BAB I
PENDAHULUAN
Dalam hal ini telah diketahui bahwa kemampuan ilmiah ummat Islam telah memungkinkan mereka melakukan penulisan terhadap Hadis-hadis Nabi. Tetapi pendapat yang dominan dikalangan para sarjana dan ilmuan adalah bahwa hadis-hadis itu hanya disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan) sampai akhir abad pertama hijri. Sedang orang pertama kali yang punya ide untuk menulis hadis adalah Khalifah Umar bin abd al-Aziz, dimana beliau mengirimkan surat kepada Abn Bakar Muhammad bin hazm, yang mengatakan “periksalah dan tulislah semua Hadis-hadis Nabi, sunnah-sunnah yang sudah di kerjakan, atau hadis tentang umrah karena saya khawatir hal itu akan punah”. Khalifah umar bin abd al-Aziz juga memberikan tugas kepada ibnu syibab al-Zuhri dan lain-lain untuk mengumpulkan danmenuliskan hadis. Pendapat imam Malik juga popular, bahwa orang yang pertama kali menulis hadis adalah Ibnu syibab al-Zuhri.
Ibnu hajar dengan menukil pendapat para ulama mengatakan bahwa jemaah Sahabat dan Tabiin enggan menulis Hadis, mereka lebih cenderung untuk mengajarkannya secara lisan seperti halnya mereka menerimanya secara lisan. Akan tetapi setelah kecenderungan menghafal mulai menurun dan para ulama menghawatirkan punahnya Hadis, mereka lalu menulisnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendapat para ulama tentang penulisan Hadis dan kelambatan pembukuannya.
Masalah pokok yang menyebabkan para ahli berpendapat bahwa pembukuan Hdis terlambat sampai seratus tahun atau lebih karena mereka hanya mengikuti pendapat yang popular dikalangan mereka, tanpa meneliti sumber-sumber yang menunjukkan bahwa Hadis sudah di bukukan pada masa yang lebih awal. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Hadis Nabi belum di bukukan pada masa Sahabat Tabiin tua. Hal itu karena adanya dua faktor yaitu :
1. Semula memang dilarang mereka menulis Hadis seperti tersebut dalam shahih Muslim karena khawatir tercampur dengan al-Qur’an.
2. Hafalan mereka sangat kuat dan otak mereka juga sangat cerdas, disamping umumnya mereka tidak dapat menulis.
Orang-orang yang pertama kali melakukan hal itu adalah al-rhabi bin shabih, sa’id bin abu arubah, dan lain-lain. Mereka menyusun bab Hadis secara khusus. Sampai datang tokoh-tokoh generasi ketiga, dimana mereka membukukan Hadis dengan metode penyusunan kitab-kitab hukum (fiqih). Terlambatnya pembukuan Hadis sampai akhir masa Tabiin disebabkan oleh tiga factor berikut :
1. Kebanyakan mereka tidak dapat menulis.
2. Kekuatan hafalan dan kecerdasan mereka sudah dapat da andalkan, sehingga mereka tidak perlu menulis hadis
3. Semula, adanya larangan dari Nabi untuk menulis hadis, seperti terdapat dalam shahih muslim. Hal itu dikhawatirkan sejumlah hadis akan tercampur dengan al-Qur’an, sehingga al-Qur’an tidak murni lagi.
B. Sanggahan terhadap Ibnu Hajar dan lain-lain
1. “ Kebanyakan mereka tidak dapat menulis”
Banyaknya jumlah sekretaris-sekretaris Nabi dan adanya sistem administrasi dalam negara besar pada masa Khulafa Rasyidin tak pelak menuntut adanya penulis-penulis yang cakap dalam ilmu hitung dan lain-lain. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa pada masa itu para sahabat banyak yang pandai menulis dan membaca.
Kebijakan pendidikan Nabi yang sudah membawa hasil pada masa itu pasti lebih membawa hasil untuk masa sesudahnya. Dan meskipun mereka kebanyakan (mayoritas) tisak mengetahui tulis menulis, tidak berarti sedikit justru tetap banyak. Dan jumlah ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan.
