Monday, 21 March 2016

Partuturon (Islam Budaya Tapanuli)



PARTUTURON (TUTUR MENURUT DALIHAN NA TOLU)
A.  Menjelaskan nama-nama partuturon dan kelompok partuturon yang terdiri dari kahanggi, anak boru, dan mora.
Dasar partuturon timbul dari perkawinan dan hubungan darah. Dari keluarga kecil, kemudian menjadi keluarga besar. Dari tutur yang sedikit kemudian berkembang menjadi tutur yang lebih banyak jenisnya. Ibarat pohon, dari bibit ditanan berakar, berurat yang semakin bertambah banyak, kemudian dari batang, berdahan, bercabang,  beranting dan berdaun.
Demikian berkembangnya cabang partuturon itu, dari nenek, ayah, ibu, anak, dan cucu. Dengan perkawinan timbul mora, anak boru, pisang rahut, hula dongan dan lain-lain. Perkawinan, keturunan darah dan perpindahan yang timbul dari perkembangan penduduk, menjadi jalan yang bisa memperkembangkan hubungan kekeluargaan kemasyarakatan. Sehingga hubungan yang begitu luas dan teratur, terjalin kerukunan yang baik dalam masyarakat dan kekeluargaan yang baik dan sopan santun dan teratur.
Nama-nama partuturon
1.      Inang, dainang, inde, umak (ibu atau yang melahirkan kita)
2.      Aya, ama, damang, bapak (ayah atau suami ibu yang melahirkan kita)
3.      Anak (keturunan kita yang laki-laki)
4.      Boru (keturunan kita yang perempuan)
5.      Pahompu (anak laki-laki maupun anak prempuan keturunan dari anak kita, baik dari laki-laki maupun dari perempuan)
6.      Uda (semua adik ayah yang laki-laki)
7.      Amang tua (semua abang ayah bersaudara dan yang sedarah dengan ayah)
8.      Nanguda, inang uda (istri dari adik ayah)
9.      Nan tua, inang tua (istri dari abang ayah)
10.  Ujing, inang ujing, etek (adik dari ibu)
11.  Inang tobang, umak tuo (semua kakak dari ibu)
12.  Namboru, bou, (semua saudara perempuan dari ayah)
13.  Amang boru (semua suami dari saudara perempuan dari ayah)
14.  Nantulang (semua istri dari saudara laki-laki ibu)
15.  Tulang, mamak (semua saudara laki-l;aki dari ibu)
16.  Ompung, nenek, (semua ayah dan ibubaik dari pihak ayah maupun pihak ibu)
17.  Ompung bayo (semua istri dari saudara istri laki-laki kita)
18.  Ipar (panggilan timbal balik antara laki-laki yang mengambil calon istri kepada laki-laki saudara istri )
19.  Lae. Ipar, pahompu, (semua yang mengambil saudara perempuan kita)
20.  Tunggane, ipar, ompung, (semua laki-laki saudara istri kita)
21.  Eda (panggilan timbal balik antara istri denagn saudara kita yang perempuan)
22.  Aya tobang (nenek dari ayah, atau suami dari kakak ibu)
23.  Inang tobang (nenek perempuan dari ayah atau kakak dari ibu)
24.  Angkang mulak (anak kita laki-laki maupun perempuan, memanggil kepada namboru dan amang boru kita)
25.  Tulang mulak (anak laki-laki dari tunggane)
26.  Anggi bayo (istri dari adik laki-laki)
27.  Angkang bayo (semua abang dari suami kita)
28.  Babere, bere (semua anak laki-laki maupun perempuan dari saudara kita perempuan)
29.  Anak mulak (anak-anak dari cucu kita, turunan laki-laki sedarah)
30.  Pahompu mulak (anak-anak dari cucu laki-laki)
31.  Ompung suhut (nenek menurut garis ayah)
32.  Ito, iboto (nenek menurut garis ibu)
33.  Alak lahi niba (hubungan tutur si istri kepada suami, tetapi bukan untuk panggilan)
34.  Dada boru niba (hubungan tutur si suami kepada istri, tetapi bukan untuk panggilan)
Bentuk hubungan masyarakat kekeluargaan berdasarkan tiga dasar pokok. Ketiga pokok inilah yang fundamental hubungan dan bentuk unsur kemasyarakatan yang lebih popular disebut Dalihan Na Tolu : dalam arti harfiah adalah Tungku yang Tiga.
