BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai
sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Ini
berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.
Sehingga, setiap perilaku yang diperankan akan terkait dengan sitem keyakinan
dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh
kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang
menginternalisasi sebelumnya. Karena itu, Wach lebih jauh beranggapan bahwa
keagamaan yang bersifat subjektif, dapat diobjektifkan dalam pelbagai macam
ungkapan, dan ungkapan-ungkapan tersebut mempunyai struktur tertentu yang dapat
dipahami.
Hubungan
interdipendensi antara agama dan masyarakat, Wach menunjukan adanya pengaruh
timbal-balik antara kedua faktor tersebut. Pertama, pengaruh agama terhadap
masyarakat, seperti yang dilihat dalam pembentukan, pengembangan, dan penentuan
kelompok keagamaan spesifik yang baru. Kedua, pengaruh masyarakat terhadap
agama. Dalam hal ini Wach memusatkan perhatiannya pada faktor-faktor sosial
yang memberikan nuansa dan keragaman perasaan dan sikap keagamaan yang terdapat
dalam suatu lingkungan atau kelompok sosial tertentu.
BAB II PEMBAHASAN
INTERELASI
ANTARA AGAMA DAN MASYARAKAT
Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem
kepercayaan yang diwujudkan dalam prilaku sosial tertentu. Dalam buku American Piety: the nature of religious commitment,
C.Y. Glock dan Stark menyebut lima dimensi beragama. Yaitu :
1.
Dimensi keyakinan; yaitu dimensi ini berisikan pengharapan sambil berpegang
teguh pada teologis tertentu.
2. Dimensi praktik agama; yaitu agama meliputi prilaku simbolik dari
makna-makna keagamaan yang terkandung didalamnya.
3. Dimensi pengalaman keagamaan; yaitu
dimensi
keagamaan yang merujuk pada seluruh keterlibatan subjektif dan individual
dengan hal-hal yang suci dari suatu agama.
4. Dimensi pengetahuan agama;
4. Dimensi pengetahuan agama;
5. Dimensi konsekuensi. yang mengacu kepada identifikasi
akibat-akibat keyakinan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari
hari ke hari.
Kinsley Davis mengidentikkan
analisis sosiologi dalam melihat hubungan manusia dengan masyarakatnya
sebagai analisis fungsional. Dia beranggapan bahwa pengujian atas peranan (atau
fungsi) yang di jalankan oleh sebuah institusi atau prilaku tertentu dalam
masyarakat serta cara-cara peranan itu, berkaitan dengan gejala sosial lainya.
Menurut davis,hal itu merupakan hakikat dari analisis fungsional . Setiap
muslim terkait keharusan moral untuk memandang dan memperlakukan masyarakat
sebagai sebuah”jasad yang tunggal” (al-jasad al-wahid). Dengan demikian, penjelasan
mengenai perilaku keagamaan para penganut terekat diperkotaan didasarkan pada
perspektif struktural fungsional khususnya analisis fungsional sebagaimana di
kemukakan oleh Talcott Parson, dengan alasan bahwa bacaan-bacaan modern dari teori fungsional bermuara pada
karya Talcott Parsons.[1]
Perspektif ini sering di sebut struktural pungsionalisme. penamaan
ini karena perspektif ini memusatkan perhatian pada prasyarat fungsional atau
kebutahan yang harus di penuhi oleh suatu sistem sosial dalam mempertahankan
kehidupannya dan struktural yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
Sesuai dengan pandangan ini, sistem sosial memiliki kecendrungan untuk melaksanakan
fungsi tertentu yang dibutuhkan untuk kelangsungan sistem sosial. Oleh karena
itu, analisis sosiologi berusaha meneliti
struktur sosial yang melaksanakan fungsi untuk memenuhi kebutuhan sistem
sosial.
Dalam menganalisis sistem sosial, fungsionalisme lebih
menekankan pada tiga unsur penting, yaitu:
1.
Hubungan-hubungan umum dari berbagai sistem.
2.
Situasi normal atau situasi keseimbangan, sejajar dengan kondisi normal atau
sehat dalam tubuh manusia.