2. “Kekuatan hafalan dan kecerdasan mereka sudah dapat diandalkan, sehingga mereka tidak perlu lagi menulis hadis.
Suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa sifat-sifat jasmani maupun rohani termasauk kekuatan untuk mengahapal berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Melalui latihan-latihan khusus sifat-sifat itu dapat dikembangkan. Orang-orang Arab juga menghafal diwan-diwan syairnya diluar kepala. Mereka jauh dari kesulitan dan kebisingan kota pada umumnya. Oleh sebab itu mungkin sekali kekuatan menghafal mereka sangat kuat. Dan wajar apabila terdapat orang-orang yang mempunyai kekuatan menghafal luar biasa.
Tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan adanya orang-orang lain yang lemah hafalannya, sebab yang menjadi ukuran adalah mayoritas. Namun demikian kenyataan itu tidak dapat dijadikan alas an bahwa mereka tidak perlu menulis hadis, sebab ternyata meskipun mereka hafal mereka juga masih menulis syair-syair dan sebagainya.
3. “Adanya larangan dari Nabi untuk menulis Hadis”
Al-khatib al-Baghdadi adalah termasuk orang yang memahas masalah ini dalam bukunya Taqyid al-ilm (penulisan hadis). Pada saat ini rasanya tidak ada yang menandingi buku tersebut yang membahas masalah yang sama. Al-baghdadi membagi kitabnya menjadi tiga bagian :
Bagian pertama : Tentang keengganan menulis hadis.
Pasal pertama : Tentang larangan Nabi untuk menulis hadis.
Pasal kedua : Tentang nama enam sahabat yang tidak mau menulis hadis, yaitu Abu said al-khudri, Abdullah bin mas’ud, Abu musa al-asy’ari, Abu hurairah, Abdullah bin Abbas, dan Abdullh bin umar.
Pasal ketiga : Tentang nama dua belas orang tabiin yang tidak mau menulis hadis, yaitu Abu idris, Abu alAliyah, Ibrahim al nakha’I, Alamasy, Al dhahhak, Ubaidullah bin Abdullah, Al qosim bin Muhammad, Muhammad bin sirin, Al mughirah, dan Manshur.
Bagian kedua : Disini Al-Baghdadi menuturkan nama orang-orang yang tidak mau menulis hadis berikut alasan-alasan mereka. Mereka itu adalah ibnu aun, Al-asy ari, Dan Ibnu mas’ud. Disini disebutkan [ulukisah umar bin khattab dimana beliau pernah diminta pertimbangan untuk penulisan hadis berikut keengganan beliau dalam masalah ini.
Bagian ketiga : Disini al-khatib al Baghdadi menyebutkan hadis hadis Nabi dan pendapat (atsar) para sahabat dan tabiin tentang dibolehkannya menulis hadis. Semua orang yang meriwayadkan hadis yang melarang penulisan hadis, kecuali satu atau dua orang saja. Bahkan mereka sendiri menulis hadis atau hadis-hadis mereka ditulis oleh orang lain.
C. Sikap Nabi SAW terhadap penulisan Hadis
Ada tiga sahabat yang secara popular meriwayatkan hadis-hadis Nabi yang menyatakan bahwa Nabi tidak suka bila hadis-hadisnya ditulis. Mereka itu adalah Abu said al-khudri, Abu hurairah, dan Zaid bin tsabit.
ABU SAID AL KHUDRI
Hadis Abu said al khudri ini diriwayadkan dengan dua jalur (sanad) dengan peraturan yang berbeda.
Pertama : Melalui Hamman, dari zaid bin aslam, dari ata bin yasar dari abu said al khudru, bahwa nabi SAW bersabda : “Jangan kamu tulis ucapan-ucapanku, dan barang siapa menulis ucapanku selain al-Qur’an hendaknya ia menghapusnya. Dan barang siapa mendustakan diriku kata Hamman, saya kira Nabi lalu ersabda dengan sengaja, maka bersiap-siaplah untuk masuk neraka.
