PARTUTURON
(TUTUR MENURUT DALIHAN NA TOLU)
A. Menjelaskan nama-nama partuturon dan
kelompok partuturon yang terdiri dari kahanggi, anak boru, dan mora.
Dasar
partuturon timbul dari perkawinan dan hubungan darah. Dari keluarga kecil,
kemudian menjadi keluarga besar. Dari tutur yang sedikit kemudian berkembang
menjadi tutur yang lebih banyak jenisnya. Ibarat pohon, dari bibit ditanan
berakar, berurat yang semakin bertambah banyak, kemudian dari batang, berdahan,
bercabang, beranting dan berdaun.
Demikian
berkembangnya cabang partuturon itu, dari nenek, ayah, ibu, anak, dan cucu.
Dengan perkawinan timbul mora, anak boru, pisang rahut, hula dongan dan
lain-lain. Perkawinan, keturunan darah dan perpindahan yang timbul dari
perkembangan penduduk, menjadi jalan yang bisa memperkembangkan hubungan
kekeluargaan kemasyarakatan. Sehingga hubungan yang begitu luas dan teratur,
terjalin kerukunan yang baik dalam masyarakat dan kekeluargaan yang baik dan
sopan santun dan teratur.
Nama-nama
partuturon
1. Inang, dainang, inde, umak (ibu atau yang
melahirkan kita)
2. Aya, ama, damang, bapak (ayah atau suami
ibu yang melahirkan kita)
3. Anak (keturunan kita yang laki-laki)
4. Boru (keturunan kita yang perempuan)
5. Pahompu (anak laki-laki maupun anak
prempuan keturunan dari anak kita, baik dari laki-laki maupun dari perempuan)
6. Uda (semua adik ayah yang laki-laki)
7. Amang tua (semua abang ayah bersaudara
dan yang sedarah dengan ayah)
8. Nanguda, inang uda (istri dari adik
ayah)
9. Nan tua, inang tua (istri dari abang
ayah)
10. Ujing, inang ujing, etek (adik dari ibu)
11. Inang tobang, umak tuo (semua kakak dari
ibu)
12. Namboru, bou, (semua saudara perempuan
dari ayah)
13. Amang boru (semua suami dari saudara
perempuan dari ayah)
14. Nantulang (semua istri dari saudara
laki-laki ibu)
15. Tulang, mamak (semua saudara laki-l;aki
dari ibu)
16. Ompung, nenek, (semua ayah dan ibubaik
dari pihak ayah maupun pihak ibu)
17. Ompung bayo (semua istri dari saudara
istri laki-laki kita)
18. Ipar (panggilan timbal balik antara
laki-laki yang mengambil calon istri kepada laki-laki saudara istri )
19. Lae. Ipar, pahompu, (semua yang
mengambil saudara perempuan kita)
20. Tunggane, ipar, ompung, (semua laki-laki
saudara istri kita)
21. Eda (panggilan timbal balik antara istri
denagn saudara kita yang perempuan)
22. Aya tobang (nenek dari ayah, atau suami
dari kakak ibu)
23. Inang tobang (nenek perempuan dari ayah
atau kakak dari ibu)
24. Angkang mulak (anak kita laki-laki
maupun perempuan, memanggil kepada namboru dan amang boru kita)
25. Tulang mulak (anak laki-laki dari
tunggane)
26. Anggi bayo (istri dari adik laki-laki)
27. Angkang bayo (semua abang dari suami
kita)
28. Babere, bere (semua anak laki-laki maupun
perempuan dari saudara kita perempuan)
29. Anak mulak (anak-anak dari cucu kita,
turunan laki-laki sedarah)
30. Pahompu mulak (anak-anak dari cucu
laki-laki)
31. Ompung suhut (nenek menurut garis ayah)
32. Ito, iboto (nenek menurut garis ibu)
33. Alak lahi niba (hubungan tutur si istri
kepada suami, tetapi bukan untuk panggilan)
34. Dada boru niba (hubungan tutur si suami
kepada istri, tetapi bukan untuk panggilan)
Bentuk
hubungan masyarakat kekeluargaan berdasarkan tiga dasar pokok. Ketiga pokok
inilah yang fundamental hubungan dan bentuk unsur kemasyarakatan yang lebih
popular disebut Dalihan Na Tolu : dalam arti harfiah adalah Tungku yang
Tiga.
