ia mengatakan , “sesungguhnya kajian ilmiah dan historis tidak dapat menguatkan bahwa Adam adalah Abul Basyar/bapak manusia” (juz IV/177 dan juz 1/95)
E-   Aliran atau Kecenderungan Penafsiran
Para mufasir yang mempunyai kecenderungan tersendiri dalam menafsirkan ayat ayat Al-qur’an itu akan menimbulkan aliran aliran tafsir Al-qur’an, diantaranya ialah tafsir lughawi/adabi, tafsir al-fiqh, tafsir shufi, tafsir ‘Ilmi, tafsir falsafi.
Menurut Prof.Dr. H Abd Djalal bahwa aliran tafsir Al-Qur’an ada tujuh yakni :
  1. Tafsir lughawi/adabi                   5-  Tafsir Syi’i/bathini
  2. Tafsir fiqh/ahkam                                    6-  Tafsir Aqli/falsafi
  3. Tafsir shufi/’isyari                                    7-  Tafsir ‘Ilmi/asri
  4. Tafsir ‘itizali
Menurut Prof.Dr. Quraish Shihab aliran (corak) ada:
  1. Fiqhy                                            5-  Falsafy
  2. Shufy                                           6-  Adaby
  3. ‘Ilmy                                              7-  ‘Ijtimaiy
  4. Bayan
Dari pengertian tersebut maka tafsir Al-Maragi termasuk aliran atau kecenderungan tafsir lughawi/adabi yang menitik beratkan kepada bahasa meliputi segi ‘Irab dan harakat bacaannya, pembentukan kata, susunan kalimat, kesusastraan.[4]
F-  Menghindari Israiliyat
Al-Maragi sengaja mengelak dari menyinggung masalah israiliyat, mengenai ahlul kitab, ia mengatakan. “ Sesungguhnya mereka itu membawa kepada kaum muslimin pendapat pendapat didalam kitab mereka, berupa tafsiran yang tidak diterima oleh akal, dinafikan oleh agama dan tidak dibenarkan oleh realita serta sangat jauh dari hal yang dapat dibuktikan oleh ilmu pada abad abad setelahnya.”

G-  Contoh Penafsiran
(diKutip dari tafsir Al-Maragi Surat Al-Baqarah : 177)
Artinya : “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Qs : Al-Baqarah:177)
                      
Penafsiran kata kata sulit
Al-Birru                                             : secara bahasa artinya memperbanyak kebaikan, asal kata adalah al-barr (daratan), dan lawan katanya adalah al-bahr (laut). Menurut istilah syariat setiap sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk taqarrub kepada Allah, yaini Iman, amal shaleh, dan akhlak mulia.
Qibalal-Masyriqi wal-Maghrib              : Mengarah kepada dua arah tersebut
Wa-aatal-Maal                                        : Memberi harta benda
Al-Miskiin                                                : tetap diam, sebab kebutuhan telah  menjeratnya
Ibnus-Sabiil                                            : orang yang sedang mengadakan perjalanan jauh, sehingga tidak dapat menghubungi kerabatnya untuk memina bantuan.
As-Saail                                                   : orang yang meminta minta kepada orang lain karena terdesak kebutuhan hidup.
Ar-Riqaab                                                : membebaskan budak (hamba sahaya)
‘Aqamas-Sholaah                                 : mendirikan sholat sebaik mungkin, atau seperti yang diperintahkan Allah
Al-ahdu                                                    : janji atau suatu ikatan yang dipegang teguh oleh sesorang kepada orang lain
Al-ba’sa                                                   : diambil dari kata kata (Al-busu’) artinya fakir atau sangat miskin
Ad-Darra’                                                 : setiap sesuatu yang membahayakan manusia, seperti penakit atau kehilangan yang dicintai
Shadaquu                                               : benar benar mengaku beriman
Pengertian Umum (ma’na Ijmali)

Ketika Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk memindahkan kiblat dari baitul Maqdis ke Ka’bah, orang orang ahli kitab menentang perintah tersebut, akhirnya terjadilah perdebatan sengit antara kaum muslimin dengan mereka, para ahli kitab berpendapat bahwa sholat yang dilakukan dengan tidak menghadap kiblat ahli ktab adalah tertolak di hadapan Allah, dan orang yang melakukannya tidak mengikuti petunjuk para Nabi, sebaliknya kaum muslimin mengatakan bahwa yang mendapat ridha Allah ialah yang menghadap Masjidil Haram, yakni kiblat Nabi Ibrahim dan para nabi sesudahnya.
Memperhatikan masalah tersebut, Allah menjelaskan bahwa menghadap kiblat secara tertentu itu bukanlah merupakan kebajikan yang dimaksud agama, sebab di syari’atkannya Menghadap kiblat itu hanya untuk mengingatkan orang yang sedang menjalankan sholat bahwa dirinya dalam keadaan menghadap Tuhan, di samping itu berarti ia sedang meminta kepada Tuhan, berpaling dari selain Allah, agar dijadikan sebagai lambang persatuan umat yang mempunyai tujuan satu, dengan demikian ajaran ini mendidik umat islam untuk terbiasa mengambil kesepakatan dalam selrusan urusan mereka, bersatu dan melangkah secara bersama sama menuju cita cita.
Penjelasan  (Al-Idhah)
        (laisal- Birra- an- tuawwluu-wujuuhakum-qibalal-masyriqi-wal-maghrib)
Menghadap ke Timur atau ke Barat itu tidak mengandung unsur  kebajikan, pekerjaan itu pada hakekatnya tidak merupakan suatu kebaikan.
(walakinnal-birra-man- aamana- billaahi-wal-yaumi aakhiri-wal-malaaikati-wal-kitaabi-wan-nabiyyiin)
Tetapi yang dinamakan kebaikan yang sesungguhnya adalah iman yang dibuktikan dengan amal perbuatan dan tingkah laku yang mencerminkan keimanan tersebut.
Iman kepada Alah adalah dasar semua kebaikan, dan kenyataan ini takkan pernah terbukti melainkan jika iman telah meresap kedalam jiwa dan merayap keseluruh pembuluh nadi yang disertai dengan sikap khusu’, tenang, taat, dan hatinya tidak akan meledak ledak lantaran mendapatkan kenikmatan, dan tidak berputus asa ketika tertimpa musibah, hal ini sesuai firman Allah ;
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”
Iman kepada hari akhir mengingatkan manusia bahwa ternyata terdapat alam lain – yang ghaib, kelak di akhirat yang akan dihuni, karenanya hendaklah usahanya itu jamgan dipusatkan untuk memenuhi kepentingan jasmani atau cita cita meraih duniawi saja atau memuaskan hawa nafsu.