Kedua : Melalui abd al-rahman bin zaid bin salam, dari ayahnya, dari ata bin yasar, ari abu said al-khudri, katanya “Kami pernah minta idzin Nabi SAW untuk menulis hadis-hadis beliau, tetapa beliau tidak mengidzinkannya”.
ABU HURAIRAH
Menurut Al-dzahabi, Abd al rahman bin zaid bin aslam ini tidak dapat diterima karena mungkar (rawinya sangat kemah). Oleh karena itu riwayat Abd al-rahman bin zaid ini gugur, tidak dapat diterima.
ZAID BIN TSABIT
Hadis ini diriwayadkan melalui dua jalur yaitu :
Pertama : Berasal dari Al-muttalib bin Abdullah bin hantah. Kata Al-muttalib, Zaid bin tsabit datang kepada mu’awiyah, lalu mu’awiyah menanyainya tentang suatu hadis. Mu’awiyah juga menyuruh pembantunya untuk menulis hadis tersebut. Kepada mu’awiyah, zaid lalu mengatakan bahwa Rasullah merlarang mereka menulis hadis.
Kedua : Berasal dari al-syabi, marwan menyuruh orang agar duduk bersama zaid bin tsabit dibalik kelambu. Setelah itu marwan memanggilnya untuk duduk disampingnya. Marwan lalu menanyainya tentang sesuatu, kemudian mereka menulis hal itu. Ketika peristiwa itu diketahui zaid, ia berkata, “Wahai Marwan, maaf, yang saya ucapkan itu hanyalah pendapatku sendiri”.
Para ulama berbeda pendapat, apakah hadis abu said al-khudri ini marfu (diucapkan oleh Rasullah) atau mauquf (ucapan abu said al-khudri sendiri). Ibnu hajar menuturkan bahwa sejumlah ulama (imam buchori dan lain-lain) berpendapat bahwa hadis ini ada cacatnya (illatnya), dan yang benar hadis ini hanyalah ucapan atau pendapat abu said al-khudri. Banyak sekai pendapat dalam hal ini, namun yang paling penting hanyalah dua :
1. Hadis yang melarang penulisan hadis ini di batalkan (dinaskh) dengan hadis-hadis lain yang memperbolehkan hal itu. Dan perlu di ingat bahwa hadis shahih yang melarang penulisan hadis hanya ada satu buah hadis saja.
2. Larangan tersebut hanyalah khusus untuk penulisan hadis bersama al-Qur’an dalam satu naskah, Hal ini dikhawatirkan akan terjadi pencampuran antara hadis dan al-Qur’an.
Hadis yang melarang penulisan hadis itu membatalkan hadis yang mangidzinkan penulisan hadis. Hal ini karena ada dua alasan sebagai berikut :
1. Kesimpulan para sahabat dimana mereka enggam menulis hadis, karena adanya larangan dalam hal ini. Dan ini terjadi setelah Nabi wafat.
2. Para sahabat tidak membukukan dan menyebarluaskan hadis. Andaikata mereka melakukan hal ini, niscahaya ada berita yang mutawatir bahwa mereka melakukannya.
Kenyataan-kenyataan diatas membuktikan bahwa mereka tidak bermaksud menjadikan hadis-hadis seluruhnya sebagai aturan agama secara umum dan abadi seperti halnya al-Qur’an. Sebab seandainya mereka mengetahui bahwa Nabi SAW menghendaki de,ikian, tentu mereka manulis hadis dan menyuruh yang lain untuk melakukan hal yang sama. Mereka tidak cukup hanya dengan al-Qur’an dan sunnah yang dikenal oleh orang banyak yang sudah biasa di amalkan.
