BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pengertian sehari-hari qadha dan qadar disebut juga takdir
yang biasanya diartikan ketentuan Tuhan. Kepercayaan kepada qadha dan qadar
Allah secara Ringkasnya menyatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi dia;am
ini, termasuk juga yang terjadi pada dsiri manusia, baik dan buruk, suka dan
duka, dan segala gerak-gerik hidup ini, semuanya todak terlepas dari takdir
atau ketentuan ilahi. Semuanya, yaitu alam benda-benda atau maayarakat manusia,
dikuasai oleh suatu hukum yang pasti dan tetap, yang tidak tunduk kepada
kemauan manusia.
Al qadhar
memberi harkat fathah ataupun harkat sukun pada hurup dal, bermakna
menjelaskan keterangan jumlah atau member pengertian kadar ukuran tertentu dan
merupakan akar kata lafal qadara yaqduru dan qadara yaqdiru.
Adapun mana
qadara alaa syain ialah memiliki kemampuan untuk berbuat sesuai dengan yang
dikehendaki. Bentuk masdarnya ialah qudratan wa qa daratan wa quduraatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qadha dan Qadar
Qadha adalah iradah Allah yang bersifat azali yang berkaitan dengan
segala sesuatu, sesuai dengan keberadaannya, seperti iradahnya yang azali menciptakan
manusia di muka bumi ini. Yang maknanya yaitu menyempurnakan sesuatu,
melaksanakan dan menyelesaikannya.[1]
Qadar yaitu penciptaan
Allah akan sesuatu dengan kadar ukuran yang tertentu dengan qadha, zat/jenis
dan sifatnya, perbuatan dan keadaannya, waktu dan tempat serta sebab-sebabnya.
Misalnya Allah mengadakan manusia dimuka bumi ini sesuai dengan apa yang telah
ditentukan melalui Qadhanya.
B.
Hubungan ikhtiar dengan Qadha dan Qadar
Kalau segala sesuatu telah dikuasai
oleh takdir Tuhan, maka dimanakah lagi atau usaha manusia? Padahal seperti
telah diketahui, bahwa manusia juga disuruh oleh Tuhan untuk berikhtiar?
Demikian persoalan yang timbul berkenaan dengan ajaran Qadha Dan Qadar Allah. Lebih
dari itu timbul pertanyaan pula dengan adanya takdir tuhan, apa tidak berarti
bahwa manusia itu serba terpaksa dalam perbuatannya.
Persoalan ini dapat dijelaskan
sebagaim berikut ;
Soal kebebasan bagi manusia, jelas
memang ada sebab perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dan dilakukan
atas dasar kehendak dan kemauan sendiri. Ini kenyataannya. Tetapi disamping itu
harus diakui pula kenyataan yang lain, bahwa tidak jarang pula manusia gagal
dalam berbagai usaha, sekalipun telah dikerjakan sekuat tenaga. Ini semua
membuktikan bahwa manusia memang mempunyai kebebasan kemerdekaan dalam
perbuataanya, akan tetapi kebebasan itu ialah kebebasan yang terbatas. Jadi
kebebasan manusia adalah kebebasan yang tidak mutlak.
Ikhtiar atau usaha manusia, tidak
secara mutlak berhasil. Namun hal itu perlu dan wajib dilakukan. Dan sesudah
berikhtiar, hendaknya juga berdoa dan bertawakkal juga secara ikhlas pada Allah
swt.[2]
“kalau ikhtiar berhasil, Allah yang
punya manusia
Kalau tidak berhasil Allah yang
punya kuasa”
Tetapi menempatkan tawakkal tidak
perlu keliru. Tawakkal letaknya sesudah ikhtiar. Orang tidak dapat disebut
tawakkal jika belum ikhitiar dulu.
C.
Hikmah ajaran Qadha dan Qadar
Kadang-kadang orang salah tafsir
dalam mempercayai Qadha dan Qadar, sehingga pengaruh yang timbul karenanya
sangatlah negatip. Sejarah islam telah mencatat bahwa kemunduran dan kejatuhan
ummat islam didunia, teritana juga disebabkan karena kesalahan mereka dalam
mempercayai Qadha dan Qadar.[3]
Sebab kaum muslim mundur karena kepercayaan yang salah kepada Qadha da Qadar
menyebabkan terbunuhnya ikhtiar. Tidak lagi orang mau bekerja, tetapi hanya
berpangku tangan mengharapkan sesuatu
jatuhnya dari langi. Segala sesuatu digantungkan pada takdir, tanpa ada usaha.
