Monday, 21 March 2016

Perkawinan Beda Agama (Fiqh Munakahat)

PERNIKAHAN DENGAN NON MUSLIM (BEDA AGAMA)
A. PENDAHULUAN
Perkawinan campuran termasuk masalah rumah tangga yang banyak mengandung persoalan-persoalan sosial. Sangat sungkar sekali menyakinkan generasi muda untuk merenungkan secara hakiki tentang perkawinan dengan berbeda agama dimana mereka senantiasa akan menghadapi persoalan-persoalan yang sungguh menegangkan dan menentukan. Generasi muda senantiasa menolak dan selanjudnya menyakini dirinya bahwa cinta akan dapat mengatasi segala-galanya. “betapa banyaknya penderitaan yang terdapat dalam lingkaran kecil cincin perkawaninan”.  
Demikian juga antara lain alasan kenapa, agama Islam yang diturunkan paling akhir adalah bertujuan untuk memberi petunjuk kepada umat manusia jalan yang lurus yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan keselamatan bagi mereka baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Karena agama Islam ini tidak menyuruh atau menganjurkan sesuatu itu jika tidak akan mendatangkan faedah yang dapat diperoleh dari perbuatan itu, sebagaimana juga tidak melarang untuk mengerjakan sesuatu kecuali karena mudharat yang terdapat didalamnya. Ia meletakkan ketentuan perintah dan larangan sebagai sarana untuk menjamin kebahagiaan dan kaselamatan yang abadi itu, sebagai rambu-rambu lalau lintas pemakai jalan raya yang dapat memberikan keamanan dalam perjalanan.
Salah satu contoh perintah Tuhan untuk mencapai kebahagiaan didunia dan diakhirat adalah masalah perkawinan, yang mengandung kehidupan makruf, sakinah, mawaddah dan rahma. Tuhan memberikan petunjuk tentang perkawinan yang baik dan buruk, tetapi manusia kadang-kadang salah menafsirkannya. Sebagai contoh akan dikemukakan beberapa kasus perkawinan antar agama yang dari awal menurut pandangan masyarakat kelihatan baik dan harmonis kehidupan rumah tangga mereka, tetapi apakah nanti sesudah mempunyai beberapa anak atau beberapa tahun kemudian ataudari sisi Allah Rabbul Alamin.
Rumusan masalah
1. Apakah dikenal perkawinan campuran (antar agama) menurut hukum Islam?
2. Bagaimana akibat hukum dari perkawinan campuran atau antar agama tersebut menurut Hukum Islam ?
3. Apakah undang-undang No 1 Tahun 1974, tentang perkawinan menganut tentang perkawinan campur antar agama ?

B. KENYATAAN DALAM MASYARAKAT.
Contoh perkawinan antar agama yang menurut kenyataan awal bahagia dapat dikemukakan :
1. Di kudus, Jawa Tengah seorang hakim yang taat dan melaksanakan syariat islam yang konsekuen, telah kawin di catatan sipil dengan seorang wanita beragama katolik, dalam tahun 1975, kini dikarunia 3 (tiga) orang anak, semuanya turut ibu (istri) di gereja. Keluarga ini katanya juga hidup rukun dan damai. Si hakim tetap menjalankan shalat 5 (lima) waktu sehari semalam tanpa merasa diganggu. Si Ibu dan anaknya rajin ke gereja. Di bulan puasa Hakim tersebut melaksanakan ibadah puasa si Ibu dan anaknya menyiapkan sang ayah makan sahur.
Dari kasus yang diperoleh penulis kenyataannya lebih bayak pasangan suami istri yang melakukan perkawinan antar agama in berantakan dan bercerai berai, yang semula kelihatannya harmonis dan bahagia.
Dibawah ini ada sebuah kasus tentang tidak bahagia dan tidak harmonis atau berantakan dalam rumah tangga perkawinana campuran antara pemeluk agama.
Seorang ayah muslim menikah dengan seorang wanita non muslim selama sepuluh tahun dikaruniai 7 (tujuh) orang anak, empat sudah masuk islam tetapi tiga tetap non muslim menurut jejak ibunya yang tetap konsekuen tidak mau mengikuti agama suaminya. Sekarang suami menjadi gundah gulana sangat sedih karena misinya sebagai seorang suami tidak berhasil membaawa anak dan istrinya menjadi islam karena menurut Fatwa MUI perkawinan yang demikian haram hukumnya.
Kemajuan dalam bidang ilmu dan teknologi supra modern serta komunikasi canggih, telah menimbulkan pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan manusia, demikian juga dalam kehidupan remaja, bidang pergaulan antar jenis semakin bebas dan meluas. Dimana saja dan kapan saja serta kepada siapa mereka dengan mudahnya mencurahkan isi hatinya atau pernyataan cinta dengan belaian kasih mesra. Masalah gagal atau berhasil, akibatnya nanti saja diselesaikan. Mereka tidak ingin diatur, apalagi untuk dibatasi bidang gerak mereka, walaupun diakui bukanlah berarti bahwa seluruh remaja bersikap demikian.
Hannah dan Abraham stone pernah mengemukakan pendapatnya :
Jika mereka ingin menikah hanya karena sudah mencapai hubungan yang romantic dan merasa saling tertarik antara satu dengan yang lainnya, memang mereka tidak memikirkan sedikit pun kemungkinan bahaya dan bencana yang mesti mereka hadapi dalam kehidupan rumah tangga kelak.
Pendidikan islam dalan hal ini sangat memegang peranan penting, terutama dalam menanamkan sikap mental yang senantiasa berpihak kepada Allah serta setiap saat dan waktu rela mengorbankan kepentingan dirinya demi mengikuti apa yang diinginkan Allah, dalam hal ini tidak ada salahnya bila kita mengambil perbandingan bagi para muda- mudi maupun orang tua.
C. PERKAWINAN CAMPURAN (ANTARA PEMELUK AGAMA )MENURUT HUKUM ISLAM
Dari sudut hukum islam berpendapat tentang perkawian campur agama :
1. Pendapat pertama
Islam tidak mengenal perkawinan antara pemeluk agama atau perkawinan campuran karena perkawinan yang diperkenalkan yang diatur kemampuan sebagai dispensasi dalam Al-Qur`an surah al-maidah ayat 5 tidaklah termasuk perkawinan dengan penganut-penganut agama Islam sebelum Nabi Muhammad s.a.w.