Iman kepada malaikat adalah titik tolak iman kepada wahyu, kenabian dan hari akhir, siapapun yang menolak keimanan terhadap malaikat berarti mengingkari seluruhnya, sebab diantara malaikat itu ada yang bertugas sebagai penyampai wahyu kepada para Nabi, dan memberikan ilham mengenai  persoalan agama, seperti firman Allah
Artinya : “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izinTuhannya untuk  mengatur segala urusan. (Al-qadar :4)
Iman kepada kitab kitab samawi yang dibawa oleh para nabi mendorong seseorang untuk mengamalkan kandungan kitab yang berupa perintah maupun larangan, sebab orang yang yakin bahwa sesuatu itu benar, maka hatinya akan tergerak untuk mengamalkannya, dan jika ia yakin bahwa sesuatu itu sangat mambahayakan dirinya tentu akan menjauhkan dan tidak mengamalkannya.
Iman kepada Nabi mendorong untuk mengikutinya, dan menjauhkan diri dari perbuatan bid’ah dan ketidaktahuan dalam menjalankan syariat sehingga menyimpang dari sunahnya,  Al-Maragi memberikan contoh dalam pembacaan Syi’ir – syi’ir yang terdapat dalam kitab Dalalil-khairat dan Madaih Nabawiyah.
(Wa-atal-maala-‘alaa-hubbihii-dzawil-qurbaa-wal-yataamaa-wal-masaakiin-wabnis-sabiil-was-saai’ilin-wa-firriqaab)
Mengeluarkan harta kepada orang orang yang membutuhkan karena belas kasihan terhadap mereka, adalah ditujukan kepada orang orang sebagai berikut :
1-      Sanak famili  yang membutuhkan, mereka adalah orang yang paling berhak menerima uluran tangan, karena berdasarkan fitrahnya  manusia akan merasa lebih kasih saying terhadap sanak familinya yang hidup miskin disbanding orang lain.
2-      Anak yatim, yakni anak anak kaum miskin yang tidak mempunyai ayah yang memberikan nafkah kepada mereka.
3-      Kaum fakir miskin, mereka adalah orang orang yang tidak mampu berusaha mencukupi hidupnya.
4-      Ibnu sabil (orang yang sedang perjalanan jauh) di dalam syari’at diperintahkan untuk memberi pertolongan kepada merekauntuk bisa melanjutkan perjalanan.
5-      Orang yang meminta minta, yakni orang yang terpaksa melakukan pekerjaan meminta kepada orang lain karena terdesak oleh kebutuhannya.
6-      Memerdekakan budak atau hamba sahaya, dalam pembicaraan ini termasuk didalamnya adalah menebus tawanan perang dan memberikan bantuan kepada hamba yang telah menandatangani perjanjian dengan majikannya untuk kemerdekaannya yang dibayar dengan cara angsuran (kitabi).
(Wa-aqaamas-sholaata)
Artinya mendirikan sholat sebaik mungkin, hal ini tentu saja tidak cukup dengan melaksanakan gerak gerak sholat dan doa doa saja, tetapi harus disertai dengan memperhatikan rahasia yang terkandung di dalam sholat. Pelakunya harus mempunyai akhlaq mulia dan menjauhkan diri dari pelbagai perbuatan rendah. Karena orang yang melakukan sholat tentu tidak akan berbuat keji dan mungkar.
Artinya : “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”
(Wa-aataz-zakaata)و ع تز زاكآتو 
Menunaikan zakat yang diwajibkan, sedikit sekali penyebutan perintah sholat dalam Al-qur’an yang tidak diiringi dengan penyebutan zakat, sebab sholat itu berfunsi pembersih rohani, dan harta benda erat kaitannya dengan masalah ruhani, karenanya menginfaqkan harta termasuk tiang pokok kebajikan, para sahabat Nabi telah sepakat memerangi orang orang yang tidak mau membayar zakat setelah Nabi wafat, yakni orang orang arab.
(Wal-muufuuna- bi’ahdihim-idza- ‘aahadu)
Orang orang yang menepati janjinya jika mereka mereka mengadakan perjanjian mengenai sesuatu, janji ini mencakup semua perjanjian yang biasanya dilakukan oleh seseorang dengan orang lain, dan perjanjian yang dilakukan oleh kaum mu’min kepada Tuhan mereka – yakni janji akan taat dan mengikuti seluruh perintahNya, dan apabila ia berbuat maksiat berarti tidak menepati janjinya.
(Was-shobiriina-fil-ba’saai-wad-dharrai-wa-hiinal- ba’sa)
Orang orang yang bersikap sabar ketika tertimpa kesengsaraan (miskin), atau terkena musibah seperti kematian, kehilangan harta, atau tertimpa penyakit, dan ketika berada di medan perang atau sedang berkecamuknya peperangan dengan musuh. Allah mengkhususkan sabar dalam tiga hal tersebut, sedang bersikap sabar di dalam masalah lain dan keadaan yang berbeda juga merupakan sikap terpuji.
(Ulaaikal-ladziina-shodaquu)
Mereka adalah orang orang yang benar benar keimanannya, dan mereka bukan termasuk kelompok yang mengaku beriman hanya dimulut, sedang hatinya tidak beriman.