Diterima atau tidaknya sunnah Nabi sebagai sumber hukum Islam tidaklah tergantung pada pendapat seseorang, baik sahabat, tabiin, atau yang lain. Sebab kedudukan sunnah sudah diterangkan oleh yang menurunkan al-Qur’an, dan dialah yang mewajibkan prnggunaan sunnuh Nabi itu. Maka tidak ada artinya Pendapat Rasyid ridha yang menyatakan bahwa para sahabat tidak bermaksud menjadikan selaruh hadis-hadis Nabi sebagai aturan agama secara umum yang abadi seperti halnya al-Qur’an. 5
Sebab kedudukan sunnah sebagai sumber hukum tidaklah bergantung kepada kemauan mereka atau tidaknya. Apalagi ucapan Khulafah Rasydin dan para sahabat seperti yang dituturkan Rasyid Ridha itu adalah palsu.
Banyak ahli-ahli Hadis yang menulis hadis untuk dirinya sendiri. Kemudian ada diantara mereka yang merasa enggan untuk menulis seperti itu, atau terkadang hanya enggan menuliskan hadis untuk orang lain karena ada satu dan lain hal. Contoh-contoh dibawah ini akan memperkuat hal-hal tersebut di atas.
1. Konon Ibrahim al-Nakhai tidak mau menulis buku. Padahal dimaklumi ia menjelaskan masalah ini ketika berbicara dengan fudhail. Fudhail berkata kepada Ibrahim, “Aku dating kepadamu. Banyak masalah yang svudah berkumpul, seolah-olah Allah mengambilnya dari padaku, sedangkan kamu tidak mau membukukannya”. Mendengar kata Fudhail ini Ibrahim menjawab, “Tidak sedikit orang menulis buku akhirnya ia mengandalkan tulisannya itu. Dan tidak sedikit orang yang mencari ilmu akhirnya Allah memberinya ilmu yang cukup.
Maka jeleslah kiranya kenapa Ibrahim tidak mau menuliskan buku yaitu agar orang-orang tidak mengandalkan kepada suatu tulisan (buku). Sebab, seperti kata al-Tsauri, seburuk-buruk gudang atau (penyimpan) ilmu adalah kertas, alias buku. Dalam memuji betapa perlunya menghafal diluar kepala, Seorang badui berkata,”Satu huruf yang kamu hafal lebih baik dari pada sepuluh huruf yang kamu tulis dalam bukumu”.
2. Diantara orang yang tidak mau menulis buku adalah al-Syabi. Syubrumah menuturkan ia mendengar al-Syabi berkata :”Saya tidak menulis hitam diatas putih, dan tidak bersedia menceritakan sesuatu dari orang lain”.
Kata-kata al-syabi bila diteliti denagn cermat akan diketehui bahwa hal itu tidak ada kaitannya dengan keengganan untuk menulis. Sebab ia hanya bercerita tentang kekuatan hafalannya. Apalagi bila dilihat bahwa ucapan al-syabi dikisahkan oleh Abu kiran, dimana ia sendiri mengatakan,” Apabila kamu mendengar sesuatu maka tulislah hal itu meskipun ditembok”.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Al-khatib al-Baghdadi telah banyak memberikan penjelasan tentang berbagai factor yang menyebabkan sejumlah ulama tidak mau menulis hadis. Banyak ahli-ahli hadis yang pada suatu saat tidak mau menulis hadis, namun hal itu hanyalah atas keinginannya sendiri.
Ketidakmauan mereka menulis hadis bersama al-Qur’an adalah merupakan untuk menjaga kemurnian al-Qur’an. Adanya qiraat al-quran yang syadz (tidak otentik) barangkali akibat dimasukkannya penafsiran tentang sejumlah ayat dalam penafsiran al-Qur’an pada masa permulaan. Dan penulisan hadis yang dilakukan oleh sejumlah besar para sahabat merupakan bukti kuat bahwa ketidakmauan mereka menulis hadis hanyalah bersifat sementara dan tidak bersifat umum.
DAFTAR PUSTAKA
Khaitsamah abu,sanadnya shahi, pustaka firdaus, semarang. 1993.