Dalihan artinya Tungku
Na artinya Yang
Tolu artinya Tiga
Tiga batu berasal dari landasan untuk menjerangkan periuk, atau cerek agar kukuh dan kuat. Demikian juga masyarakat kekeluargaan itu, hidup dengan dasar bentuk Dalihan Na Tolu, yaitu terdiri dari Kahanggi, Anak boru dan Mora.
  1. Kahanggi, yaitu kawan seibu sebapak, kawan semarga, dan andai kata kawan kita satu pengambilan untuk istri itu juga disebut kahanggi, tetapi disebut kahanggi pareban. Walaupun kita berlainan marga dengan pareban kita itu, dalam upacara adat disebut juga hombar suhut.
  2. Anak boru, yaitu pihak kepada siapa kita mengawinkan putri kita (anak gadis) disebut pihak ini “Anak boru”. Dan kalau anak boru kita itu , mengawinkan putri mereka ke pihak lain, maka terhadap kita disebut “pisang rahut”, atau sibuat bere atau sijunjung pangir, (anak boru dari anak boru).
  3. Mora, yaitu semua pihak, kepada siapa kita mengambil calon istri, disebut dan dipanggil itulah menjadi Mora kita. Andaikan mora kita ini, mengambil calon istri kepada lain pihak pula, yaitu sebagai mora mereka. Ini untuk kita disebut  Mora ni Mora atau Hula Dongan.
Dengan fundamental falsafah Dalihan Na Tolu, maka segala urusan dan upacara adat dapat diselesaikan ibarat memasak diatas tungku yang tiga ini, dapat kita jerangkan periuk atau apa saja yang hendak dimasak, dengan demikian sebagai perbandingan, apabila ketiga unsur ini telah hadir dalam hubungan keluarga sesuatunya dapat diselesaikan menurut adat.

1.      Mora: pangidoan tua, pangidoan tutur dohot poda. Mata ni ari so gak-gahon liung so tungkiron. Derajat tinggi, merupakan matahari yang tidak dapat ditentang. Dan bagaikan jurang yang tidak dapat ditukik. Artinya mora, harus betul-betul dihormati atau disebut Hormat Tu Mora , karena mora inilah tempat kita minta tutur, minta bimbingan, minta petuah, minta nasehat dan lain-lain yang berguna bagi kita. Oleh karena itu mora harus dimuliakan , dijunjung tinggi dan disegani. Dalam upacara adat dapat dimaksudkan untuk memperkuat maksud dan tujuan anak boru supaya dapat tercapai dan terlaksananya dengan baik dan sempurna. Maka dalam istilah adat disebut Panamburi atau Pandondoni. Ada dua bentuk tingkatan mora dalam bentuk persidangan adat yaitu, (1) mora parutangan boli, pihak mora ini dan mereka satu nenek (saparompuan) atau satu hariman, tidak wajar hadir pada upacara persidangan anak boru, a) sidang marpege-pege, b) sidang mangupa di naharoroan boru. Bila kebetulan, terjadi upacara sirang adat yang menyangkut tahi marpege-pege atau mangupa boru sedang dia sebagai raja atau hatobangon atau sebagai pejabat fungsional adat lainnya, maka wajar sekali sebagai gantinya disuruhnya kahangginya yang lebih jauh hubungan darahnya dengan putrinya yang kawin di desa itu. Yang dalam hal ini yang paling penting adalah jabatan pimpinan sebagai raja dalam persidangan. Karena marga yang lain tidak boleh menggantikan kedudukan raja menurut yang sewajarnya. (2) Mora dongan satahi: mora ini ada juga yang menyebut mora ama. Tutur mora timbul bukan karena hubungan perkawinan yang sangat dekat. Cuma menurut jalur hubungan keluarga dari berbagai pihak dalam hubungan kekeluargaan dan masyarakat kita harus memanggil mora. Kalau ini boleh hadir, baik dalam upacara marpege-pege, mangupa dina harororan boru dan lain-lain. Apalagi kadang-kadang dalam desa itu, mora kita itu mempunyai jabatan sebagai raja atau hatobangon, yang mau tidak mau harus selalu hadir dalam persidangan adat. Justru itu walaupun ia sebenarnya sebagai mora dalam tahi atau musyawarah adat ini ia merupakan pathner (dongan) untuk menyelesaikan segala upacara dalam persidangan adat. Karena kemungkinan kalau dia tidak hadir persidangan adat menjadi janggal dan terhalang.
