A.
Pengertian Wahyu dan Akal
Secara
terminologi, istilah wahyu menunjukkan kepada nama-nama yang lebih
populer seperti Al-Kitab, Al-Qur’an, Risalah, dan Balagh. Dalam
terminologi Islam, wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu dinamakan
Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab dan Firman Allah yang disampaikan kepada Nabi
SAW dengan demikian wahyu menurut konsepsi Al-Qur’an, wahyu sama dengan firman Allah
(kalam Allah).
Sebagaimana firman Allah, dalam
surat At-Taubah ayat 6:
Artinya: “Dan jika seseorang
diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah (kalam Allah).” (Q.S.
At-Taubah:6)
Menurut Nasr
Hamid Abu Zaid, seorang ahli tafsir kontemporer, sebenarnya “wahyu”
dalam mengacu kepada Al-Qur’an, sebagaimana dikemukakan diatas, bahkan makna
wahyu lebih luas dan mencakup semua teks yang menunjuk kepada Perintah Allah
kepada manusia. Dari sisi lain, wahyu menunjuk pada setiap proses komunikasi
yang mengandung “pemberian informasi”, sesuai dengan yang terungkap dalam kamus
lisan Al-arab disebutkan bahwa asal makna wahyu menurut semua bahasa adalah
pemberian informasi secara tersembunyi.
Sedangkan
pembahasan tentang akal, sampai sekarang masih berkelanjutan. Didalam bahasa
arab, akal diartikan kecerdasan, lawan kebodohan, dan diartikan
pula dengan hati (qalb), suatu kekuatan yang membedakan manusia dari
semua jenis hewan.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau
kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungannya. Dalam penelitian ini, yang
dimaksud dengan akal adalah gabungan dari dua pengertian di atas, yang
disampaikan oleh ibn Taimiyah dan menurut kamus, yakni daya pikir untuk
memahami sesuatu, yang di dalamnya terdapat kemungkinan bahwa pemahaman yang
didapat oleh akal bisa salah atau bisa benar.
Ibn Rusyd,
sebagaimana dikutip oleh Abdul Salim Mukrim, membagi akal menjadi tiga macam, Pertama,
akal demonstratif (burhani) yang mampu memahami dalil-dalil yang meyakinkan dan
tepat, menghasilkan hal-hal yang jelas dan penting, dan melahirkan filsafat.
Akal ini hanya diberikan kepada sedikit orang saja. Kedua, akal logika
(mathiqi) yang sekedar memahami fakta-fakta argumentatif. Ketiga,
akal retorik (khithabi) yang hanya mampu mengkap hal-hal yang bersifat nasihat
dan retorik, tidak dipersiapkan untuk memahami aturan berfikir sistematika.
- Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari Allah, Pribadi Nabi Muhammad yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu.
- Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus.
- Wahyu itu adalah nash-nash yang berupa bahasa arab dengan gaya ungkap dan gaya bahasa yang berlaku.
- Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal.
- Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.
- Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan.
- Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Manusia
sebagai makhluk yang paling sempurna diciptakan Allah mempunyai banyak sekali
kelebihan jika dibandingkan dengan mahklukmahkluk ciptaan Allah yang lainnya.
Bukti otentik
dari kebenaran bahwa manusia merupakan makhluk yang paling sempurna di antara
mahkluk yang lain adalah ayat al-Quran surat At-Tin ayat 4 sebagai berikut:
Artinya: “Sesungguhnya kami
telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya”. (QS At-Tin [95]: 4).
Satu hal yang
membuat manusia lebih baik dari mahkluk yang lain yaitu manusia mampu berpikir
dengan akalnya, karena manusia dianugerahi oleh Allah dengan akal sehingga
dengannya manusia mampu memilih, nmempertimbangkan, menentukan jalan pikirannya
sendiri. Agama Islam sangat menjunjung tinggi kedudukan akal. Dengan akal
manusia mampu memahami al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan lewat Nabi
Muhammad, dengannya manusia juga mampu menelaah kembali sejarah Islam dari masa
lampau.
Akal menurut
pendapat Muhammad Abduh adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh
karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahkluk lain.
Akal adalah
tonggak kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya,
peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar dan sumber kehidupan dan
kebahagiaan bangsa-bangsa.
Akal adalah
jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak
didasarkan akal. Iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat, dan
akalah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan.
- Kekuatan Akal
Ø
Mengetahui Tuhan dan sifat-sifatnya.
Ø
Mengetahui adanya kehidupan akhirat.
Ø
Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat
bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaraan tergantung
pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
Ø
Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
Ø
Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan
wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
Ø
Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban
itu.
Ø
Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ø
Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
Ø
Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati
tentang adanya alam ghaib.
Ø
Wahyu turun melalui para ucapan Nabi-nabi.
4.
Akal dan Wahyu Menurut Aliran-aliran Ilmu Kalam
1)
Menurut Mu’tazilah
Menurut
Mu’tazilah, fungsi wahyu adalah dibawah fungsi akal. Mereka lebih memuji akal
mereka dibanding dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits Nabi.
