Monday, 21 March 2016

Interelasi Agama dan Masyarakat (Sosiologi Islam)



BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Ini berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga, setiap perilaku yang diperankan akan terkait dengan sitem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. Karena itu, Wach lebih jauh beranggapan bahwa keagamaan yang bersifat subjektif, dapat diobjektifkan dalam pelbagai macam ungkapan, dan ungkapan-ungkapan tersebut mempunyai struktur tertentu yang dapat dipahami.
Hubungan interdipendensi antara agama dan masyarakat, Wach menunjukan adanya pengaruh timbal-balik antara kedua faktor tersebut. Pertama, pengaruh agama terhadap masyarakat, seperti yang dilihat dalam pembentukan, pengembangan, dan penentuan kelompok keagamaan spesifik yang baru. Kedua, pengaruh masyarakat terhadap agama. Dalam hal ini Wach memusatkan perhatiannya pada faktor-faktor sosial yang memberikan nuansa dan keragaman perasaan dan sikap keagamaan yang terdapat dalam suatu lingkungan atau kelompok sosial tertentu.









BAB II PEMBAHASAN
INTERELASI ANTARA AGAMA DAN MASYARAKAT
Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam prilaku sosial tertentu. Dalam buku American Piety: the nature of religious commitment, C.Y. Glock dan Stark menyebut lima dimensi beragama. Yaitu :
1.  Dimensi keyakinan; yaitu dimensi ini berisikan pengharapan sambil berpegang teguh pada teologis tertentu.
2.  Dimensi praktik agama; yaitu agama meliputi prilaku simbolik dari makna-makna keagamaan yang terkandung didalamnya.
3. Dimensi pengalaman keagamaan; yaitu dimensi keagamaan yang merujuk pada seluruh keterlibatan subjektif dan individual dengan hal-hal yang suci dari suatu agama.
4. Dimensi pengetahuan agama;
5. Dimensi konsekuensi. yang mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
Kinsley Davis mengidentikkan  analisis sosiologi dalam melihat hubungan manusia dengan masyarakatnya sebagai analisis fungsional. Dia beranggapan bahwa pengujian atas peranan (atau fungsi) yang di jalankan oleh sebuah institusi atau prilaku tertentu dalam masyarakat serta cara-cara peranan itu, berkaitan dengan gejala sosial lainya. Menurut davis,hal itu merupakan hakikat dari analisis fungsional . Setiap muslim terkait keharusan moral untuk memandang dan memperlakukan masyarakat sebagai sebuah”jasad yang tunggal” (al-jasad al-wahid). Dengan demikian, penjelasan mengenai perilaku keagamaan para penganut terekat diperkotaan didasarkan pada perspektif struktural fungsional khususnya analisis fungsional sebagaimana di kemukakan oleh Talcott Parson, dengan alasan bahwa bacaan-bacaan  modern dari teori fungsional bermuara pada karya Talcott Parsons.[1]
Perspektif ini sering di sebut struktural pungsionalisme. penamaan ini karena perspektif ini memusatkan perhatian pada prasyarat fungsional atau kebutahan yang harus di penuhi oleh suatu sistem sosial dalam mempertahankan kehidupannya dan struktural yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Sesuai dengan pandangan ini, sistem sosial memiliki kecendrungan untuk melaksanakan fungsi tertentu yang dibutuhkan untuk kelangsungan sistem sosial. Oleh karena itu, analisis sosiologi berusaha meneliti  struktur sosial yang melaksanakan fungsi untuk memenuhi kebutuhan sistem sosial.
Dalam menganalisis sistem sosial, fungsionalisme lebih menekankan pada tiga unsur penting, yaitu:
1.      Hubungan-hubungan umum dari berbagai sistem.
2.      Situasi normal atau situasi keseimbangan, sejajar dengan kondisi normal atau sehat dalam tubuh manusia.
3.      Cara semua bagian dari sistem melakukan reorganisasi akan membawa kembali sistem pada situasi normal. salah satu proposisi yang paling penting dari fungsionalisme adalah bahwa sistem akan selalu ada proses reorganisasi dan kecenderungan untuk menciptakan keseimbangan.
August Comte, secara umum menetapkan asumsi dasar fungsionalisme mengenai saling ketergantungan sistem sosial ketika ia mengatakan bahwa  “studi statis dari sosiologi meliputi penyelidikan atas hukum-hukum aksi dan reaksi dari berbagai bagian sistem sosial. Herbert Spenser mengartikan kosep diferensiasi sebagai ketergantungan timbal-balik dari berbagai bagian yang berbeda dalam sistem yang timbul sebagai akibat peningkatan jumlah anggota masyarakat. [2]