2.      Mora ni Mora: adalah anggota hubungan keluarga/masyarakat, yang tidak pula terhalang hadir dalam upacara adat, itulah maka disebut “Hula Dongan”
3.      Kahanggi: kahanggi ialah satu-satunya yang bertanggung jawab, baik dari segi moral dan material, dalam uapacara adat. Sedang kahanggi hambat suhut, hanya sekedar pembantu seadanya saja.
4.      Anak boru: anak boru adalah pembantu yang kuat yang tidak pernah mengenal lelah, dan tidak pula mengenal rugi dalam horja adat yang diadakan dirumah mora. Anak boru mengerahkan segala pikiran dan tenaga, baik siang maupun malam untuk membantu mora agar horja berjalan dengan lancar dan berhasil dengan baik. Sehingga anak boru ini disebut “Tungkot Di Na Landit”Sulu Di Na Golap” ataupun disebut juga “Si Tambah Na Hurang, Si Horus Na Lobi”. Maksudnya anak borulah yang membawa obor dan menjadi tongkat pada malam dan pada jalan yang licin.
5.      Pisang Rahut: adalah pembantu untuk menyokong mora ni mora, sehingga baik material maupun moral siap untuk membantu agar horja jangan sempat terhalang.
B.  Tutur koum sisiolkot dan Keluarga
Hubungan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari hubungan kekeluargaan. Yang semuanya pertalian darah turunan laki-laki. Hubungan masyarakat dan kekeluargaan itu, bergantung pada erat renggangnya hubungan darah. Erat renggangnya hubungan keluarga itu, demi sopan santun yang baik maka timbullah tutur bahasa atau”partuturon” yang bersifat umum dan bersifat khusus. Karena falsafah mengatakan,” pantun hangoluan, teas hamatean”. Maksudnya keramahan hati dan budi pekerti yang baik, atau sopan santun yang baik kita akan mendapat pertolongan dalam kehidupan masyarakat kita secara baik. Tetapi kalau kita angkuh dan sombong, apalagi kalau kita berbuat senonoh, dalam tindakan kemasyarakatan akan mendapat cemoohan dan tantangan atau sekurang-kurangnya tersingkir dalam masyarakat. Oleh karena itu walaupun kita belum mengenal bentuk kepada seseorang, dalam masyarakat kita bisa bertutur secara umum. Sewaktu kita berhadapan dengan seseorang itu, karena kita dapat melihat dari segi penetapan umur.  
1.      Bersifat umum
Ibaratkan secara umum, bagi orang yang belum kita kenal, kita boleh bertutur dengan panggilan:
a.    Yang sebaya dengan kita umurnya, panggilan dengan dongan, anggia, ito, ipar, dan lain-lain.
b.    Bagi seseorang yang lebih tua dari kita: angkang, inang, ompung, dan lain-lain.
c.    Bagi seseorang yang lebih muda dari kita: anggi, uncok, lian, butet, taing, dan lain-lain.