Mustafa Muhammad azami, Hadis nabawi dan sejarah kodefikasinya, Pustaka firdaus, Jakarta 106. 1994
PENDAHULUAN
Dalam hal ini telah diketahui bahwa kemampuan ilmiah ummat Islam telah memungkinkan mereka melakukan penulisan terhadap Hadis-hadis Nabi. Tetapi pendapat yang dominan dikalangan para sarjana dan ilmuan adalah bahwa hadis-hadis itu hanya disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan) sampai akhir abad pertama hijri. Sedang orang pertama kali yang punya ide untuk menulis hadis adalah Khalifah Umar bin abd al-Aziz, dimana beliau mengirimkan surat kepada Abn Bakar Muhammad bin hazm, yang mengatakan “periksalah dan tulislah semua Hadis-hadis Nabi, sunnah-sunnah yang sudah di kerjakan, atau hadis tentang umrah karena saya khawatir hal itu akan punah”. Khalifah umar bin abd al-Aziz juga memberikan tugas kepada ibnu syibab al-Zuhri dan lain-lain untuk mengumpulkan danmenuliskan hadis. Pendapat imam Malik juga popular, bahwa orang yang pertama kali menulis hadis adalah Ibnu syibab al-Zuhri.
Ibnu hajar dengan menukil pendapat para ulama mengatakan bahwa jemaah Sahabat dan Tabiin enggan menulis Hadis, mereka lebih cenderung untuk mengajarkannya secara lisan seperti halnya mereka menerimanya secara lisan. Akan tetapi setelah kecenderungan menghafal mulai menurun dan para ulama menghawatirkan punahnya Hadis, mereka lalu menulisnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendapat para ulama tentang penulisan Hadis dan kelambatan pembukuannya.
Masalah pokok yang menyebabkan para ahli berpendapat bahwa pembukuan Hdis terlambat sampai seratus tahun atau lebih karena mereka hanya mengikuti pendapat yang popular dikalangan mereka, tanpa meneliti sumber-sumber yang menunjukkan bahwa Hadis sudah di bukukan pada masa yang lebih awal. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Hadis Nabi belum di bukukan pada masa Sahabat Tabiin tua. Hal itu karena adanya dua faktor yaitu :
1. Semula memang dilarang mereka menulis Hadis seperti tersebut dalam shahih Muslim karena khawatir tercampur dengan al-Qur’an.
2. Hafalan mereka sangat kuat dan otak mereka juga sangat cerdas, disamping umumnya mereka tidak dapat menulis.
Orang-orang yang pertama kali melakukan hal itu adalah al-rhabi bin shabih, sa’id bin abu arubah, dan lain-lain. Mereka menyusun bab Hadis secara khusus. Sampai datang tokoh-tokoh generasi ketiga, dimana mereka membukukan Hadis dengan metode penyusunan kitab-kitab hukum (fiqih). Terlambatnya pembukuan Hadis sampai akhir masa Tabiin disebabkan oleh tiga factor berikut :
1. Kebanyakan mereka tidak dapat menulis.
2. Kekuatan hafalan dan kecerdasan mereka sudah dapat da andalkan, sehingga mereka tidak perlu menulis hadis
3. Semula, adanya larangan dari Nabi untuk menulis hadis, seperti terdapat dalam shahih muslim. Hal itu dikhawatirkan sejumlah hadis akan tercampur dengan al-Qur’an, sehingga al-Qur’an tidak murni lagi.
B. Sanggahan terhadap Ibnu Hajar dan lain-lain
1. “ Kebanyakan mereka tidak dapat menulis”
Banyaknya jumlah sekretaris-sekretaris Nabi dan adanya sistem administrasi dalam negara besar pada masa Khulafa Rasyidin tak pelak menuntut adanya penulis-penulis yang cakap dalam ilmu hitung dan lain-lain. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa pada masa itu para sahabat banyak yang pandai menulis dan membaca.
Kebijakan pendidikan Nabi yang sudah membawa hasil pada masa itu pasti lebih membawa hasil untuk masa sesudahnya. Dan meskipun mereka kebanyakan (mayoritas) tisak mengetahui tulis menulis, tidak berarti sedikit justru tetap banyak. Dan jumlah ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan.
