Wednesday, 1 May 2013

AKAL DAN WAHYU IMAN DAN KUFUR


A.    Pengertian Wahyu dan Akal
Secara terminologi, istilah wahyu menunjukkan kepada nama-nama yang lebih populer seperti Al-Kitab, Al-Qur’an, Risalah, dan Balagh. Dalam terminologi Islam, wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu dinamakan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab dan Firman Allah yang disampaikan kepada Nabi SAW dengan demikian wahyu menurut konsepsi Al-Qur’an, wahyu sama dengan firman Allah (kalam Allah).
Sebagaimana firman Allah, dalam surat At-Taubah ayat 6:




Artinya: “Dan jika seseorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah (kalam Allah).” (Q.S. At-Taubah:6)

Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, seorang ahli tafsir kontemporer, sebenarnya “wahyu” dalam mengacu kepada Al-Qur’an, sebagaimana dikemukakan diatas, bahkan makna wahyu lebih luas dan mencakup semua teks yang menunjuk kepada Perintah Allah kepada manusia. Dari sisi lain, wahyu menunjuk pada setiap proses komunikasi yang mengandung “pemberian informasi”, sesuai dengan yang terungkap dalam kamus lisan Al-arab disebutkan bahwa asal makna wahyu menurut semua bahasa adalah pemberian informasi secara tersembunyi.

Sedangkan pembahasan tentang akal, sampai sekarang masih berkelanjutan. Didalam bahasa arab, akal diartikan kecerdasan, lawan kebodohan, dan diartikan pula dengan hati (qalb), suatu kekuatan yang membedakan manusia dari semua jenis hewan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungannya. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan akal adalah gabungan dari dua pengertian di atas, yang disampaikan oleh ibn Taimiyah dan menurut kamus, yakni daya pikir untuk memahami sesuatu, yang di dalamnya terdapat kemungkinan bahwa pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah atau bisa benar.

Ibn Rusyd, sebagaimana dikutip oleh Abdul Salim Mukrim, membagi akal menjadi tiga macam, Pertama, akal demonstratif (burhani) yang mampu memahami dalil-dalil yang meyakinkan dan tepat, menghasilkan hal-hal yang jelas dan penting, dan melahirkan filsafat. Akal ini hanya diberikan kepada sedikit orang saja. Kedua, akal logika (mathiqi) yang sekedar memahami fakta-fakta argumentatif. Ketiga, akal retorik (khithabi) yang hanya mampu mengkap hal-hal yang bersifat nasihat dan retorik, tidak dipersiapkan untuk memahami aturan berfikir sistematika.

1.      Karakteristik Wahyu

  • Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari Allah, Pribadi Nabi Muhammad yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu.
  • Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus.
  • Wahyu itu adalah nash-nash yang berupa bahasa arab dengan gaya ungkap dan gaya bahasa yang berlaku.
  • Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal.
  • Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.
  • Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan.
  • Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
2.      Pentingnya Akal.
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diciptakan Allah mempunyai banyak sekali kelebihan jika dibandingkan dengan mahklukmahkluk ciptaan Allah yang lainnya.
Bukti otentik dari kebenaran bahwa manusia merupakan makhluk yang paling sempurna di antara mahkluk yang lain adalah ayat al-Quran surat At-Tin ayat 4 sebagai berikut:


Artinya: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya”. (QS At-Tin [95]: 4).

Satu hal yang membuat manusia lebih baik dari mahkluk yang lain yaitu manusia mampu berpikir dengan akalnya, karena manusia dianugerahi oleh Allah dengan akal sehingga dengannya manusia mampu memilih, nmempertimbangkan, menentukan jalan pikirannya sendiri. Agama Islam sangat menjunjung tinggi kedudukan akal. Dengan akal manusia mampu memahami al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan lewat Nabi Muhammad, dengannya manusia juga mampu menelaah kembali sejarah Islam dari masa lampau.

Akal menurut pendapat Muhammad Abduh adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahkluk lain.
Akal adalah tonggak kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya, peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal. Iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat, dan akalah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan.
3.      Kekuatan Akal & Wahyu
  • Kekuatan Akal
Ø  Mengetahui Tuhan dan sifat-sifatnya.
Ø  Mengetahui adanya kehidupan akhirat.
Ø  Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaraan tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
Ø  Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
Ø  Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
Ø  Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.

  • Kekuatan wahyu
Ø  Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ø  Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
Ø  Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
Ø  Wahyu turun melalui para ucapan Nabi-nabi.