Dalihan
artinya Tungku
Na
artinya Yang
Tolu
artinya Tiga
Tiga
batu berasal dari landasan untuk menjerangkan periuk, atau cerek agar kukuh dan
kuat. Demikian juga masyarakat kekeluargaan itu, hidup dengan dasar bentuk
Dalihan Na Tolu, yaitu terdiri dari Kahanggi, Anak boru dan Mora.
- Kahanggi, yaitu kawan seibu sebapak, kawan semarga, dan andai kata kawan kita satu pengambilan untuk istri itu juga disebut kahanggi, tetapi disebut kahanggi pareban. Walaupun kita berlainan marga dengan pareban kita itu, dalam upacara adat disebut juga hombar suhut.
- Anak boru, yaitu pihak kepada siapa kita mengawinkan putri kita (anak gadis) disebut pihak ini “Anak boru”. Dan kalau anak boru kita itu , mengawinkan putri mereka ke pihak lain, maka terhadap kita disebut “pisang rahut”, atau sibuat bere atau sijunjung pangir, (anak boru dari anak boru).
- Mora, yaitu semua pihak, kepada siapa kita mengambil calon istri, disebut dan dipanggil itulah menjadi Mora kita. Andaikan mora kita ini, mengambil calon istri kepada lain pihak pula, yaitu sebagai mora mereka. Ini untuk kita disebut Mora ni Mora atau Hula Dongan.
Dengan
fundamental falsafah Dalihan Na Tolu, maka segala urusan dan upacara adat dapat
diselesaikan ibarat memasak diatas tungku yang tiga ini, dapat kita jerangkan
periuk atau apa saja yang hendak dimasak, dengan demikian sebagai perbandingan,
apabila ketiga unsur ini telah hadir dalam hubungan keluarga sesuatunya dapat
diselesaikan menurut adat.
1. Mora: pangidoan tua, pangidoan tutur
dohot poda. Mata ni ari so gak-gahon liung so tungkiron. Derajat tinggi,
merupakan matahari yang tidak dapat ditentang. Dan bagaikan jurang yang tidak
dapat ditukik. Artinya mora, harus betul-betul dihormati atau disebut Hormat Tu
Mora , karena mora inilah tempat kita minta tutur, minta bimbingan, minta
petuah, minta nasehat dan lain-lain yang berguna bagi kita. Oleh karena itu
mora harus dimuliakan , dijunjung tinggi dan disegani. Dalam upacara adat dapat
dimaksudkan untuk memperkuat maksud dan tujuan anak boru supaya dapat tercapai
dan terlaksananya dengan baik dan sempurna. Maka dalam istilah adat disebut
Panamburi atau Pandondoni. Ada dua bentuk tingkatan mora dalam bentuk
persidangan adat yaitu, (1) mora parutangan boli, pihak mora ini dan mereka
satu nenek (saparompuan) atau satu hariman, tidak wajar hadir pada upacara
persidangan anak boru, a) sidang marpege-pege, b) sidang mangupa di naharoroan
boru. Bila kebetulan, terjadi upacara sirang adat yang menyangkut tahi
marpege-pege atau mangupa boru sedang dia sebagai raja atau hatobangon atau
sebagai pejabat fungsional adat lainnya, maka wajar sekali sebagai gantinya
disuruhnya kahangginya yang lebih jauh hubungan darahnya dengan putrinya yang
kawin di desa itu. Yang dalam hal ini yang paling penting adalah jabatan pimpinan
sebagai raja dalam persidangan. Karena marga yang lain tidak boleh menggantikan
kedudukan raja menurut yang sewajarnya. (2) Mora dongan satahi: mora ini ada
juga yang menyebut mora ama. Tutur mora timbul bukan karena hubungan perkawinan
yang sangat dekat. Cuma menurut jalur hubungan keluarga dari berbagai pihak
dalam hubungan kekeluargaan dan masyarakat kita harus memanggil mora. Kalau ini
boleh hadir, baik dalam upacara marpege-pege, mangupa dina harororan boru dan
lain-lain. Apalagi kadang-kadang dalam desa itu, mora kita itu mempunyai
jabatan sebagai raja atau hatobangon, yang mau tidak mau harus selalu hadir
dalam persidangan adat. Justru itu walaupun ia sebenarnya sebagai mora dalam
tahi atau musyawarah adat ini ia merupakan pathner (dongan) untuk menyelesaikan
segala upacara dalam persidangan adat. Karena kemungkinan kalau dia tidak hadir
persidangan adat menjadi janggal dan terhalang.