2.      Secara khusus
a.    Yang dimaksud partuturon yang bersifat khusus, ialah apabila kita mengetahui dan mengenal erat renggangnya hubungan darah/kefamilian terhadap seseorang. Kita harus bertutur tidak salah menurut adat, dan tidak pula tersinggung seseorang. Kita bertutur tidak salah menurut adat, akan nada akibatnya seperti ” lambang eme”, manyincal simangot” dan lain-lain. Ibarat tutur kepada istri tunggane, yaitu istri dari saudara laki-laki istri kita, baik ia lebih muda atau lebih tua, tidak boleh disebut anggi atau angkang,(adik atau kakak). Panggilan ini sangat janggal menurut adat, karena inilah salah satunya yang kita segani dan hormati. Inilah yang disebut “Ompung Bayo” . tetapi kalau kita sudah mengetahui cara dan aturan partuturon secara khusus, karena sudah dikenal, maka alangkah baiknya kita memanggil tutur yang bagus dan benar. Kita dianggap orang sebagai orang yang beradab dan bersopan santun, karena itupun merupakan salah satu anak raja atau anak namora, yang tahu adat istiadat bersopan santun.
Beberapa contoh santun:
1.    Kepada kawan semarga, yang agak renggang hubungan darahnya, kita boleh memanggil dongan: kahanggi. Dongan, regar, pane,(dengan menyebut marganya).
2.    Kepada kawan yang berlainan marga, kita boleh memanggil dengan menyebut: pareban, inang(orangtua), amang(orangtua), lae, tunggane, morangku, anak boru, ipar dan lain-lain.
C.  Tutur saama saina
Semua anggota masyarakat adat di Tapanuli Selatan, umunya hubungan kekeluargaan berdasarkan hubungan darah laki-laki (patrilinial). Partuturon timbul setelah adanya manusia. Jadi tutur dasar pertama adalah tutur didalam rumah tangga atau keluarga, seperti tutur yang terdapat didalam rumah tangga inang, umak(ibu), inde, aya, amang, bapak (ayah), anak (anak laki-laki), boru (anak perempuan), ito (tutur antara anak perempuan dan laki-laki), angkang (abang), anggi (adik).
Perkembangan keturunan ini diikuti perkembangan partuturon pula, sehingga dengan menyebarnya turunan ini, maka timbullah berbagai jenis macam tutur, dan timbul pula bermacam-macam marga. Kemudian antara marga yang satu dengan marga yang lain timbul hubungan kekeluargaan yang dijalani oleh perkawinan. Dengan perkawinan ini maka timbul pulalah berbagai macam partuturon, seperti:
1.      Kahanggi, yaitu kawan sedarah, semarga dan seketurunan, mungkin juga seibu sebapak
2.      Anak boru, yaitu pihak kemana anak gadis kita dikawinkan atau pangalehenon boru
3.      Mora, yaitu pihak dimana kita mengambil calon istri, atau pambuatan boru

D.  Kesimpulan
Dengan fundamen falsafat Dalihan Na Tolu, maka segala urusan dan upacara adat diselesaiakan. ibarat memasak diatas tungku yang tiga ini, dapat kita jerangkan periuk, atau apa saja yang hendak dimasak. Dengan demikian sebagai perbandingan, apabila ketiga unsur ini sudah hadir dalam hubungan keluarga segala sesuatunya dapat diselesaikan menurut adat.
Dengan demikian maka teraturlah hubungan kekeluargaan dalam masyarakat itu, dengan tertib, harmonis, teratur dan bersopan santun. Tutur adalah merupakan rambu-rambu jalan yang mengatur jalan lalu lintas dalam hubungan keluarga. Apabila rambu-rambu jalan tidak diperhatikan dan dituruti sedah barang tentu timbul tubrukan.

No comments:

Post a Comment