2. “Kekuatan hafalan dan kecerdasan mereka sudah dapat diandalkan, sehingga mereka tidak perlu lagi menulis hadis.
Suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa sifat-sifat jasmani maupun rohani termasauk kekuatan untuk mengahapal berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Melalui latihan-latihan khusus sifat-sifat itu dapat dikembangkan. Orang-orang Arab juga menghafal diwan-diwan syairnya diluar kepala. Mereka jauh dari kesulitan dan kebisingan kota pada umumnya. Oleh sebab itu mungkin sekali kekuatan menghafal mereka sangat kuat. Dan wajar apabila terdapat orang-orang yang mempunyai kekuatan menghafal luar biasa.
Tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan adanya orang-orang lain yang lemah hafalannya, sebab yang menjadi ukuran adalah mayoritas. Namun demikian kenyataan itu tidak dapat dijadikan alas an bahwa mereka tidak perlu menulis hadis, sebab ternyata meskipun mereka hafal mereka juga masih menulis syair-syair dan sebagainya.
3. “Adanya larangan dari Nabi untuk menulis Hadis”
Al-khatib al-Baghdadi adalah termasuk orang yang memahas masalah ini dalam bukunya Taqyid al-ilm (penulisan hadis). Pada saat ini rasanya tidak ada yang menandingi buku tersebut yang membahas masalah yang sama. Al-baghdadi membagi kitabnya menjadi tiga bagian :
Bagian pertama : Tentang keengganan menulis hadis.
Pasal pertama : Tentang larangan Nabi untuk menulis hadis.
Pasal kedua : Tentang nama enam sahabat yang tidak mau menulis hadis, yaitu Abu said al-khudri, Abdullah bin mas’ud, Abu musa al-asy’ari, Abu hurairah, Abdullah bin Abbas, dan Abdullh bin umar.
Pasal ketiga : Tentang nama dua belas orang tabiin yang tidak mau menulis hadis, yaitu Abu idris, Abu alAliyah, Ibrahim al nakha’I, Alamasy, Al dhahhak, Ubaidullah bin Abdullah, Al qosim bin Muhammad, Muhammad bin sirin, Al mughirah, dan Manshur.
Bagian kedua : Disini Al-Baghdadi menuturkan nama orang-orang yang tidak mau menulis hadis berikut alasan-alasan mereka. Mereka itu adalah ibnu aun, Al-asy ari, Dan Ibnu mas’ud. Disini disebutkan [ulukisah umar bin khattab dimana beliau pernah diminta pertimbangan untuk penulisan hadis berikut keengganan beliau dalam masalah ini.
Bagian ketiga : Disini al-khatib al Baghdadi menyebutkan hadis hadis Nabi dan pendapat (atsar) para sahabat dan tabiin tentang dibolehkannya menulis hadis. Semua orang yang meriwayadkan hadis yang melarang penulisan hadis, kecuali satu atau dua orang saja. Bahkan mereka sendiri menulis hadis atau hadis-hadis mereka ditulis oleh orang lain.
C. Sikap Nabi SAW terhadap penulisan Hadis
Ada tiga sahabat yang secara popular meriwayatkan hadis-hadis Nabi yang menyatakan bahwa Nabi tidak suka bila hadis-hadisnya ditulis. Mereka itu adalah Abu said al-khudri, Abu hurairah, dan Zaid bin tsabit.
ABU SAID AL KHUDRI
Hadis Abu said al khudri ini diriwayadkan dengan dua jalur (sanad) dengan peraturan yang berbeda.
Pertama : Melalui Hamman, dari zaid bin aslam, dari ata bin yasar dari abu said al khudru, bahwa nabi SAW bersabda : “Jangan kamu tulis ucapan-ucapanku, dan barang siapa menulis ucapanku selain al-Qur’an hendaknya ia menghapusnya. Dan barang siapa mendustakan diriku kata Hamman, saya kira Nabi lalu ersabda dengan sengaja, maka bersiap-siaplah untuk masuk neraka.