Artinya : “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi”.(QS al-maidah ayat 5)

Sebagai alasan yang mendasarkan pendapat pertama ini ialah : Al-Quran surah al-baqarah ayat 221 :
Artinya : “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum merek beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih dari pada wanita musyrik , waluapun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman, sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Meraka menajakke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surge dan ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan perintahnya kepada manusia, supaya mereka mengambil pelajaran”.

Dalam kaitan ini baik pula ditinjau asbabun nuzul ( sebab-sebab ) turunnya Al-Qur’an.
1. Ibnu abi mursid chanawi, memohon izin kepada Nabi Muhammad saw, agar ia diizinkan menikah dengan seorang wanita musyrik yang sangat cantik dan amat terpandang dalam kaumnya. Pada waktu itu Rasullah SAW, berdoa kepada Allah, maka turunlah al-qur’an surah Al-baqarah ayat 221 tersebut yang melarang :
Laki-laki muslim dilarang menikah dengan wanita musyrik, dan
Wanita muslim menikahi laki-laki musyrik
2. Abdullah bin rawahai mempunyai seorang hamba sahaya (budak) yang amat hitam. Suatau waktu ia sanagat marah pada hamba sahaya tersebut serta menampar budak itu, tetapi ia kemudian ia menyesal, lalu menceritakan kepada nabi Muhammad saw, dan menyetakan tekadnya sebagai penebus penyesalan itu dengan menikahi budak belian yang hitam legam itu. Orang-orang lain pada waktu itu sangat mencela tindakan Abdullah bin rawahai tersebut, tetapi ia akan tetap melaksanakannya.

Dari kedua kasus tersebut diatas antara lain kajian pendapat pertama, bahwa tidak dikenal menurut Hukukm Islam perkawinan antar pemeluk agama. Dalam rumah tangga, suami istri saling percaya mempercayai, sehingga tidak ada yang rahasia diantara mereka, apalagi rahasia yang berkaitan dengan strategi pengembangan agama Allah dalam rumah tangga yakni islamisasi anak dan keturunan. Satu marital konflik akan segera berlangsung.
Oleh sebab itu Allah melarang Yahudi dan Nasara sebagai pimpinanmu, diantaranya untuk menjadikan ia sebagai ibu dari anak-anaknya. Perkawinan antar agama merupakan suatu proses yang bersifat laten, mendangkal keyakinan beragama masing-masing yang menyebabkan hilangnya arti nilai dan peranan hukum agama dalam hidup dan kehidupan rumah tangga.
Demikian juga Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdasarkan musyawarah nasional 1 tanggal 26 Mei – 1 Juni 1980 di Jakarta, yang telah atau diumumkan kembali tanggal 8 Nopember 1986, mengeluarkan fatwa bahwa mengharamkan perkawinana antara orang-orang muslim dengan non muslim termasuk yang dimaksudkan adalah perkawinana laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) tetapi diharamkan dengan pertimbangan karena masfadatnya (bahayanya) lebih besar daripada maslahatnya.
Ada pengecualian seperti diterangkan dalam Al-Qur’an surah Al-maidah ayat 5 yang berbunyi :
“Dan dihalalkan bagi kamu menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mahar (mas kawin) mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik”.
Pengecualian yang ditentukan Allah dalam surah al-maidah ayat 5 ini, menurut pendapat pertama, tidaklah termasuk perkawinana antara agama tetapi tetap merupakan perkawinan dengan penganut-penganut agama Islam sebelum Nabi Muhammad saw. Yahudi dan Kristen bukanlah termasuk keturunana Al-kitab yang lakai-lakinya di izinkan menikah dengan wanita Yahudi dan Kristen.