4.      Akal dan Wahyu Menurut Aliran-aliran Ilmu Kalam

1)      Menurut Mu’tazilah
Menurut Mu’tazilah, fungsi wahyu adalah dibawah fungsi akal. Mereka lebih memuji akal mereka dibanding dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits Nabi.
Segala sesuatu ditimbangnya lebih dahulu dengan akalnya mana yang tidak sesuai dengan akalnya dibuang, walaupun ada hadits dan Ayat Al-Qur’an yang bertalian dengan masalah itu, tetapi berlawanan dengan akalnya. Jadi jelasnya menurut kaum Mu’tazilah, fungsi akal lebih tinggi ketimbang wahyu.
2)      Menurut Salafiyah
Menurut Salafiyah, fungsi wahyu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi akal. Jalan untuk mengetahui aqidah dan hukum-hukum dalam Islam dan segala sesuatu yang bertalian dengan itu, baik yang pokok maupun yang cabang, baik aqidah itu sendiri maupun dalil-dalil pembuktiannya, tidak lain sumbernya ialah wahyu Allah SWT yakni Al-Qur’an dan juga Hadits-hadiits Nabi SAW sebagai penjelasannya. Apa yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Sunnah Nabi harus diterima dan tidak boleh ditolak.
Akal pikiran tidak mempunyai kekuatan untuk mentakwilkan Al-Qur’an atau mentafsirkannya ataupun menguraikannya, keucali dalam batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata (bahasa) yang dikuatkan pila oleh hadits-hadits. Kekuatan akal sesudah itu tidak hanya membenarkan dan tunduk pada nash, serta mendekatnya kepada alam pikiran.
Jadi fungsi akal pikiran tidak lain hanya menjadi saksi pembenaran dan penjelas dalil-dalil Al-Qur’an , bukan menjadi hakim yang mengadili dan menolaknya.

3)      Menurut Asy’ariyah
Menurut Asy’ariyah, fungsi wahyu (Al-Qur’an) dan hadits adalah sebagai pokok, sedang fungsi akal adalah sebagai penguat Nash-nash wahyu dan hadits.
Al-Asy’ari tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argmentasi pikiran. Ia menentang keras terhadap mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal-soal agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah disinggung-singgung oleh Rasul adalah suatu kesalahan. Menurut Al-Asy’ari, sahabat-sahabat Nabi sendiri, sesudah nabi wafat, banyak membiarakan soal-soal baru dan meskipun begitu, mereka tidak disebut orang-orang sesat (bid’ah).
Didalam bukunya berjudul “Istishan Al-Khaudhi Fi Ilmil Kalam” (kebaikan menyelami ilmu kalam), ia menentang keras terhadap orang yang berkeberatan membela agama dengan ilmu kalam dan argumentasi pikiran, karena hal ini tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Bagi kaum al-Asy’ari, karena akal dapat mengetahui hanya adanya Tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui kewajiban-kewajiban hanya karena turunnya wahyu.

Dengan demikian, sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan mengetahui kewajiban-kewajibannya. Sekiranya syari’at tidak ada, kata al-Ghazali manusia tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan, dan tidak akn berkewajiban berterima kasih kepadaNya. Sebagai kesimpulan dari uraian mengenai fungsi wahyu ini, dapat dikatakan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariyah.

Dengan demikian, jelaslah Al-Asy’ari sebagai seorang muslim yang ikhlas membela keperayaan dan mempercayai isi Al-Qur’an dan Hadits, dengan menempatkan sebagai dasar pokok, disamping menggunakan akal pikiran yang tugasnya tidak lebih dari pada memperkuat nash-nash tersebut.


B. Iman dan Kufur
1.      Pengertian Iman
Dalam Al-Qur’an iman itu selalu berkaitan dengan amal perbuatan baik berupa pelaksanaan rukun-rukun Islam, akan menyebabkan manusia hidup berbahagia di dunia dan di akhiratnya. Iman dari segi lughat, kata iman berarti : pembenaran ( التَّصـْدِ يـْقُ ) inilah makna yang dimaksud dengan kata ( مُؤْ مِنٌ ) dalam surat Yusuf 12, 17 yang artinya “Dan kamu sekali-kali tidak akan membenarkan kami (مُؤْ مِنٍ لَّـنَا ) walaupun kami orang-orang yang benar”. Dari ayat di atas, makna mukmin yakni orang yang membenarkan. Adapun makna iman dari segi istilah ialah pembenaran atau pengakuan hati dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu akan segala apa yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW yang diketahui dengan jelas sebagai ajaran agama yang berasal dari wahyu Allah.
Iman adalah :
Dalam sebuah hadist di definisikan tentang iman :
“iman adalah meyakini dengan hati, menetapkan dengan lidah dan melaksanakan dengan anggota”. (H.R Al-Buqari)