(Wa-ulaaika-humul-muttaquuna)
Dan merekalah orang orang yang membuat benteng antara diri  mereka dengan murka Tuhan dengan cara meninggalkan berbagai kemaksiatan yang mengakibatkan turunnya hukuman Allah di dunia dan di akhirat.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa siapapun yang menjalankan ayat ini, berate telah mempunyai kesempurnaan iman, atau ia telah mencapai derajat tertinggi dalam masalah iman.[5]
Daftar pustaka :
1-    Ahmad Mustofa Al-Maragi                  : Tafsir Al-Maragi
2-    Saiful Amin Ghofur                               : Profil para mufasir Al-qur’an
3-   http//refrensiagama.blogspot.com
4-   http://www.psq.or.id/tafsir


[1][1] Siaful Amin ghofur           : Profil para mufassir Al-Qur’an, Pustaka Insan Madani, Yogjakarta 2008
[2] http://www.psq.or.id/tafsir
[3] http//refrensiagama.blogspot.com
[4] http//refrensiagama.blogspot.com
[5] Ahmad Mustafa Al-Maragi   : tafsir Al-Maragi

Sunday, 12 May 2013

Ibnu Rusyd (Filusuf Islam)



IBN RUSYD
1. Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Walid Muhammad ibn Muhammad ibn Rusyd, di Barat dan literatur Latin abad Tengah akhir ia kenal dengan nama Averrous. Ia dilahirkan di Cordova pada 520 H (1126 M) dari keluarga yang terkenal alim dalam ilmu fikih di spanyol-Islam. Kakeknya dari pihak ayah yang pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia, disamping kedudukannya sebagai salah seorang ahli hukum terkemuka dalam Mazhab Maliki, salah satu mazhab yang sangat dominan dalam wilayah Maghribi dan Andalusia. Selain itu,sosial. Namun ketika kelahiran Ibn Rusyd, Daulah Murabhitun didirikan oleh yusuf aghribi dan Andalusia. Selain itu, kakeknya juga aktif dalam kegiatan politik dan sosial. Namun ketika kelahiran Ibn Rusyd, Daulah Murabhitun didirikan oleh Yusuf ibn Tashfin (1090-1106 M) di Maghribi dan berakhir dimasa kesultanan kelima, Ishak (1146-1147M). Dunia intelektual pada masa ini didominasi oleh para ahli fikih yang bersikaf sangat tidak simpatik terhadap ilmu-ilmu rasional sedang berada dijurang keruntuhan. Empat tahun setelah kelahiran Ibn Rusyd, Muhammad ibn Tumart (1078-1130 M). Pemimpin Daulah Muwahhidin wafat.
Dibawah asuhan keluarga yang terdidik dan terpandang, serta kondisi politis inilah Iibn Rusyd lahir dan berkembang menjadi dewasa. Ia mempelajari ilmu fikih dari ayahnya, sehingga dalam usianya yang masih muda Ibn Rusyd telah hafal kita al-muwaththa’ karangan Imam Malik. Disamping itu, ia belajar ilmu kedokteran kepada Abu Ja’far Harun dan Abu Marwan ibn Jarbun al-Balansi, sedangkan logika, filsafat dan teologi ia peroleh imu ibn Thufail. Ia juga mempelajari sastra Arab, matematika, fisika dan astronomi. Ia dipandang sebagai filsuf yang menonjol pada periode perkembangan filsafat islam mencapai puncaknya (700-1200M). Keunggulan terletak pada kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang besar fase-fase tertentu pemikiran Latin dari tahun 1200-1650 M.
Pada tahun 1153 Ibn Rusyd pindah ke Maroko, memenuhi permintaan Khalifah Abd al-Mu’min, khalifah pertama dari Dinasti Muwahhidin, khalifah ini banyak membangun sekolah dan lembaga ilmu pengetahuan, ia meminta Ibn Rusyd untuk membantunya mengelola lembaga-lembaga tersebut.
Pada tahun 1169 risalah tentang pokok tentang medis, al-risalah, telah diselesaikannya, dan pada tahun yang sama pula, ia diperkenalkan oleh Ibn Thufail kepada Khalifah Abu Ya’qub. Hasil dari pertemuan ini Ibn Rusyd diangkat sebagai qhadi di Saville. Ia memanfaatkan kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya. Diriwayatkan bahwa Ibn Rusyd hanya dua malam melewatkan begitu saja tanpa membaca dan menulis, yaitu malam meninggal ayahnya dan malam perkawinannya. Berbeda dengan Ibn Sina, Ibn Rusyd tidak gemar menghadiri tempat-tempat hiburan dan menyaksikan tari-tarian, sehingga ia lebih disegani dan dihormati. Semenjak itu pula, ia mulai menafsirkan karya-karya Aristoteles atas permintaan khalifah tersebut. Keberhasilan menafsirkan karya-karya Aristoles ini menjadikan ia terkena dengan gelar “komentator Aristoteles”.
Dua tahun setelah menjadi qhadi di Saville, ia kembali ke cordova menduduki jabatan hakim agung (qhadi al-qhudat). Selanjutnya pada tahun 1182 ia bertugas sebagai dokter khalifah di istana al-Muwahhidin, Maroko menggantikan Ibn Thufail.
Pada tahun 1195 keadaan berubah akibat pengaruh politik. Sultan Abu Yusuf memerlukan dukungan ulama dan fhuqaha untuk menghadapi peperangan melawan kaum Kristen. Kerena itu, Sultan menangkap dan mengasingkan Ibn Rusyd kesuatu tempat bersama Lucena (……….) yang terletak sekitar 50 km diarah Tenggara Cordova, guna mendapatkan simpati dan bantuan dari para ulama dan fhuqaha dalam peperangan tersebut. Pengasingan itu sendiri dilakukan berdasarkan tuduhan sebagian ulama dan fhuqaha bahwa Ibn Rusyd adalah seorang zindik dan kafir. Semua bukunya dibakar, terutama buku-buku filsafat, kecuali buku-buku kedokteran, astronomi, dan matematika.
Atas jasa baik pemuka kota Seville yang menghadap khalifah untuk membujuknya membebaskan Ibn Rusyd, akhirnya ia dibebaskan. Kemudian, ia kembali ke Maraques, Maroko, tetapi tidak lama sesudah itu ia wafat dikota ini pada 9 safar 595 H (10 Desember 1198 M). Setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya dipindahkan ke Cordova untuk dikebumikan dipekuburan keluarganya. Ahli Tasawuf terkenal, Muhyi al-Din ibn Arabi (1165-1240 M), menghadiri pemakamannya kembali. Konon, waktu pemindahan jenazahnya diangkut dua ekor keledai, seekor keledai membawa jenazah dan seekor lagi membawa tumpukan kitab-kitab dan sejumlah karyanya.
2. Karyanya
Ibn Rusyd menulis banyak dalam bidang, antara lain ilmu fikih, kedokteran, ilmu falak, filsafat, dan lain-lain. Sebenarnya karyanya yang paling besar berpengaruh di Barat, yang dikenal dengan Averroism adalah komentar atas karya-karya Aristoteles, bukan saja dalam bidang filsafat, juga dalam bidang ilmu jiwa, fisika, logika dan akhlak. Manuskrip-manusrip Arabnya sudah tidak ada, namun masih terdapat terjemahan-terjemahannya dalam bahasa Latin dan Ibrani. Karya-karya lain adalah:
1. Bidayah al-Mutjahidin wa Nihayah al-Muqthasid fi al-Fiqh.
2. Kitab al-Kuliyat fi al-Thib, telah diterjemahkan dalam bahasa Latin,
3. Tahafut al-Tahafut, yang merupakan sanggahan terhadap kitab Al-Gazali, Tahafut al-Falasifah, telah diterjemahkan kedalam bahasa Latin dan banyak mempengaruhi Thomas van Aquinas.