2. Mora ni Mora: adalah anggota hubungan
keluarga/masyarakat, yang tidak pula terhalang hadir dalam upacara adat, itulah
maka disebut “Hula Dongan”
3. Kahanggi: kahanggi ialah satu-satunya
yang bertanggung jawab, baik dari segi moral dan material, dalam uapacara adat.
Sedang kahanggi hambat suhut, hanya sekedar pembantu seadanya saja.
4. Anak boru: anak boru adalah pembantu
yang kuat yang tidak pernah mengenal lelah, dan tidak pula mengenal rugi dalam
horja adat yang diadakan dirumah mora. Anak boru mengerahkan segala pikiran dan
tenaga, baik siang maupun malam untuk membantu mora agar horja berjalan dengan
lancar dan berhasil dengan baik. Sehingga anak boru ini disebut “Tungkot Di Na
Landit”Sulu Di Na Golap” ataupun disebut juga “Si Tambah Na Hurang, Si Horus Na
Lobi”. Maksudnya anak borulah yang membawa obor dan menjadi tongkat pada malam
dan pada jalan yang licin.
5. Pisang Rahut: adalah pembantu untuk
menyokong mora ni mora, sehingga baik material maupun moral siap untuk membantu
agar horja jangan sempat terhalang.
B. Tutur koum sisiolkot dan Keluarga
Hubungan
masyarakat tidak dapat dipisahkan dari hubungan kekeluargaan. Yang semuanya
pertalian darah turunan laki-laki. Hubungan masyarakat dan kekeluargaan itu,
bergantung pada erat renggangnya hubungan darah. Erat renggangnya hubungan
keluarga itu, demi sopan santun yang baik maka timbullah tutur bahasa
atau”partuturon” yang bersifat umum dan bersifat khusus. Karena falsafah
mengatakan,” pantun hangoluan, teas hamatean”. Maksudnya keramahan hati dan
budi pekerti yang baik, atau sopan santun yang baik kita akan mendapat
pertolongan dalam kehidupan masyarakat kita secara baik. Tetapi kalau kita
angkuh dan sombong, apalagi kalau kita berbuat senonoh, dalam tindakan
kemasyarakatan akan mendapat cemoohan dan tantangan atau sekurang-kurangnya
tersingkir dalam masyarakat. Oleh karena itu walaupun kita belum mengenal
bentuk kepada seseorang, dalam masyarakat kita bisa bertutur secara umum.
Sewaktu kita berhadapan dengan seseorang itu, karena kita dapat melihat dari
segi penetapan umur.
1. Bersifat umum
Ibaratkan secara
umum, bagi orang yang belum kita kenal, kita boleh bertutur dengan panggilan:
a. Yang sebaya dengan kita umurnya,
panggilan dengan dongan, anggia, ito, ipar, dan lain-lain.
b. Bagi seseorang yang lebih tua dari kita:
angkang, inang, ompung, dan lain-lain.
c. Bagi seseorang yang lebih muda dari
kita: anggi, uncok, lian, butet, taing, dan lain-lain.