Kedua : Melalui abd al-rahman bin zaid bin salam, dari ayahnya, dari ata bin yasar, ari abu said al-khudri, katanya “Kami pernah minta idzin Nabi SAW untuk menulis hadis-hadis beliau, tetapa beliau tidak mengidzinkannya”.
ABU HURAIRAH
Menurut Al-dzahabi, Abd al rahman bin zaid bin aslam ini tidak dapat diterima karena mungkar (rawinya sangat kemah). Oleh karena itu riwayat Abd al-rahman bin zaid ini gugur, tidak dapat diterima.
ZAID BIN TSABIT
Hadis ini diriwayadkan melalui dua jalur yaitu :
Pertama : Berasal dari Al-muttalib bin Abdullah bin hantah. Kata Al-muttalib, Zaid bin tsabit datang kepada mu’awiyah, lalu mu’awiyah menanyainya tentang suatu hadis. Mu’awiyah juga menyuruh pembantunya untuk menulis hadis tersebut. Kepada mu’awiyah, zaid lalu mengatakan bahwa Rasullah merlarang mereka menulis hadis.
Kedua : Berasal dari al-syabi, marwan menyuruh orang agar duduk bersama zaid bin tsabit dibalik kelambu. Setelah itu marwan memanggilnya untuk duduk disampingnya. Marwan lalu menanyainya tentang sesuatu, kemudian mereka menulis hal itu. Ketika peristiwa itu diketahui zaid, ia berkata, “Wahai Marwan, maaf, yang saya ucapkan itu hanyalah pendapatku sendiri”.
Para ulama berbeda pendapat, apakah hadis abu said al-khudri ini marfu (diucapkan oleh Rasullah) atau mauquf (ucapan abu said al-khudri sendiri). Ibnu hajar menuturkan bahwa sejumlah ulama (imam buchori dan lain-lain) berpendapat bahwa hadis ini ada cacatnya (illatnya), dan yang benar hadis ini hanyalah ucapan atau pendapat abu said al-khudri. Banyak sekai pendapat dalam hal ini, namun yang paling penting hanyalah dua :
1. Hadis yang melarang penulisan hadis ini di batalkan (dinaskh) dengan hadis-hadis lain yang memperbolehkan hal itu. Dan perlu di ingat bahwa hadis shahih yang melarang penulisan hadis hanya ada satu buah hadis saja.
2. Larangan tersebut hanyalah khusus untuk penulisan hadis bersama al-Qur’an dalam satu naskah, Hal ini dikhawatirkan akan terjadi pencampuran antara hadis dan al-Qur’an.
Hadis yang melarang penulisan hadis itu membatalkan hadis yang mangidzinkan penulisan hadis. Hal ini karena ada dua alasan sebagai berikut :
1. Kesimpulan para sahabat dimana mereka enggam menulis hadis, karena adanya larangan dalam hal ini. Dan ini terjadi setelah Nabi wafat.
2. Para sahabat tidak membukukan dan menyebarluaskan hadis. Andaikata mereka melakukan hal ini, niscahaya ada berita yang mutawatir bahwa mereka melakukannya.
Kenyataan-kenyataan diatas membuktikan bahwa mereka tidak bermaksud menjadikan hadis-hadis seluruhnya sebagai aturan agama secara umum dan abadi seperti halnya al-Qur’an. Sebab seandainya mereka mengetahui bahwa Nabi SAW menghendaki de,ikian, tentu mereka manulis hadis dan menyuruh yang lain untuk melakukan hal yang sama. Mereka tidak cukup hanya dengan al-Qur’an dan sunnah yang dikenal oleh orang banyak yang sudah biasa di amalkan.