2. Pendapat kedua
Dikenal adanya perkawinan antar pemeluk agama atau perkawinan campuran
Bahwa alasan dari pendapat pertama yang mengemukakan Al-Qur`an surah Al-baqarah ayat 221 beserta Asbabun nuzulnya diterima secara bulat. Tetapi alasan kedua yaitu pengecualian yang diatur oleh Allah dalam Al-Qur’an surah Al-maidah ayat 5, mempertahankan laki-laki muslim menikah dengan wanita-wanita ahlul kitab ternasuk didalamnya Yahudi dan Kristen. Apabila wanitanya yang Muslim, laki-lakinya Yahudi atau Kristen, tetap ditolak.
Dihubungkan dengan Al-Qur`an surah Al-maidah ayat 5, bahwa khusus orang yang beragama Yahudi Nasrani, sungguhpun dalam kenyataan sekarang mereka berlain agama dengan orang Islam, tetapi terhadap mereka berlaku ketentuan tersendiri. Wanita-wanitanya halal dikawini, sebabnya ialah karena mereka itu sendiri sebenarnya sama-sama kedatangan kitab ilahi seperti orang Islam pula. Mereka disebut ahlu al-kitab atau ahlul kitab karena Orang yang kedatangan kitab Tuhan.
3. Pendapat ketiga
Pendapat ketiga ini merupakan pendapat tengah, sebagai jalan keluar antara kedua pendapat tersebut, tetapi masih tetap dalam konteks yaitu mendalilkan argumentasinya dari Al-Qur`an dan Hadis Rasullah SAW.
Secara konsekuen tetap diakui. Yang menjadi persoalan sekarang ialah dalil pengecualian membenarkan laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab yaitu Yahudi dan Nasrani menurut Al-Qur`an surah Al-maidah ayat 5 didukungnya dengan tambahan argumentasi berdasarkan Al-Qur`an surah At- Thalaq ayat 6.
Argumentasi didasarkan kepada pertanyaan apa dasar pemikirannya Allah memberikan dispensasi atau pengecualian dalam Al-Qur’an surah Al-maidah ayat 5 tersebut bahwa laki-laki muslim boleh menikah dengan ahlul kitab.

Secara rasional dapat diberi jawaban, alasannya yaitu :
Menurut QS Ibrahim ayat 34 , bahwa Allah melebihkan sebagian laki-laki dari wanita, baik fisik maupun psikis (akal). Oleh karena kelebihan itu laki-laki diberikan hak sebagai hak kepala keluarga dalam rumah tangga suami istri. Konsekuensi logis dari itu kepada laki-laki (suami) diberi kewajiban member nafkah baik kepada istri maupun anak-anaknya.
Dalam QS At-thalaq, bahwa kepada suami dipikulkan  pula kewajiban memberikan tempat tinggal yang kepada istri dan anak-anaknya dimana sang suami bertempat tinggal.
Menurut QS Al- baqarah ayat 233, bahwa suami atau ayah memberikan makana kepada anak-anaknya secara makruf.
Berdasarkan QS Al-baqarah ayat 230, 232 dan 234, bahwa yang berhak menjadi wali nikah bila anak-anak wanita yang telah dewasa mau menikah adalah ayah atau bapak. Tidak sah nikah seorang wanita tanpa wali nikah (ayah)
Hadis Rasullah memerintahkan kepada suami (ayah) untuk menjaga keluarganya (istri) beserta anak-anaknya agar terhindar dari api neraka, supaya mereka dituntun agar kelak masuk surga yang di ridhoi Allah.
Maka jelaslah bahwa figur suami sebagai kepala rumah tangga haruslah kuat dan tangguh yang dapat bertindak sebagai nahkoda kapal untuk mengarungi lautan samudera yang penuh dengan badai, topan dan gelombang yang maha dashyat menuju ke pulau idaman pantai cita-cita kebahagiaan dunia dan akhirat menuju masyarakat yang baldhatun thayyitabathun warabbun ghafur. Kehidupan rumah tangga yang makruf, sakinah, mawaddah, dan rahma penuh keridhaan Allah Rabbul Alamin.
Dituntut kepada laki-laki harus kuat, tabah, bijaksana, dan berwibawa serta taqwa dan menjalankan ibadah melaksanakan perintah Allah sebagai seorang Islam, barulah dia laki-laki itu diperkenalkan diberikan dispensasi menikah dengan wanita ahlul kitab. Dengan kepribadian muslim yang taat dan bertaqwa itu dia akan memimpin istri dan anak-anaknya sesuai dengan ajaran islam menuju ridha Allah.

D. AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN CAMPURAN (BEDA AGAMA)
Bila disandarkan pada pendapat pertama sesuai juga dengan Fatwa MUI tanggal 1 Juni 1980 yang diulangi tanggal 8 Nopember 1986. Maka perkawinan antar pria Islam dengan wanita ahlul kitab haram hukumnya. Anak-anak hanya bernasab kepada ibunya saja dan tidak kepada bapak. Demikian juga anak tidak mewarisi dari bapak.
Bila mana pendapat kedua yang dianut maka perkawinan antar pria muslim dengan wanita ahlul kitab akibat hukumnya sama dengan perkawinan pria muslim dengan wanita muslim yang memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan. Anak-menjadi sah sumi istri, dan berhak saling mewaris antara ayah dengan anak, demkian  juga antar sumi istri. Bila sebaliknya yang terjadi , yaitu wanitanya muslim, prianya ahlul kitab akibat hukumnya perkawinannya menjadi tidak sah sama seperti pendapat pertama.
Menurut pendapat ketiga, bila dipenuhi persyaratan laki-laki itu harus taat, patuh dan bertaqwa kepada Allah benar-benar taqwa dan dapat membimbing istri dan anak-anaknya menjadi muslim dan muslimat, maka akibat hukum dari perkawinan itu sah, asal saja dipenuhi syarat maupun rukun perkawinan, seperti membayar mahar, ijab qabul dan sebagainya.

E. UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TIDAK MENGATUR PERKAWINAN CAMPUR ANTAR AGAMA
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan antar agama, sebagaimana diketahui berdasarkan  ketentuan pasal 2 Ayat (1) undang-undang No 1 Tahun 1974 yang mengatur :
“Bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agam dan kepercayaannya itu”.
Sedangkan dalam pasal 8 huruf undang-undang itu juga mengatakan bahwa perkawinan dilarang antar dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Demikian juga bila diperhatikan pasal 57, undang-undang ini mengatur bahwa : perkawinan campur adalah perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang di Ibdonesia tunduk kepada Hukum yang berlainan .

F. KESIMPULAN
Kita pernah mendengar atu mebaca cerita ayam mengerami telur bebek yang akhirnya setelah anak lahir bukan menyenangkan dan membawa rasa bahagia kepada sang induk, melainkan kegelisahan, kekhawatiran dan rasa cemas yang tidak pernah berakhir  yang dulu tidak pernah dibayangkan. Anak bebek akan terjun ke air, sedangkan induk yang mengeraminya rebut berkotek di darat sepanjang hari. Mereka tidak akan pernah dapat bersatu dalam pikiran (perasaan dan sikap hidup atau way of life).
Perkawinan dengan pasangan beda agama frekuensi perceraiannya dua atau tiga kali lebih besar dari perkawinan dengan pasangan yang tidak berbeda agama. Jadi, Biar bagaimanapun, kawin yang paling ideal yang tidak saja memberikan kebahagiaan di dunia ini tetapi sampai juga di akhirat nanti adalah kawin seagama.
DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, Andi Hmid. kawin campur dalam dimensi kemanusiaa. Jakarta. Harian Pelita. 13 februari 1987.
Departement Agama. Al-Qur’an dan Terjemahan. Jakrta. Bumi Restu, 1977/1978
Hanna dan Stone Abraham. A Marriage Manual. Australia. 1971.
Ibrahim. Kawin campuran. Jakarta. Rubrik Sinar Pagi Jumat. 1986
Junus, Mahmud. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta cv. Al-hidayah 1984
Liswood Raberrca. First Aid Of The Marriage. New York. 1971
Mahmudin sudin, Perkawinan Antar Agama. Jakarta Sakura. 1985
Saleh Qamaruddin, Asbabun Nuzul. Bandung Diponegoro. 1980
Thalib, sayuti. hukum Hekeluargaan Indonesia. Jakarta. UI pres 1981.

No comments:

Post a Comment