4. Al-Kasyf’an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah
5. Fash al-Maqal fima bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-ittishal, kedua buku tersebut (no.4 dan 5) merupakan kajian teologi, yang mencoba mempertemukan agama dengan filsafat.
3. Filsafatnya
Filsafat Ibn Rusyd sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles . Hal itu wajar, karena ia banyak menghabiskan waktunya meneliti dan membuat komentar-komentar terhadap karya-karya Aritoteles dalam berbagai bidang, sehingga ia digelar Syarih(Komentator).
Aristoteles menurut pendapatnya adalah manusia istemewa dan pemikir terbesar yang telah mencapai kebenaran yang tidak mungkin bercampur kesalahan. Kadang-kadang manusia salah memahami buku-buku Aristoteles sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Rusyd dari kitab-kitab Al-Farabi dan Ibn Sina. Ibn Rusyd dalam beberapa hal tidak setuju dan berbeda pendapat dengan kedua filsuf ini dalam memahami filsafat Aristoteles. Ibn Rusyd berkeyakinan jika Filasaft Aristoteles dapat dipahami dengan sebaik-baiknya, pasti tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang mampu dicapai oleh manusia. Bahkan, perkembangan manusia telah mencapai tingkat yang paling tinggi pada diri Aristoteles. Kegaguman Ibn Rusyd terhadap Aristoteles lebih dari itu, sehingga ia menilai seolah-olah ilham tuhan menghendaki agar Aristoteles menjadi teladan bagi otak manusia yang tertinggi dan adanya kesanggupan untuk mendekati akal universal. Kekaguman ini dapat dilihat dalam bukunya al-Thabia’ah (fisika) dan pada beberapa tempat dari kitabnya Tahafut al-tahafut.
Sekalipun Ibn Rusyd sangat terpengaruh dengan pikiran Aristoteles, bukanlah berarti ia sangat memahami pikirannya. Karena ia tidak mendalami bahasa Yunani, dimana buku-buku Aristoteles ditulis dalam bahasa itu. Ia memahami pikiran-pikiran Aristoteles atas bantuan buku-buku terjemahan dan ulasan-ulasan para ahli . “Al-Iraqi menyatakan : oleh karena Ibn Rusyd tidak mengenal bahasa Yunani, maka ia mempergunakan terjemahan–terjemahan karya para ahli, seperti Hunain bin Ishak, Ishak bin Hunain, Yahya bin Ady, dan Abu Basyar Mata. Lalu ia membandingkan antara terjemahan-terjemahan itu, sehingga menemukan yang lebih kuat diantaranya. Ia membersihkan pikiran Aristoteles dari pikiran plotinus. Dengan demikian, dimungkinkan pengetahuannyannya tentang pikiran-pikiran Aristoteles bukan bersifat yakini (burhan), tetapi merupakan dugaan melaui ulasan-ulasan para ahli yang tidak terlepas dari kesalahan.
Ibn Rusyd sebagai filsuf besar, juga memikir, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang dipikirkan oleh filsuf-filsuf sebelumnya. Ia tidak menerima begitu saja pikiran-pikiran mereka, tetapi menerima setuju dan menolak yang sebaliknya. Ia mengkritik Al-farabi, Ibn Sina, Al-Gazali, Ibn Bajjah, dsb. Hal ini tergantung pada masalah yang dibahas.
a. Metode Pembuktian Kebenaran
Sejalan dengan pengajaran syari’at untuk pembuktian kebenaran konsep (tashdiq), metode dapat dipergunakan ada tiga macam yaitu:
1. Metode Retorika (al-khatabiyyah)
2. Metode Dialektik (al-jadaliyyah)
3. Metode Demonstratif (al-burhaniyyah)
Metode retorik dam dialektik diperuntukkan bagi manusia awam, sedangkan metode demonstratif secara spesifik dikonsumsikan bagi kelompok kecil manusia. Tentu saja Al-qur’an sebagai kitab suci untuk semua lapisan umat, tersahuti didalamnya semua aspek kehidupan sejalan dengan maksud kehadirannya pembawa rahmat untuk semesta alam.
Dalam konteks syari’at, metode-metode terbagi kepada empat macam kategori:
1. Metode yang bersifat umum, sekaligus bersifat khusus. Yaitu metode yaqini (dipastikan kebenarannya) dalam pembuktian kebenran meskipun dalam bentuk retorik atau dialektik. Wujud dari metode ini adalah silogisme (al-maqayis) yang mencapai tingkat kepastian, sekaligus premis-premis yang ditengahkannya bersifat mahsyur (benar karena dukungannya pendapat umum) atau madhmum (benar karena dugaan umum). Konklusinya diambil dari dirinya sendiri secara langsung, bukan dari perumpamaan-perumpamaannya. Dalil-dali syaria’at semacam ini tidak membutuhkan takwil, bahkan seseorang yang mengingkari atau memberi interpretasi, dapat menjadi kafir.
2. Metode yang premis-premisnya sekalipun bersifat mahsyur atau madhmum, namun kebenarannya mencapai tingkat pasti (yaqini). Metode ini konklusinya diambil dari perumpamaan-perumpamaan bagi obyek-obyek yang menjadi tujuannya. Konklusi ini membuka pintu untuk ditafsirkan.
3. Kebalikan dari yang kedua, yaitu metode yang konklusinya berupa obyek-obyek yang hendak disimpulkan itu sendiri. Sedangkan premis-premisnya bersifat mahsyur atau madhmum, tanpa terbuka kemungkinan untuk mencapai tingkat yaqini. Kategori ini konklusinya tidak membutuhkan takwil sekalipun seringkali takwil terjadi pada premis-premisnya.
4. Metode yang oremis-premisnya bersifat mahsyur atau madhmum, tanpa membuka kemungkian untuk mencapai tingkat yaqini. Dan konklusinya berupa perumpamaan-perumpamaan bagi obyek-obyek yang dituju. Bagi orang-orang tertentu, metode ini harsu ditaqwilkan, sedangkan bagi oarng awam harus diartikan menurut makna lahiriahnya.