Sumbangan terpenting atas fungsionalisme Durkheim dalahh salah satu karyanya “the elementary forms of the religious life”. Ia mengemukakan bahwa agama pada suku yang sangat premitif merupakan suatu kekuatan integrasi yang sangat kuat. Durkheim mengartikan nilai sebagai konsep kebaikan yang diterima secara umum atau keyakinan yang mensahihkan keberadaan dan pentingnya structural sosial tersebut. Sebagai institut yang efektif dalam mengembangkan nilai-nilai umum, agama menjadi alat integrasi yang baik.[3]
Person mengatakan bahwa “konsep sistem dalam tindakan sangat sentral” teori umum tentang tindakan mencakup empat sistem, yaitu:
1.      Sistem kebudayaan
Pemahaman Person (Robertson 1993: 53) mengenai sistem kebudayaan dituangkan dalam pernyataan: “jelas sekali bahwa kesamaan yang tinggi dalam sistem tindakan manusia hanya mungkin terjadi jika terdapat sistem simbolis yang stabil yang maknanya satu tidak terpisah. Hal itu adalah sebuah sistem simbolis yang diterima secara umum sehingga memiliki fungsi bagi interaksi yang dalam kesempatan ini kita sebut sebagai kebudayaan”.
2.      Sistem sosial
Sistem sosial menempati tahap berikutnya dalam skema Parsons. Unit dasarnya adalah interaksi peran. Ia mendefinisikan sebagai berikut: “sistem sosial terdiri atas sejumlah actor individual yang majemuk dan saling berinteraksi dalam suatu situasi yang sekurang-kurangnya memiliki aspek fisikal dan lingkungan untuk memperoleh penghargaan setinggi-tingginya dan yang hubungan dengan situasi mereka didefinisikan dan disalurkan melalui sistem yang terstruktur dalam kebudayaan dan dianut secara bersama”. Dalam definisi Person mengenai sistem sosial, majemuk dapat diartikan sebagai dua atau lebih aktor dan acktor dapat berarti masyarakat atau kelompok sehingga interaksi sosial mencakup interaksi dua orang.
3.      Kepribadian
Kepribadian adalah actor secara individual, orang perorang. Sejalan dengan para penganut teori pertukaran bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kepentingan pribadi atau peningkat keuntungan.
4.      Prilaku Organisme
Prilaku organisme, unit dasar manusia adalah dirinya sendiri, yaitu aspek fisik orang perorang, termasuk lingkungan fisik dan organis tempat manusia itu hidup.
Sejalan dengan perspektif ini, dapat dikatakan bahwa agama merupakan salah satu bentuk legitimiasi yang paling efektif. Agama merupakan naungan sakral yang melindungi manusia dari situasi kekacauan (chaos). Sebagai sistem keyakinan, agama bisa menjadi bagian dan inti dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat, dan menjadi pendorong atau penggerak serta mengontrol bagi tindakan anggota masyarakat tertentu untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agama nya. Ketika pengaruh ajaran agama sangat kuat terhadap sistem nilai dari kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, maka sistem nilai kebudayaan itu terwujud sebagai simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran agama yang menjadi kerangka acuannya. Dalam keadaan demikian, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan dari berbagai pranata yang ada dalam masyarakat (keluarga, ekonomi, politik, dan pendidikan ), dipengaruhi, digerakkan, dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah agama yang dianutnya, dan terwujud dalam kegiatan para warga masyarakatnya sebagai tindakan dan karya yang diselimuti oleh simbol-simbol suci. [4]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam kelompok yang dilandasi oleh satu ajaran agama, keyakinan keagamaan dari suatu anggota kelompok menjadi kuat dan mantap.  Dalam kelompok itulah keteraturan di mantapkan berdasarkan norma yang berlaku dalam kehidupan berkelompok apapun dan dimana pun yang bukan kelompok keagamaan.
Adapun yang dimaksud dengan “bedasarkan norma” adalah bagaimana anggota para kelompok diharapan berkeyakinan dan bertindak juga menginterpretasi serta menghasilkan benda-benda dan mewujudkan kegiatan sesuai dengan keyakinan keagamaan dari kelompok tersebut.

