3.
Cara semua bagian dari sistem melakukan reorganisasi akan membawa kembali
sistem pada situasi normal. salah satu proposisi yang paling penting dari
fungsionalisme adalah bahwa sistem akan selalu ada proses reorganisasi dan
kecenderungan untuk menciptakan keseimbangan.
August Comte, secara umum menetapkan asumsi dasar
fungsionalisme mengenai saling ketergantungan sistem sosial ketika ia
mengatakan bahwa “studi statis dari
sosiologi meliputi penyelidikan atas hukum-hukum aksi dan reaksi dari berbagai
bagian sistem sosial. Herbert Spenser mengartikan kosep diferensiasi sebagai
ketergantungan timbal-balik dari berbagai bagian yang berbeda dalam sistem yang
timbul sebagai akibat peningkatan jumlah anggota masyarakat. [2]
Sumbangan terpenting atas fungsionalisme Durkheim dalahh
salah satu karyanya “the elementary forms
of the religious life”. Ia mengemukakan bahwa agama pada suku yang sangat
premitif merupakan suatu kekuatan integrasi yang sangat kuat. Durkheim
mengartikan nilai sebagai konsep kebaikan yang diterima secara umum atau
keyakinan yang mensahihkan keberadaan dan pentingnya structural sosial
tersebut. Sebagai institut yang efektif dalam mengembangkan nilai-nilai umum,
agama menjadi alat integrasi yang baik.[3]
Person mengatakan bahwa “konsep sistem dalam tindakan sangat
sentral” teori umum tentang tindakan mencakup empat sistem, yaitu:
1. Sistem kebudayaan
Pemahaman Person (Robertson 1993: 53) mengenai sistem kebudayaan
dituangkan dalam pernyataan: “jelas sekali bahwa kesamaan yang tinggi dalam
sistem tindakan manusia hanya mungkin terjadi jika terdapat sistem simbolis
yang stabil yang maknanya satu tidak terpisah. Hal itu adalah sebuah sistem
simbolis yang diterima secara umum sehingga memiliki fungsi bagi interaksi yang
dalam kesempatan ini kita sebut sebagai kebudayaan”.
2. Sistem sosial
Sistem sosial menempati tahap berikutnya dalam skema Parsons.
Unit dasarnya adalah interaksi peran. Ia mendefinisikan sebagai berikut:
“sistem sosial terdiri atas sejumlah actor individual yang majemuk dan saling
berinteraksi dalam suatu situasi yang sekurang-kurangnya memiliki aspek fisikal
dan lingkungan untuk memperoleh penghargaan setinggi-tingginya dan yang
hubungan dengan situasi mereka didefinisikan dan disalurkan melalui sistem yang
terstruktur dalam kebudayaan dan dianut secara bersama”. Dalam definisi Person
mengenai sistem sosial, majemuk dapat diartikan sebagai dua atau lebih aktor
dan acktor dapat berarti masyarakat atau kelompok sehingga interaksi sosial
mencakup interaksi dua orang.
3. Kepribadian
Kepribadian adalah actor secara individual, orang perorang.
Sejalan dengan para penganut teori pertukaran bahwa manusia adalah makhluk yang
memiliki kepentingan pribadi atau peningkat keuntungan.
4. Prilaku Organisme
Prilaku organisme, unit dasar manusia adalah dirinya sendiri,
yaitu aspek fisik orang perorang, termasuk lingkungan fisik dan organis tempat
manusia itu hidup.