Semuan kategori diatas berpeluang untuk ditaqwilkan dengan metode demonstratif oleh orang-orang tertentu (khawwash), sedangkan bagi masyarakat umum (al-jumhur) cukup memahaminya menurut makna lahirnya sesuai dengan kapasitas kemampuan. Tentu saja, pembuktian melalui taqwil lebih memuaskan daripada pemahaman secara lahiriah. Karena itu, mereka yang mendalami syariat cenderung untuk memilih taqwil.
b. Metafisika
Dalam masalah ketuhanan Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah penggerak pertama (muharrik al-awwal). Sifat positif dapat diberikan kepada Allah ialah “Akal” dan “Maqqul”. Wujud Allah ialah Esa-Nya. Wujud dan ke Esa-an tidak berbeda dari Zat-Nya.
Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles, Potinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama islam yang dipeluknya. Mensifati tuhan dengan “Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai sebagai Penggerak Pertama, tidak pernah dijumpai dalam pemahaman islam sebelumnya, hanya dijumpai dalam filsafat Aristoteles dan Plotunis, Al-Farabi, dan Ibn Sina.
Dalam pembuktian adanya Tuhan, golongan Hasywyah, Shufiah, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Falasifah, masing-masing golongan tersebut mempunyai keyakinan yang berbeda satu sama lainnya, dan menggunakan ta’wil dalam mengartikan kata-kata syar’I sesuai dengan kepercayaan mereka.Golongan Hasywiyah berpendapat bahwa cara mengenal Tuhan adalah melalui sama’ (pendenagaran) saja, bukan melalui akal. Mereka berpegang pada lahir kata-kata Al-Qur’an tanpa menggunakan ta’wil. Ibn Rusyd menolak jalan pikiran yang demikian. Katanya: Islam mengajak kita untuk memperhatikanalam maujud ini dengan akal pikiran, seperti yang terdapat pada surah al-hasyr ayat 2 yang menunjukkan atas wajib menggunakan qiyas syar’I dan qiyas “aqli” (sylogisme) dan sebagainya.
Cara mengenal tuhan menurut golongan Tasawuf bukan bersifat pemikiran yang tersusun dari premis-premis yang menghasilkan kesimpulan. Karena menurut mereka mengenal Tuhan dan maujud-maujud lainnya dalah melalui jika kita sudah terlepas dari hambatan-hambatan dari kebendaan dan mengahdapkan pikiran apa yang dituju. Ibn Rusyd mengatakan bahwa apabila kita terima keternagan tersebut, maka tidak bisa juga diperlakukan untuk umum, sebagaimana manusia yang mempunyai pikiran. Bahkan, jalan tersebut berlawanan dengan syari’at yang menyuruh mempergunakan pikiran.
Setelah mengemukakan kelemahan-kelemahan bukti golongan-golongan tersebut diatas, Ibn Rusyd menerangkan dalil-dalil yang meyakinkan:
1. Dalil inayah al-Hilahiyah (Pemeliharaan Tuahan). Dikemukakan bahwa alam seluruhnya sangat sesuai dengan kehidupan manusia. Persesuain ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukkan adanya pencipta yang sangat bijaksana. Semua kejadian alam sangat cocok dengan fitrah manusia, seperti siang, malam, matahari, bulan, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan anggota tubuh mansuia. Tidak munkin terjadi dan terpelihara semuanya itu tanpa pencipta yang bijaksana. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya QS. Al-Naba; 78-67. (…………………………………………………………) Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan, dan gunung-gunung sebagai pasak?
2. Dalil iktira (dalil ciptaan). Termasuk dalam dalil ini ialah wujud segala macam hewan, tumbuh-tumbuhan, langit, dan bumi. Segala yang maujud di alam ini adalah diciptakan. Segala yang diciptakan harus ada yang menciptakan. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, antara lain QS haji; 22:73. (…………………………………………………………………) Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkan olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu sembah selain Allah sama sekali tidak dapat menciptakannya seekor lalatpun, kendatipun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemat (pulalah) yang disembah.
3. Dalil harkah (gerak)
Alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yang abadi. Gerakan tersebut menujukkan adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan bukan benda, yaitu Tuhan.
Dalil pertama dan dalil kedua disepakati oleh semua pihak sesuai dengan syaria’at karena adanya ayat-ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan kepada dalil tersebut, seperti surah al-Naba’ ayat 616 yang menunjukkan tentang persesuaian bahagian-bahagian alam dengan manusia. Demikian juga surat al-Aqraf ayat 185 yang menunjukkan bahwa alam ini diciptakan. Dalil-dalil tersebut sesuai pula dengan teori filsafat. Adapun dalil ketiga ialah dalil yang pertama kali dicetuskan oleh Aristoteles yang kemudian dipergunakan oleh Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd sendiri.
Adapun mengenai sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd lebih dekat kepada paham mu’tazilah. Dalam hal I ini ia menggunakan prinsip tasybih dan tanjih (penyamaan dan penyucian). Cara pertama digunakan dalam menetapkan beberapa sifat positif (ijabiyyah) kepada Allah, yakni sifat-sifat yang dipndang sebagai kesempurnaan bagi makhluk-Nya. Karena bagaimana mungkin dapat dianfikan sifat-sifat yang semacam dari Allah, sedangkan dia adalah sumber dan sebab bagi adanya sifat-sifat tersebut pada makhluk-Nya. Sedangkan cara kedua ialah kekurangan yang terdapat dalam diri makhluk. Seperti sifat ‘ilm, sebagai salah satu sifat positif, diakui sebagai sifat Allah mestilah dalam wujud yang lebih tinggi, lebih sempurna secara mutlak daripada sifat ilmu manusia yang relatif. Ilmu Allah menjangkau segala sesuatu, dan tidak suatu pun terjadi tanpa diketahui-Nya (lihat QS. Al-An’am; 6:59 dan saba’; 34:3).
Sebenarnya Ibn Rusyd bermaksud mengkritik pendapat Ibn Sina yang menyatakan bahwa Allah mengetahui sesuatu yang persial dengan ilmu yang kulli (universa), dan pendapat Asy’ariyah yang menyatakan bahwa Allah mengetahui hal-hal yang persial dengan ilmu qadim, disisi lain mereka juga mengatakan bahwa yang berkaitan dengan yang baharu, maka ia juga baharu. Bagi Ibn Rusyd, tidak tepat menyatakan secara terbuka bahwa ilmu Allah itu qadim atau baru, yang terpenting dijelaskan bahwa alam ghaib tidak dapat diperbandingkan dengan alam baharu, dengan kata lain Ilmu Allah tidak dapat diperbandingkan dengan Ilmu Manusia.