Segala sesuatu
ditimbangnya lebih dahulu dengan akalnya mana yang tidak sesuai dengan akalnya
dibuang, walaupun ada hadits dan Ayat Al-Qur’an yang bertalian dengan masalah
itu, tetapi berlawanan dengan akalnya. Jadi jelasnya menurut kaum Mu’tazilah,
fungsi akal lebih tinggi ketimbang wahyu.
2)
Menurut Salafiyah
Menurut
Salafiyah, fungsi wahyu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi akal. Jalan
untuk mengetahui aqidah dan hukum-hukum dalam Islam dan segala sesuatu yang
bertalian dengan itu, baik yang pokok maupun yang cabang, baik aqidah itu
sendiri maupun dalil-dalil pembuktiannya, tidak lain sumbernya ialah wahyu
Allah SWT yakni Al-Qur’an dan juga Hadits-hadiits Nabi SAW sebagai
penjelasannya. Apa yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan dijelaskan oleh
Sunnah Nabi harus diterima dan tidak boleh ditolak.
Akal pikiran
tidak mempunyai kekuatan untuk mentakwilkan Al-Qur’an atau mentafsirkannya
ataupun menguraikannya, keucali dalam batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata
(bahasa) yang dikuatkan pila oleh hadits-hadits. Kekuatan akal sesudah itu
tidak hanya membenarkan dan tunduk pada nash, serta mendekatnya kepada alam
pikiran.
Jadi fungsi
akal pikiran tidak lain hanya menjadi saksi pembenaran dan penjelas dalil-dalil
Al-Qur’an , bukan menjadi hakim yang mengadili dan menolaknya.
3)
Menurut Asy’ariyah
Menurut
Asy’ariyah, fungsi wahyu (Al-Qur’an) dan hadits adalah sebagai pokok, sedang
fungsi akal adalah sebagai penguat Nash-nash wahyu dan hadits.
Al-Asy’ari tidak dapat
menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argmentasi pikiran. Ia menentang keras
terhadap mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal-soal
agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah disinggung-singgung oleh Rasul
adalah suatu kesalahan. Menurut Al-Asy’ari, sahabat-sahabat Nabi sendiri,
sesudah nabi wafat, banyak membiarakan soal-soal baru dan meskipun begitu,
mereka tidak disebut orang-orang sesat (bid’ah).
Didalam
bukunya berjudul “Istishan Al-Khaudhi Fi Ilmil Kalam” (kebaikan menyelami ilmu
kalam), ia menentang keras terhadap orang yang berkeberatan membela agama
dengan ilmu kalam dan argumentasi pikiran, karena hal ini tidak ada dasarnya
dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Bagi kaum al-Asy’ari,
karena akal dapat mengetahui hanya adanya Tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan
penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui kewajiban-kewajiban hanya
karena turunnya wahyu.
Dengan
demikian, sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan mengetahui
kewajiban-kewajibannya. Sekiranya syari’at tidak ada, kata al-Ghazali
manusia tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan, dan tidak akn berkewajiban
berterima kasih kepadaNya. Sebagai kesimpulan dari uraian mengenai fungsi wahyu
ini, dapat dikatakan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariyah.
Dengan
demikian, jelaslah Al-Asy’ari sebagai seorang muslim yang ikhlas membela
keperayaan dan mempercayai isi Al-Qur’an dan Hadits, dengan menempatkan sebagai
dasar pokok, disamping menggunakan akal pikiran yang tugasnya tidak lebih dari
pada memperkuat nash-nash tersebut.
B. Iman dan
Kufur
Dalam
Al-Qur’an iman itu selalu berkaitan dengan amal perbuatan baik berupa
pelaksanaan rukun-rukun Islam, akan menyebabkan manusia hidup berbahagia di
dunia dan di akhiratnya.
Iman dari segi lughat, kata iman berarti : pembenaran ( التَّصـْدِ يـْقُ )
inilah makna yang dimaksud dengan kata ( مُؤْ مِنٌ ) dalam surat Yusuf 12, 17
yang artinya “Dan kamu sekali-kali tidak akan membenarkan kami (مُؤْ مِنٍ
لَّـنَا ) walaupun kami orang-orang yang benar”. Dari ayat di atas, makna
mukmin yakni orang yang membenarkan. Adapun makna iman dari segi istilah ialah
pembenaran atau pengakuan hati dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu akan segala
apa yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW yang diketahui dengan jelas sebagai
ajaran agama yang berasal dari wahyu Allah.
Iman adalah :
Dalam sebuah hadist di
definisikan tentang iman :
“iman adalah meyakini dengan hati, menetapkan dengan lidah dan
melaksanakan dengan anggota”. (H.R Al-Buqari)
2. Pengertian
Kufur
Kufur adalah kebalikan daripada
iman. Dari segi lughat “kufur” artinya menutupi. Orang yang bersikap ‘kufur’ disebut
kafir, yaitu orang yang menutupi hatinya dari hidayah Allah.