PERTANYAAN
  1. Apakah fungsi agama dalam masyarakat?
  2. Bagaimana hubungan agama dengan masyarakat?
  3. Apakah peran agamadalam masyarakat?
  4. Apakah agama berpengaruh pada masyarakat?
  5. Bagaimana fungsi agama terhadap pemeliharaan masyarakat?
  6. Bagaimana yang dikatakan dimensi pengetahuan agama?
  7. Mengapa fungsionalisme sangat penting dalam agama?
  8. Bagaimana interelasi agama dalam suatu masyarakat desa?
  9. Apakah dengan adanya agama, masyarakat menjadi aman?
  10. Apakah yang membuat masyarakat memiliki agama?








DAFTAR PUSTAKA
Kahmad, Dadang. 2009. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Agus Subandi, Sosiologi Agama, Bandung: Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati Press, 2010
Endang Saifuddin Anshari, Agama dan Kebudayaan, Mukaddimah Sejarah Kebudayaan Islam ,Surabaya: Bina Ilmu, 1980.






















menjaga tatanan kehidupan.Maksudnya hubungan agama dalam kehidupan jika dipadukan dengan budaya dan masyarakat akan membentuk kehidupan yang harmonis,karena ketiganya mempunyai keterkaitan yang erat satu sama lain. Sebagai contoh jika kita rajin beribadah dengan baik dan taat dengan peraturan yang ada,hati dan pikiran kita pasti akan tenang dan dengan itu kita dapat membuat keadaan menjadi lebih baik seperti memelihara dan menjaga budaya kita agar tidak diakui oleh negara lain.

        Fungsi edukatif.
     Agama memberikan bimbingan dan pengajaaran dengan perantara petugas-petugasnya (fungsionaris) seperti syaman, dukun, nabi, kiai, pendeta imam, guru agama dan lainnya, baik dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi) pendalaman rohani, dsb.

b.  Fungsi penyelamatan.
Bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini maupun sesudah mati. Jaminan keselamatan ini hanya bisa mereka temukan dalam agama. Agama membantu manusia untuk mengenal sesuatu “yang sakral” dan “makhluk teringgi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya. Sehingga dalam yang hubungan ini manusia percaya dapat memperoleh apa yang ia inginkan. Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang salah dengan Tuhan dengan jalan pengampunan dan Penyucian batin.

c.  Fungsi pengawasan sosial (social control)
Fungsi agama sebagai kontrol sosial yaitu :
  • Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik bagi kehidupan moral warga masyarakat.
  • Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral ( yang dianggap baik )dari serbuan destruktif dari agama baru dan dari system hokum Negara modern.
  •  
d.  Fungsi memupuk Persaudaraan.
Kesatuan persaudaraan berdasarkan kesatuan sosiologis ialah kesatuan manusia-manusia yang didirikan atas unsur kesamaan.
  • Kesatuan persaudaraan berdasarkan ideologi yang sama, seperti liberalisme, komunisme, dan sosialisme.
  • Kesatuan persaudaraan berdasarkan sistem politik yang sama. Bangsa-bangsa bergabung dalam sistem kenegaraan besar, seperti NATO, ASEAN dll.
  • Kesatuan persaudaraan atas dasar se-iman, merupakan kesatuan tertinggi karena dalam persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja melainkan seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercayai bersama
e.  Fungsi transformatif.
Fungsi transformatif disini diartikan dengan mengubah bentuk kehidupan baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat.
Sedangkan  menurut   Thomas   F.O’Dea  menuliskan   enam  fungsi agama dan masyarakat yaitu:
     1.      Sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi.
     2.      Sarana hubungan  transendental  melalui  pemujaan dan upacara keagamaan.
     3.      Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada.
     4.      Pengoreksi fungsi yang sudah ada.
     5.      Pemberi identitas diri.
     6.      Pendewasaan agama.
Agama memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan
masyarakat, karena agama memberikan sebuah system nilai yang memiliki derivasi
pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam
mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat. Agama
menjadi sebuah pedoman hidup singkatnya. Dalam memandang nilai, dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai  agama dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma  atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan di sudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme.
Fungsi agama terhadap pemeliharaan masyarakat ialah memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat. Contohnya adalaha sistem kredit dalam masalah ekonomi, di mana sirkulasi sumber kebudayaan suatu sistem ekonomi bergantung pada kepercayaan yang terjalin antar manusia, bahwa mereka akan memenuhi kewajiban bersama dengan jenji sosial mereka untuk membayar. Dalam hal ini, agama membantu mendorong terciptanya persetujuan dan kewajiban sosial dan memberikan kekuatan memaksa, memperkuat, atau mempengaruhi adat-istiadat.
Menurut Roland Robertson (1984), dimensi komitmen agama diklasifikasikan menjadi :
a.Dimensi keyakinan mengandug perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran tertentu.
b.Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secra nyata. Ini menyangkut hal yang berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, perbuatan mulia, berbakti tidak bersifat formal, tidak bersifat publik dan relatif spontan.
c.Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan dengan suatu perantara yang supernatural meskipun dalam waktu yang singkat.
d.Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e.Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki konsekuensi paling penting bagi agama. Akibatnya adalah masyarakat makin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalh kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas dan sering kali dengan pengorbanan lingkungan yang sakral. Menurut Roland Robertson, watak masyarakat sekular tidak terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya, sediktnya peranan dalam pemikiran agama, praktek agama, dan kebiasaan-kebiasaan agama.
Umumnya, Kecenderungan sekularisasi mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya.
Hal itu menimbulkan pertanyaan apakahan masyarakat sekuler mampu mempertahankan ketertiban umum secara efektif tanpa adanya kekerasan institusional apabila pengaruh agama sudah berkurang.



[1]Agus Subandi, Sosiologi Agama, Bandung: Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati Press, 2010.

[2]Ibid 
[3]Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2009.). hlm 78
[4]Endang Saifuddin Anshari, Agama dan Kebudayaan, Mukaddimah Sejarah Kebudayaan Islam (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 10 

No comments:

Post a Comment