Mengenai hubungan zat dengan sifat Allah, Ibn Rusyd memahami sifat-sifat Allah sebagai ‘itibarat dzihniyyah (pandangan akal) terhadap zat Allah yang Maha Esa. Karena itu, bagi orang awam cukup diajarkan sifat-sifat Allah sebagai yang digariskan dalam syara’, tidak perlu secara filosofis seperti dipahami mu’tazilah, atau sperti dipahami oleh asy’ aryah bahwa sifat berbeda dengan zat, karena penafsiran semacam Asy’ Aryah ini hanya dapat dibenarkan pada alam manusia atau benda.
c. Tanggapan terhadap Al-Ghazali
Melalui buku Tahaful al-Falasifah (Kekacauan Pemikiran Para Filsuf) Al-Ghazali melancarkan kritik keras para filsuf dalam 20 masalah. Tiga dari masalah tersebut, menurut Al-Ghazali, dapat menyebabkan kekafiran. Permasalahan dimaksud adalah: Pertama qidamnya alam. Kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Ketiga, tidak adanya pembangkit jsmani.
Sehubungan serangan dengan pengkafiran Al-Ghazali itu, Ibn Rusyd tampil membela para filsuf dari serangan dari pengkafiran. Dalam rangka pembelaan itulah ia menulis buku Tahafut al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan), yang menujukkan secara tegas bahwa Al-Ghazali-lah yang sebenarnya yang dalam kekacauan pemikiran, bukan para filsuf. Berikut penjelasan Ibn Rusyd terhadap Al-Ghazali dalam tiga masalah tersebut.
Pendapat Filsuf tentang Qadimnya Alam
Pendapat para filsuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima kalangan teologi Islam, sebab menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah Pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini membawa kekufuran. Demikian gugatan Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah.
Ibn Rusyd, begitu para filsuf lainnya berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam), Yang mungkin terjadi ialah “ada’ yang berubah menjadi “ada” dalam bentukl lain.
Pernyataan bahwa creatio ex nihilio tidak didukung oleh dasar syari’at yang kuat, disanggah oleh Ibn Rusyd. Tidak ada ayat yang menyatakan bahwa Tuhan bermulanya yang berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari merupakan pendapat dan interpretasi kaum teolog.
Pendapat Ibn Rusyd ini didukung oleh beberapa ayat Al Qu’an yang mengandung pengertian bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada, seperti ayat berikut ini. (…………………………………………………………………..)
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya diatas air, agar Diq menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya…..(QS. Hud; 11:70).
Ayat ini menurut Ibn Rusyd, mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumu telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang di atasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, dan adanya masa sebelum masa diciptakannya langit dan bumi. Tegasnya, sebelum langit dan bumi dicptakan telah ada air, tahta, dan masa. (………………………………) Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap…(QS. Fhusilat; 41:11)
Ayat-ayat sebelum ayat ini menyatakan bahwa tuhan menciptakan bumi dalam dua hari (masa), dihiasi-Nya dengan gunung-gunung dan diisi-Nya dengan berbagai macam makanan. Kemudian barulah Tuhan naik ke langit yang pada waktu itu masih merupakan uap. Ibn Rusyd menafsirkan ayat ini mengandung arti bahwa langit dijadikan dari sesuatu uap.
(…………………………………………………………………………..) Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwa sanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman. (QS. Al-Anbiya’;21:30)
Ayat ini diberi interpretasi bahwa bumi dan langit pada mulanya berasal dari satu unsur yang sama, kemudian baru dipecah menjadi dua benda yang beralainan.
Dari ayat-ayat di atsa dapat ditarik kesimpulan, bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan telah ada benda lain. Dalam sejala yang timbul dikalangan siswa saat ini adalah subagian ayat benda itu diberi nam air, dan dalam ayat lain disebut uap. Selanjutnya dapat pula ditarik kesimpulan bahwa bumi dan langit dijadikan dari (air dan uap) sesuatu yang ada, bukan dijadikan dari tiada. Sementara itu tidak ada pernyataan dalam Al-Qur’an yang secara eksplisit menegaskan bahwa “Tuhan ada bersama-sama dengan non-wujud (tiada) dan kemudian mewujud setelah ia tiada.
Alam ini juga bersifat kekal dalam zaman yang akan datang, sebagai mana dapat disimpulkan dari ayat berikut:
(……………………………………………………………………………) Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada rasul-rasul-Nya; sesunggunhya Allah maha perkasa, lagi mampu mempunayi pembalasan. (Yaitu) pada hari (Ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit. Dan mereka semuanya (dipadang Mahsyar) berkumpul menghadap kehadirat Allah Esa lagi Maha Perkasa. (QS. Ibrahim; 14:47-48)
Dalam ayat ini jelas kelihatan bahwa langit dan bumi akan ditukar dengan bumi dan langit yang lain. Sesudah alam materi sekarang akan ada alam materi yang lain. Deangan berpegang pada ayat ini, Ibn Rusyd berpendapat bahwa alam ini betul diwujudkan, tetapi diwujudkan terus menerus. Dengan kata lain alam ini adalah kekal.
Selanjutnya Ibn Rusyd berpendapat bahwa benar ada penciptaan, dan alam ini memerlukan motive power (tenaga penggerak), namun penafsiarannya berbeda dengan penafsiran teolog, menurut Ibn Rusyd penciptaan itu terus-menerus setiap saat dalam bentuk perubahan alam yang berkelanjutan. Semua bagian alam berubah bentuk dalam baru., menggantikan bentuk lama.
Pencipta aktif yang terus menerus mencipta inilah menurut Ibn Rusyd yang patut disebut pencipta, dibanding dengan pencipta yang penciptaanya hanya sekali dilakukan dan selesai.
Lebih jauh mengenai alam, Ibn Rusyd membedakan dua macam keabadian, keabadian dengan sebab dan keabadian tanpa sebab. Penggerak atau perantara itulah yang menjadi sebab abadinya alam, seperti abadinya penggerak itu sendiri. Hanya Tuhan yang abadi tanpa sebab, sedangkan alam menjadi abadi tetapi dengan adanya sebab atau perantara.