Sejalan dengan perspektif ini, dapat dikatakan bahwa agama
merupakan salah satu bentuk legitimiasi yang paling efektif. Agama merupakan
naungan sakral yang melindungi manusia dari situasi kekacauan (chaos). Sebagai
sistem keyakinan, agama bisa menjadi bagian dan inti dari sistem nilai yang ada
dalam kebudayaan dari masyarakat, dan menjadi pendorong atau penggerak serta
mengontrol bagi tindakan anggota masyarakat tertentu untuk tetap berjalan
sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agama nya. Ketika pengaruh
ajaran agama sangat kuat terhadap sistem nilai dari kebudayaan masyarakat yang
bersangkutan, maka sistem nilai kebudayaan itu terwujud sebagai simbol suci
yang maknanya bersumber pada ajaran agama yang menjadi kerangka acuannya. Dalam
keadaan demikian, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan dari
berbagai pranata yang ada dalam masyarakat (keluarga, ekonomi, politik, dan
pendidikan ), dipengaruhi, digerakkan, dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai
yang sumbernya adalah agama yang dianutnya, dan terwujud dalam kegiatan para
warga masyarakatnya sebagai tindakan dan karya yang diselimuti oleh
simbol-simbol suci. [4]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam kelompok yang dilandasi oleh satu ajaran agama,
keyakinan keagamaan dari suatu anggota kelompok menjadi kuat dan mantap. Dalam kelompok itulah keteraturan di
mantapkan berdasarkan norma yang berlaku dalam kehidupan berkelompok apapun dan
dimana pun yang bukan kelompok keagamaan.
Adapun yang dimaksud dengan “bedasarkan norma” adalah
bagaimana anggota para kelompok diharapan berkeyakinan dan bertindak juga
menginterpretasi serta menghasilkan benda-benda dan mewujudkan kegiatan sesuai
dengan keyakinan keagamaan dari kelompok tersebut.
PERTANYAAN
- Apakah fungsi agama dalam masyarakat?
- Bagaimana hubungan agama dengan masyarakat?
- Apakah peran agamadalam masyarakat?
- Apakah agama berpengaruh pada masyarakat?
- Bagaimana fungsi agama terhadap pemeliharaan masyarakat?
- Bagaimana yang dikatakan dimensi pengetahuan agama?
- Mengapa fungsionalisme sangat penting dalam agama?
- Bagaimana interelasi agama dalam suatu masyarakat desa?
- Apakah dengan adanya agama, masyarakat menjadi aman?
- Apakah yang membuat masyarakat memiliki agama?
DAFTAR
PUSTAKA
Kahmad, Dadang. 2009. Sosiologi Agama. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Agus
Subandi, Sosiologi Agama, Bandung: Universitas Islam Negeri Sunan Gunung
Jati Press, 2010
Endang
Saifuddin Anshari, Agama dan Kebudayaan, Mukaddimah Sejarah Kebudayaan Islam
,Surabaya: Bina Ilmu, 1980.
menjaga tatanan kehidupan.Maksudnya
hubungan agama dalam kehidupan jika dipadukan dengan budaya dan masyarakat akan
membentuk kehidupan yang harmonis,karena ketiganya mempunyai keterkaitan yang
erat satu sama lain. Sebagai contoh jika kita rajin beribadah dengan baik dan
taat dengan peraturan yang ada,hati dan pikiran kita pasti akan tenang dan
dengan itu kita dapat membuat keadaan menjadi lebih baik seperti memelihara dan
menjaga budaya kita agar tidak diakui oleh negara lain.
Fungsi
edukatif.
Agama memberikan bimbingan dan
pengajaaran dengan perantara petugas-petugasnya (fungsionaris) seperti syaman,
dukun, nabi, kiai, pendeta imam, guru agama dan lainnya, baik dalam upacara
(perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi) pendalaman rohani, dsb.
b. Fungsi penyelamatan.
Bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam
hidup sekarang ini maupun sesudah mati. Jaminan keselamatan ini hanya bisa
mereka temukan dalam agama. Agama membantu manusia untuk mengenal sesuatu “yang
sakral” dan “makhluk teringgi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya.
Sehingga dalam yang hubungan ini manusia percaya dapat memperoleh apa yang ia
inginkan. Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang salah dengan Tuhan
dengan jalan pengampunan dan Penyucian batin.
c. Fungsi pengawasan sosial (social control)
Fungsi agama sebagai kontrol sosial yaitu :
- Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik bagi kehidupan moral warga masyarakat.
- Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral ( yang dianggap baik )dari serbuan destruktif dari agama baru dan dari system hokum Negara modern.
d. Fungsi memupuk Persaudaraan.