2.      Pengertian Kufur
Kufur adalah kebalikan daripada iman. Dari segi lughat “kufur” artinya menutupi. Orang yang bersikap ‘kufur’ disebut kafir, yaitu orang yang menutupi hatinya dari hidayah Allah.
Firman Allah dalam Al-Qur’an

 “Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”(Q.S. An-Nisa : 136)

Adapun pengertian kufur yang diambil dari Ensiklopedi Islam, yaitu : Al-Kufr (tertutup) atau tersembunyi, mengalami perluasan makna menjadi “ingkar” atau tidak percaya, ketidakpercayaan kepada Allah. Kata kafir mengisyaratkan usaha keras untuk menolak bukti-bukti kebenaran Allah, yakni sebuah kehendak untuk mengingkari Allah, sengaja tidak mensyukuri kehidupan dan mengingkari wahyu.
Kufur menurut bahasa adalah menutup. Bila orang yang menyangkal dan musyrik disebut kafir karena orang itu menutupi dirinya dari nikmat allah dan menutup jalan untuk mengenal Allah. Orang yang berdosa besar adalah kafir karena dia selalu menutupi dirinya dengan dosa.


3.      Pendapat Beberapa Teologi Tentang Iman dan Kufur
Agenda persoalan yang pertama timbul dalam teologi Islam masalah iman dan kufur. Persoalan itu dimunculkan pertamakali oleh kaum Khawarij yang mengecap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi SAW. Yang dipandang telah melakukan dosa besar, yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu sufyan, Abu Musa Al-Asy’ari, Amr bin Al-Ash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah istri Rasulullah SAW.



1) Aliran Khawarij
Kaum Khawarij adalah kaum pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar dari barisan Ali, karena tidak setuju dengan kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib yang menerima tahkim / arbitrase atau jalan tengah.
Dari persoalan politik, kemudian kaum khawarij memasuki juga persoalan teologi Islam. Menurut golongan Khawarij al-Muhakkimah, Ali, Mu’awiyah, kedua pengantara Amr ibn al-‘As dan Abu Musa al-‘Asy’ari adalah kafir.
Iman menurut kaum Khawarij bukan merupakan pengakuan dalam hati dan ucapan dengan lisan saja, akan tetapi amal ibadah menjadi rukun iman saja. Dan menurut kaum Khawarij, orang yang tidak melakukan shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya yang diwajibkan oleh Islam, maka termasuk kafir. Jadi apabila sekarang mukmin melakukan dosa besar mapun kecil, maka orang itu termasuk kafir dan wajib diperangi serta boleh di bunuh. Harta bendanya boleh dirampas menjadi harta ghonimah.

2) Aliran Murji’ah
Iman menurut Murji’ah adalah terletak pada tashdiq qolbu, adapun ucapan dan perbuatan tiadak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam qolbu.
Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu.
Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yangmenyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurnadalam pandangan Tuhan.Sementara yang dimaksud murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya. Dalam menetapkan kafir dan dosa besar, kalau paham Khawarij mengatakan bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar dia sudah dianggap kafir, sedangkan paham murji’ah lebih bersikap positif. Artinya, sesuai dengan sebutan nama mereka arja’a, mereka lebih cenderung menyerahkan saja kepada Allah soal pelaku dosa besar.

3) Muta’zilah
Menurut paham mu’tazilah Iman adalah tashdiq di dalam hati, iktar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan konsep ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula olah Khawarij. Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif  karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Kaum Mu’tazilah juga berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasiq.

4) Asy’ariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman secara  esensial adalah  tasdiq bil al janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qaul dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’(cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman seperti ini dinilai sahih. Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.

Kaum Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah memaksakan paham khalq al-Quran – banyak membicarakan persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan   ma’rifah dan amal. Manusia dapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tajilah tapi dekat dengan kaum Jabariyah.   Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang  mengandung ma’r ifah terhadap Allah




















Daftar Pustaka

Adeng Muhtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik hingga Modern, Pustaka Setia, Bandung, 2003.
Abdul Salaim Mukrim, mengutip Kamus Lisan Al-Arab dalam buku, Pemikiran Islam antara Akal dan Wahyu, terjemah Anwar Wahdi hasi, PT Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta, 1988
H. Moh Rifai, dan Abdul Aziz, Pelajaran Ilmu Kalam, CV Wicaksana, Semarang, 1988.
Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta : UI Press, I \ 1986.
Ibn.Rusyd, Afrizal M. Perdebatan Ulama Dalam Teologi Islam. Gelora Aksara Pratama. I \ 2006
Rozak abdul dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung. I  \2000
Drs. Alkhendra, M.Ag. Pemikiran kalam. Bandung. I \ 2000

No comments:

Post a Comment