Apabila dicermati, seorang filsuf yang berpegang pada aliran rasioanal pasti berpendapat bahwa segala sesuatu tidak mungkin lepas dari sebab-mu-sebab. Bahkan sebab-musabab adalah asa ilmu alam dan asal filsafat rasional. Karena itu, mengingkari sebab-musabab yang terbukti dalam segala realitas adalah kebohongan. Jadi orang yang membenarkan sanggahan Al-Ghazali bahwa sebab-akibat bukanlah sebagi kepastian, tetapi sebagai kebiasaan (adat), menurut Ibn Rusyd orang tersebut telah mengingkari hatinya, atau mengakui omong kosong untuk meragukan apa yang ada dihadapannya. Untuk itu Ibn Rusyd mengembalikan persoalan sebab-musabab kepada empat sebab pokok (‘illah) sebagaimana yang dikatan Aristoteles, yaitu:
1. ‘illah maddiyah (material cause, sebab-musabab yang berkaitan dengan benda);
2. ‘illah shuwarriyah (formal cause, sebab-musabab yang berkaitan dengan bentuk atau form);
3. illah fa’ilah (efficient cause, sebab-musabab yang berkaitan dengan daya guna);
4. ‘illah ga’iyyah (final cause, sebab-musabab yang berkaitan dengan tujuan).
Pendapat Filsuf tentang Pengetahuan Tuhan
Masalah kedua yang dugugat oleh Al-Ghazali dan dianggapnya dapat membawa kekufuran ialah masalah Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
Pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan hanya mengetahui tentang diri-Nya, tetapi pengetahua-Nya itu bersifat kulli, tidak dapat dibenarkan, sebab menurut al-Ghazali, setiap yang mujud diciptakan karena kehendak Tuhan, dan juga setiap yang terjadi di alam ini atas kehendak-Nya, tentulah seluruhnya itu diketahui oleh tau pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan hanya mengetahui sperincian yang terjadi di alam, ini atas kehendak-Nya, tentulah seluruhnya itu diketahui oleh Tuhan, sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendakinya. Jadi, Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu secara rinci.
Kalau Al-Ghazali mengatakan, menurut para filsuf Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, maka oleh Ibn Rusyd menjawab, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filsuf tidak ada yang pernah mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa pengetahuan tentang perincian itu. Jadi menurut Ibn Rusyd , pertentangan antara Al-Ghazali dan para filsuf timbul dari penyamaan pengetahuan Tuahn dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melaului panca indera, dan dengan panca indera ini pulalah pengetahuan manusia tentang kullyah diperoleh melalui akal dan sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juziyah) yang materi itu.
Selanjutnya, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa pengetahuan Tuah meupakan sebab (bagi wujudnya perincian) yang tidak berubah oleh perubahan yang dialami juziyah. Tuahn juga mengetahui apa-apa yang akan terjadi dan sesuatu yang telah terjadi. Pengetahuan Tuhan tidak dibatasi oleh waktu yang telah lampau, sekarang, dan akan datang. Pengetahuan-Nya besifat qadim, yaitu semenjak azali Tuahn mengetahui segala hal-hal yang terjadi dialam, betapa pun kecilnya. Meskipun demikian, pengetahuan Tuhan tidak dapat diberi sifat kulliyah dan juziyah. Sebab kedua sifat itu merupakan kategori-kategori manusia, bukan merupakan kategori Ilahi. Sebenarnya bentuk pengetahuan Tuhan tidak dapat diketahui kecuali oleh tuhan sendiri.
Demikianlah Ibn Rusyd berkesimpulan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu tetapi dengan cara yang berbeda dengan cara manusia mengetahui dikarenakan pengetahuan Tuhan menjadi sebab adanya segala sesuatu, sedangkan pengetahuan manusia yang serba terbatas adalah effek daripada adanya segala sesuatu di alam ini, yang dapat ditangkapnya melalui panca indera.
Masalah ketiga yang digugat oleh Al-Ghazali dan dianggapnya dapat membawa kepada kekafiran ialah pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyr al-ajasad) diakhirat oleh para filsuf.
Al-Ghazali didalam kitab Tahafut al-Falasifah-nya telah mengkafirkan para filsuf yang mengatakan bahwa diakhirat nanti manusia akan dibangkitkan kembali dalam wujud ruhani, tidak dalam wujud jasmani. Pengkafiran ini, menurut Al-Ghazali karena pendapat para filsuf tersebut sangat bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa manusia akan mengalami perbagai kenikmatan jasmani didalam surga, atau kesengsaraan didalam neraka. Ajaran Al-Qur’an dalam masalah ini tidak dapat dita’wilkan.
Dalam membantah gugagatan dan vonis Al-Ghazali, Ibn Rusyd menandaskan bahwa filsuf tidak menolak adanya kebangkitan, bahkan semua agama samawi mengakui adanya adanya kebangkitan ukhrawi. Hanya saja sebagian berpendapat bahwa kebangkitan tersebut dalam bentuk ruhani, dan sebagian yang lain berpendapat bahwa dalam bentuk ruhani dan jasmani sekaligus.
Meskipun Ibn Rusyd cenderung berpendapat bahwa kebangkitan dikakhirat nanti dalam wujud ruhani saja, ia tidak menafikan kemungkinan kebangkitan jasmani bersama-sama ruhani. Kalaupun kebangkitan ukhrawi tersebut dalam bentuk fisik, dimana rh-ruh akan menyatu kembali dengan jasad sebagaimana keadaannya semula didunia itu sendiri, sebab jasad yang ada di dunia telah hancur mustahil dapat kembali seperti semula.
Para filsuf menolak konsep kebangkitan jasmani, karena mereka menganggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur-unsur fisik manusia yang telah mati akan diperoses oleh alam. Proses panjang alam tersebut tidak menutup kemungkinan merubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik manusia yang lain. Dengan demikian, jika kebangkitan uhkrawi manusia dalam bentuk fisiknya yang semula, maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangkitkan dalam bentuk fisik yang tidak sempurna.
Ibn Rusyd melihat bahwa adanya pertentangan didalam pendapat Al-Ghazali. Dalam bukunya Thafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengatakan bahwa kebangkitan tidak hanya dalam bentuk rohani. Tetapi dalam tulisannya yang lain pada buku yang berbeda, ia mengatakan bahwa kebangkitan kaum sufi akan terjadi hanya dalam bentuk rohani, tidak dalam bentuk jasmani. Karena itu, Al-Ghazali telah membatalkan sendiri gugatan dan vonisnya terhadap para filsuf. Sejarah kehidupan Al-Ghazali menunjukkan bahwa ia terakhir adalah sebagai tiokoh sufi.