Firman Allah dalam Al-Qur’an
“Barangsiapa yang kafir kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari
kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”(Q.S. An-Nisa
: 136)
Adapun
pengertian kufur yang diambil dari Ensiklopedi Islam, yaitu : Al-Kufr
(tertutup) atau tersembunyi, mengalami perluasan makna menjadi “ingkar” atau
tidak percaya, ketidakpercayaan kepada Allah. Kata kafir mengisyaratkan usaha
keras untuk menolak bukti-bukti kebenaran Allah, yakni sebuah kehendak untuk
mengingkari Allah, sengaja tidak mensyukuri kehidupan dan mengingkari wahyu.
Kufur menurut
bahasa adalah menutup. Bila orang yang menyangkal dan musyrik disebut kafir
karena orang itu menutupi dirinya dari nikmat allah dan menutup jalan untuk
mengenal Allah. Orang yang berdosa besar adalah kafir karena dia selalu
menutupi dirinya dengan dosa.
3.
Pendapat Beberapa
Teologi Tentang Iman dan Kufur
Agenda
persoalan yang pertama timbul dalam teologi Islam masalah iman dan kufur.
Persoalan itu dimunculkan pertamakali oleh kaum Khawarij yang mengecap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi SAW. Yang
dipandang telah melakukan dosa besar, yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin
Abu sufyan, Abu Musa Al-Asy’ari, Amr bin Al-Ash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair
bin Awwam, dan Aisyah istri Rasulullah SAW.
1) Aliran Khawarij
Kaum Khawarij
adalah kaum pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar dari barisan Ali, karena
tidak setuju dengan kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib yang menerima tahkim /
arbitrase atau jalan tengah.
Dari persoalan
politik, kemudian kaum khawarij memasuki juga persoalan teologi Islam. Menurut
golongan Khawarij al-Muhakkimah, Ali, Mu’awiyah, kedua pengantara Amr ibn
al-‘As dan Abu Musa al-‘Asy’ari adalah kafir.
Iman menurut
kaum Khawarij bukan merupakan pengakuan dalam hati dan ucapan dengan lisan
saja, akan tetapi amal ibadah menjadi rukun iman saja. Dan menurut kaum
Khawarij, orang yang tidak melakukan shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya
yang diwajibkan oleh Islam, maka termasuk kafir. Jadi apabila sekarang mukmin
melakukan dosa besar mapun kecil, maka orang itu termasuk kafir dan wajib
diperangi serta boleh di bunuh. Harta bendanya boleh dirampas menjadi harta
ghonimah.
Iman menurut
Murji’ah adalah terletak pada tashdiq qolbu, adapun ucapan dan perbuatan tiadak
selamanya menggambarkan apa yang ada dalam qolbu.
Menurut sub sekte murji’ah yang
ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu.
Oleh karena
itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yangmenyimpang dari kaidah agama
tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih
sempurnadalam pandangan Tuhan.Sementara yang dimaksud murji’ah moderat adalah
mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir.
Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya bergantung pada dosa yang
dilakukannya. Dalam menetapkan kafir dan dosa besar, kalau paham Khawarij
mengatakan bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar dia sudah dianggap
kafir, sedangkan paham murji’ah lebih bersikap positif. Artinya, sesuai dengan
sebutan nama mereka arja’a, mereka
lebih cenderung menyerahkan saja kepada Allah soal pelaku dosa besar.
Menurut paham
mu’tazilah Iman adalah tashdiq di dalam hati, iktar dengan lisan dan dibuktikan
dengan perbuatan konsep ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena
itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini
dianut pula olah Khawarij. Menurut mereka iman adalah pelaksanaan
kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak
ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan
kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman
tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui
kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Kaum
Mu’tazilah juga berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan
mati sebelum tobat, tidak lagi
mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasiq.
Menurut aliran
ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman secara
esensial adalah tasdiq bil al janan (membenarkan dengan
kalbu). Sedangkan qaul dengan lisan
dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan
furu’(cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan
Allah dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang
mereka bawa dari-Nya, iman seperti ini dinilai sahih. Dan keimanan seseorang
tidak akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.
Kaum
Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah
memaksakan paham khalq al-Quran –
banyak membicarakan persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal
manusia tidak bisa merupakan ma’rifah
dan amal. Manusia dapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan
amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban
mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh
karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq.
Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tajilah tapi dekat dengan kaum
Jabariyah. Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’r ifah terhadap Allah
Daftar Pustaka
Adeng Muhtar
Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik hingga Modern, Pustaka
Setia, Bandung, 2003.
Abdul Salaim
Mukrim, mengutip Kamus Lisan Al-Arab dalam buku, Pemikiran Islam
antara Akal dan Wahyu, terjemah Anwar Wahdi hasi, PT Mediyatama Sarana
Perkasa, Jakarta, 1988
H. Moh Rifai,
dan Abdul Aziz, Pelajaran Ilmu Kalam, CV Wicaksana, Semarang, 1988.
Harun
Nasution, Teologi Islam, Jakarta : UI
Press, I \ 1986.
Ibn.Rusyd,
Afrizal M. Perdebatan Ulama Dalam Teologi
Islam. Gelora Aksara Pratama. I \ 2006
Rozak abdul
dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam.
Bandung. I \2000
Drs. Alkhendra, M.Ag. Pemikiran kalam. Bandung. I \ 2000
No comments:
Post a Comment