2. Secara khusus
a. Yang dimaksud partuturon yang bersifat
khusus, ialah apabila kita mengetahui dan mengenal erat renggangnya hubungan
darah/kefamilian terhadap seseorang. Kita harus bertutur tidak salah menurut
adat, dan tidak pula tersinggung seseorang. Kita bertutur tidak salah menurut
adat, akan nada akibatnya seperti ” lambang eme”, manyincal simangot” dan
lain-lain. Ibarat tutur kepada istri tunggane, yaitu istri dari saudara
laki-laki istri kita, baik ia lebih muda atau lebih tua, tidak boleh disebut
anggi atau angkang,(adik atau kakak). Panggilan ini sangat janggal menurut
adat, karena inilah salah satunya yang kita segani dan hormati. Inilah yang
disebut “Ompung Bayo” . tetapi kalau kita sudah mengetahui cara dan aturan
partuturon secara khusus, karena sudah dikenal, maka alangkah baiknya kita
memanggil tutur yang bagus dan benar. Kita dianggap orang sebagai orang yang
beradab dan bersopan santun, karena itupun merupakan salah satu anak raja atau
anak namora, yang tahu adat istiadat bersopan santun.
Beberapa contoh
santun:
1. Kepada kawan semarga, yang agak renggang
hubungan darahnya, kita boleh memanggil dongan: kahanggi. Dongan, regar,
pane,(dengan menyebut marganya).
2. Kepada kawan yang berlainan marga, kita
boleh memanggil dengan menyebut: pareban, inang(orangtua), amang(orangtua),
lae, tunggane, morangku, anak boru, ipar dan lain-lain.
C. Tutur saama saina
Semua
anggota masyarakat adat di Tapanuli Selatan, umunya hubungan kekeluargaan
berdasarkan hubungan darah laki-laki (patrilinial). Partuturon timbul setelah
adanya manusia. Jadi tutur dasar pertama adalah tutur didalam rumah tangga atau
keluarga, seperti tutur yang terdapat didalam rumah tangga inang, umak(ibu),
inde, aya, amang, bapak (ayah), anak (anak laki-laki), boru (anak perempuan),
ito (tutur antara anak perempuan dan laki-laki), angkang (abang), anggi (adik).
Perkembangan
keturunan ini diikuti perkembangan partuturon pula, sehingga dengan menyebarnya
turunan ini, maka timbullah berbagai jenis macam tutur, dan timbul pula
bermacam-macam marga. Kemudian antara marga yang satu dengan marga yang lain
timbul hubungan kekeluargaan yang dijalani oleh perkawinan. Dengan perkawinan
ini maka timbul pulalah berbagai macam partuturon, seperti:
1. Kahanggi, yaitu kawan sedarah, semarga dan
seketurunan, mungkin juga seibu sebapak
2. Anak boru, yaitu pihak kemana anak gadis
kita dikawinkan atau pangalehenon boru
3. Mora, yaitu pihak dimana kita mengambil
calon istri, atau pambuatan boru
D. Kesimpulan
Dengan
fundamen falsafat Dalihan Na Tolu, maka segala urusan dan upacara adat
diselesaiakan. ibarat memasak diatas tungku yang tiga ini, dapat kita jerangkan
periuk, atau apa saja yang hendak dimasak. Dengan demikian sebagai perbandingan,
apabila ketiga unsur ini sudah hadir dalam hubungan keluarga segala sesuatunya
dapat diselesaikan menurut adat.
Dengan
demikian maka teraturlah hubungan kekeluargaan dalam masyarakat itu, dengan
tertib, harmonis, teratur dan bersopan santun. Tutur adalah merupakan rambu-rambu
jalan yang mengatur jalan lalu lintas dalam hubungan keluarga. Apabila
rambu-rambu jalan tidak diperhatikan dan dituruti sedah barang tentu timbul
tubrukan.
No comments:
Post a Comment