Diterima atau tidaknya sunnah Nabi sebagai sumber hukum Islam tidaklah tergantung pada pendapat seseorang, baik sahabat, tabiin, atau yang lain. Sebab kedudukan sunnah sudah diterangkan oleh yang menurunkan al-Qur’an, dan dialah yang mewajibkan prnggunaan sunnuh Nabi itu. Maka tidak ada artinya Pendapat Rasyid ridha yang menyatakan bahwa para sahabat tidak bermaksud menjadikan selaruh hadis-hadis Nabi sebagai aturan agama secara umum yang abadi seperti halnya al-Qur’an. 5
Sebab kedudukan sunnah sebagai sumber hukum tidaklah bergantung kepada kemauan mereka atau tidaknya. Apalagi ucapan Khulafah Rasydin dan para sahabat seperti yang dituturkan Rasyid Ridha itu adalah palsu.
Banyak ahli-ahli Hadis yang menulis hadis untuk dirinya sendiri. Kemudian ada diantara mereka yang merasa enggan untuk menulis seperti itu, atau terkadang hanya enggan menuliskan hadis untuk orang lain karena ada satu dan lain hal. Contoh-contoh dibawah ini akan memperkuat hal-hal tersebut di atas.
1. Konon Ibrahim al-Nakhai tidak mau menulis buku. Padahal dimaklumi ia menjelaskan masalah ini ketika berbicara dengan fudhail. Fudhail berkata kepada Ibrahim, “Aku dating kepadamu. Banyak masalah yang svudah berkumpul, seolah-olah Allah mengambilnya dari padaku, sedangkan kamu tidak mau membukukannya”. Mendengar kata Fudhail ini Ibrahim menjawab, “Tidak sedikit orang menulis buku akhirnya ia mengandalkan tulisannya itu. Dan tidak sedikit orang yang mencari ilmu akhirnya Allah memberinya ilmu yang cukup.
Maka jeleslah kiranya kenapa Ibrahim tidak mau menuliskan buku yaitu agar orang-orang tidak mengandalkan kepada suatu tulisan (buku). Sebab, seperti kata al-Tsauri, seburuk-buruk gudang atau (penyimpan) ilmu adalah kertas, alias buku. Dalam memuji betapa perlunya menghafal diluar kepala, Seorang badui berkata,”Satu huruf yang kamu hafal lebih baik dari pada sepuluh huruf yang kamu tulis dalam bukumu”.
2. Diantara orang yang tidak mau menulis buku adalah al-Syabi. Syubrumah menuturkan ia mendengar al-Syabi berkata :”Saya tidak menulis hitam diatas putih, dan tidak bersedia menceritakan sesuatu dari orang lain”.
Kata-kata al-syabi bila diteliti denagn cermat akan diketehui bahwa hal itu tidak ada kaitannya dengan keengganan untuk menulis. Sebab ia hanya bercerita tentang kekuatan hafalannya. Apalagi bila dilihat bahwa ucapan al-syabi dikisahkan oleh Abu kiran, dimana ia sendiri mengatakan,” Apabila kamu mendengar sesuatu maka tulislah hal itu meskipun ditembok”.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Al-khatib al-Baghdadi telah banyak memberikan penjelasan tentang berbagai factor yang menyebabkan sejumlah ulama tidak mau menulis hadis. Banyak ahli-ahli hadis yang pada suatu saat tidak mau menulis hadis, namun hal itu hanyalah atas keinginannya sendiri.
Ketidakmauan mereka menulis hadis bersama al-Qur’an adalah merupakan untuk menjaga kemurnian al-Qur’an. Adanya qiraat al-quran yang syadz (tidak otentik) barangkali akibat dimasukkannya penafsiran tentang sejumlah ayat dalam penafsiran al-Qur’an pada masa permulaan. Dan penulisan hadis yang dilakukan oleh sejumlah besar para sahabat merupakan bukti kuat bahwa ketidakmauan mereka menulis hadis hanyalah bersifat sementara dan tidak bersifat umum.
DAFTAR PUSTAKA
Khaitsamah abu,sanadnya shahi, pustaka firdaus, semarang. 1993.
Mustafa Muhammad azami, Hadis nabawi dan sejarah kodefikasinya, Pustaka firdaus, Jakarta 106. 1994
No comments:
Post a Comment