Sungguhpun demikian, Ibn Rusyd berpendapat bahwa bagi orang awam soal pembangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, dan tidak hanya dalam bentuk ruhani, karena pembambangkitan jasmani lebih mendorong bagi kaum awam untuk melakukan pekerjaan baik dan meninggalkan perbuatan jahat.
d. Moral
Ibn Rusyd memebanarkan teori plato bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan kerjasama untuk memenuhi keperluan hidup dan mencapai kebahagiaan. Dalam meralisasikan kebahagiaan yang merupakan tujuan akhir bagi manusia, diperlakukan bantuan agama yang akan meletakkan dasar-dasar keutamaan akhlak secara praktik, juga bantuan filsafat yang mengajarkan keutamaan akhlak secara praktis, juga bantuan filsafat yang mengajarkan keutamaan teritis, untuk itu diperlukan kemampuan yang berhubungan dengan akal aktif.
d. Averroisme
Ketika pembuangan Ibn Rusyd ke Lucena, ia disambut oleh murid-muridnya, seperti Maimunides dan Josef Benjehovan yang beragama yahudi dengan demikian kegiatan yang menulis dan mengajar Ibn Rusyd tetap berlangsung dan dianataranya datang belajar kepadanya adalah pemuda-pemuda yahudi. Karena itu, tidak mengherankan pada waktu pembakaran buku-buku Ibn Rusyd yang musnah adalah bahasa aslinya (Arab). Tetapi, dalam waktu singkat di beberpa tempat di Eropa muncul karya-karya Ibn Rusyd dalam bahsa latin dan habrew (Yahudi). Diperikarakan tindak penyelamatan itu dilakukan oleh para mahasiswa Universitas Cordova. Sevilla Malaga, Granada dan Salamanca yang datang dari berbagai penjuru eropa yang sangat simpati terhadap pemikiran-pemikiran dan usaha-usaha yang dilakukan Ibn Rusyd. Buku-buku Ibn Rusyd yang berbahsa Arab yang diangkut ke Universitas Toledo dan Palermo yang pada waktu itu menjadi pusat penerjemahan untuk dialihbahsakan dalam bahsa Latin. Dikenallah nama Rahib Jiral Salfaster yang menerjemahkan dari bahasa Arab ke bahsa Latin, dan Musa ibn Maimun (1191 M), seorang reformis Yahudi. Penerjemah lainnya adalah Michael Scot (1230M), Yacob Abanawi, seorang Yahudi (1232 M) yang menerjemahkan Organun, dan Herman (1256 M).
Tradisi akademis yang mereka dapatkan di Cordova dan wilayah islam Barat lainnya menjadi model berdirinya Universitas di Eropa. Tercatat Universitas di Eropa adalah Paris yang didirikan pada tahun 1231, lebih kurang 30 tahun setelah wafat Ibn Rusyd.
Penerimaan pemikiran Ibn Rusyd di Eropa terbagi kepada kedua kelompok, yaitu kelompok yang menetang pemikiran-pemikiran Ibn Rusyd, dalam hal ini golongan gereja, dan kelomp[ok yang mendukung pemikiran Ibn Rusyd yang dipelopori oleh ilmuan. Pertentangan antara kedua kelompok tersebut berlangsung tajam, hal itu tampak dari tuduhan kelompok pertama terhadap kelompok kedua sebagai kelompok atheis, dan pada tahun1215 gereja mengeluarkan perintah mengharamkan membaca buku-buku Aristoteles, seperti Ma Wara al-Thabi’ah dan buku-buku ringkasan dan komentar Ibn Rusyd. Sebaliknya, kelompok kedua berusaha keras mengembangkan logika Aaristoteles sebagaiman ditafsirkan Iibn Rsyd dan pola berfikir rasionalisme murni, sementara pemikiran-pemikiran Ibn Rusyd yang bersifat keagamaan tidak mendapat perhatian. Dengan kata lain, mereka menggunakan filsafatsebagai senjata untuk menetang gereja. Suasana pertentangan ini menjurus pada semakin maraknya perbincangan filsafat Ibn Rusyd pada abad XIII, sehingga lahir kelomp[ok yang menamakan diri merreka dengan al-Rasyidiyin al-Lantiniyin, dan salah satu seorang tokohnya yang sangat penting adalah sigar van Brabant.
Sejalan dengan itu, pada abad pertengahan sedang ramai diperbincangkan persoalan kuliyat (universal). Apakah persoalan universal itu nama dan gambaran akal belaka, ataukah mempunyai wujud nyata diluar akal. Dalam hal ini muncul dua aliran: pertama, aliran realisme yang didukung kaum agama karena banyak berkaitan dengan symbol-symbol dan kaedah-kaedah agama, dan kedua, aliran nominalisme (nomen = nama) yang didukung oleh kaum ilmuan. Kelompok al-Rasydiyin tentu saja mendukung aliran nominalisme yang dengan terus terang mengatakan bahwa persoalan kulliyat tidak lebih daripada nama dan gambaran akal, tidak terdapat wujudnya dalam kenyataan.
Paparan diatas menggambarkan betapa hebatnya pengaruh pemikiran Ibn Rusyd di Eropa pada masa itu, sehingga dibentuk kelompok untuk mempelajari pemikiran Ibn Rusyd untuk kemudian dapat diantisipasi pengaruhnya terhadap iman Kristiani. Maka dikenallah Ordo Dominica yang salah satu tokohnya Thomas van Aquinas. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, pihak gerja melakukan peradilan inkuisi yang dapat membawa seseorang untuk dituduh sebagai murthad atau atheis, karena mendukunung atau mencetuskan pemikiran yang bertentangaan dengan tradisi gerja. Paus memerintahkan untuk memburu dan membakar hidup-hidup orang-orang murtad tersebut, seperti yang di alami oleh Romenas yang dipenjara hingga mati kemudian mayatnya dibakar, karena ia mengatakan bahwa pelangi adalah refleks sinar cahaya matahari keatas air, bukan seperti kepercayaan gereja bahwa diciptakan Tuhan untuk menyerang hamba-hamba-Nya yang keluar dari ajaran agama.
Walaupun Averroisme dilarang oleh gerja, tetapi pengikut-pengikutnya tetap setia dan tidak habis-habisnya. Bahkan pada awal abad XIV suaranya yang nyaring terdengar di Paris tatkala Johanes daqri Jandum menyatakan gerakan Averroisme agak ekstrim, dikatakannya bahwa averroisme itu adalah benar, disamping kitab suci pun benar. Jadi menurutnya ada dua macam kebenaran, yaitu satu yang filosofis dan yang satu teologis.
Jika diperhatikan lebih jauh, dikhotomi kebenaran ini menjadi salah satu pemicu proses sekularisasi di Eropa, tetapi pada segi lain pemikiran Ibn Rusyd membawa angin segar bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa dan menjadi faktor utama lahirnya renaisansce.
Daftar Pustaka
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang,1992.
Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosoph, .New York: Columbia University Press,1970.
Hasymsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama,1999.