Kesatuan persaudaraan berdasarkan kesatuan sosiologis ialah
kesatuan manusia-manusia yang didirikan atas unsur kesamaan.
- Kesatuan persaudaraan berdasarkan ideologi yang sama, seperti liberalisme, komunisme, dan sosialisme.
- Kesatuan persaudaraan berdasarkan sistem politik yang sama. Bangsa-bangsa bergabung dalam sistem kenegaraan besar, seperti NATO, ASEAN dll.
- Kesatuan persaudaraan atas dasar se-iman, merupakan kesatuan tertinggi karena dalam persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja melainkan seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercayai bersama
e. Fungsi transformatif.
Fungsi transformatif disini
diartikan dengan mengubah bentuk kehidupan baru atau mengganti nilai-nilai lama
dengan menanamkan nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat.
Sedangkan menurut Thomas
F.O’Dea menuliskan enam fungsi agama dan masyarakat
yaitu:
1. Sebagai pendukung, pelipur lara, dan
perekonsiliasi.
2. Sarana hubungan transendental melalui
pemujaan dan upacara keagamaan.
3. Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah
ada.
4. Pengoreksi fungsi yang sudah ada.
5. Pemberi identitas diri.
6. Pendewasaan agama.
Agama memiliki peranan yang sangat
penting dalam kehidupan manusia dan
masyarakat, karena agama memberikan sebuah system nilai yang memiliki derivasi
pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam
mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat. Agama
menjadi sebuah pedoman hidup singkatnya. Dalam memandang nilai, dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai agama dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan di sudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme.
masyarakat, karena agama memberikan sebuah system nilai yang memiliki derivasi
pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam
mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat. Agama
menjadi sebuah pedoman hidup singkatnya. Dalam memandang nilai, dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai agama dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan di sudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme.
Fungsi agama terhadap pemeliharaan masyarakat ialah memenuhi sebagian kebutuhan
masyarakat. Contohnya adalaha sistem kredit dalam masalah ekonomi, di mana
sirkulasi sumber kebudayaan suatu sistem ekonomi bergantung pada kepercayaan
yang terjalin antar manusia, bahwa mereka akan memenuhi kewajiban bersama
dengan jenji sosial mereka untuk membayar. Dalam hal ini, agama membantu
mendorong terciptanya persetujuan dan kewajiban sosial dan memberikan kekuatan
memaksa, memperkuat, atau mempengaruhi adat-istiadat.
Menurut Roland Robertson (1984), dimensi komitmen agama
diklasifikasikan menjadi :
a.Dimensi keyakinan mengandug perkiraan atau harapan bahwa
orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan
mengikuti kebenaran ajaran-ajaran tertentu.
b.Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan
berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secra nyata. Ini
menyangkut hal yang berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan
religius formal, perbuatan mulia, berbakti tidak bersifat formal, tidak
bersifat publik dan relatif spontan.
c.Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua
agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada
suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang
realitas tertinggi, mampu berhubungan dengan suatu perantara yang supernatural
meskipun dalam waktu yang singkat.
d.Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan bahwa
orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang
ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan
tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e.Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan
tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki
konsekuensi paling penting bagi agama. Akibatnya adalah masyarakat makin
terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam
menanggapi masalh kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular
semakin meluas dan sering kali dengan pengorbanan lingkungan yang sakral.
Menurut Roland Robertson, watak masyarakat sekular tidak terlalu memberikan
tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya, sediktnya peranan dalam pemikiran
agama, praktek agama, dan kebiasaan-kebiasaan agama.
Umumnya, Kecenderungan sekularisasi mempersempit ruang gerak
kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang terbatas pada
aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam kehidupan masyarakat dan
anggota-anggotanya.
Hal itu menimbulkan pertanyaan apakahan masyarakat sekuler
mampu mempertahankan ketertiban umum secara efektif tanpa adanya kekerasan
institusional apabila pengaruh agama sudah berkurang.
No comments:
Post a Comment