Jelaslah ini kepercayaan yang sesat. Tetapi sebaiknya dari itu. Apabila ajaran
Qadha dan Qadar dipercayai sebagaimana mestinya (secara benar), tentulah ia
menjadi sumber bagi bangkit-bangkitya amal-amal ikhtiar manusia, bukan tentu
menjadi sumber militansi yang tidak kenal menyerah.[4]
Selain itu hikmah adanya ajaran
Qadha dan Qadar adalah:
1.
Orang menjadi tahu berterimah kasih, tahu bersyukur pada Tuhan,
apabila sesuatu usahanya berhasil, sebab ia menyadari hanya karena izin dan
karunia Tuhan maka usahanya itu dapat berhasil. Ia tidak takabbur atau sombong.
Sebaliknya dari itu, orang akan sabar, tawakkal dan tidak gampang putus asa,
apabila suatu ketika usahanya gagal atau di timpa malapetaka, sebab ia juga menyadari
bahwa memang Tuhan kuasa dan berwenang menurut kehendaknya.
2.
Orang yang memercayai dengan benar memiliki sikap hidup yang stabil
dan serba enak dalam segala keadaan, baik sewaktu suka maupun duka.
D.
Aliran-Aliran yang timbul dalam Qadha dan Qadar
Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat
yang secara lahir dapat dipahami dengan pemahaman yang saling berlawanan. Di
satu pihak ayat-ayat menunjukkan bahwa segala sesuatu dikuasai oleh takdir,
dipihak lain ada pula ayat-ayat yang member kesan bahwa sesuatu itu ditentukan
oleh usaha manusia sendiri.
Hal ini menyebabkan timbulnya
beberapa aliran dikalangan umat islam yang satu sama lain mempunyai paham
berbeda-beda. Aliran-aliran itu adalah: Jabariyah, Qodariyah, Mu’tazilah, Ahli
sunnah.
a.
Aliran Jabariyah
Aliran
ini berpendapat bahwa manusia tidak punya kekuasaan apa-apa, sebab
segala-galanya tentang diri dikuasai secara mutlak oleh takdir Tuhan. Amal
ikhtiar manusia tidak mempunyai peranan sama sekali.
Orang
yang menjadi jahat adalah karena ditakdirkan jahat oleh Tuhan, bukan karena
tingkah laku orang itu sendiri, Demikian pula kaya, miskin, mulia, hina,
pandai, bodoh, semuanya semata-mata ketentuan Tuhan semesta Alam.[5]
Karena
itu manusia di dunia ini hanyalah bagaikan kapas yang diterbangkan oleh angin.
Mereka beralasan, bahwa kalau betul manusia dapat berbuat, berarti ia menjadi
sekutu bagi Tuhan, atau sekurang0kurangnya dapat mengadakan perbuatan yang
mungkin tidak tunduk kepada kehendak Tuhan dan ini Mustahil.
b.
Aliran qodariyah
Aliran
Qodariyah adalah kebalikan dari faham aliran jabariyah. Menurut alairan ini
nasib manusia sepenuhnya ditangan manusia sendiri, bukan ditangan takdir.
Karena itu buruk atau baik nasib manusia, yifak boleh pertanggung-jawabannya
dilemparkan kepada Tuhan.
c.
Aliran muqtazilah
Menurut
muqtazilah perbuatan manusia terbagi:
1.
Perbuatan yang timbul dengan sendirinya, seperti gerakan reflex.
Perbuatan ini jelas bukan diadakan oleh manusia atau bukan terjadi karena
kehendak manusia.
2.
Perbuatan bebas, dimana manusia dapat melakukan pilihan antara mengerjakan
dan tidak mengerjakan. Perbuetn semacam ini lebih pantas dikatakan diciptakan
oleh manusia daripada dikatakan diciptaka Tuhan.
d.
Aliran Ahli Sunnah
Aliran
ini bermaksud mencari jalan tengah antara dua aliran yang saling berlawanan
yaitu jabariyah, qadariyah dan muktazilah.
Seperti
juga kaum miktazilah, aliran ah;li sunnah juga membagi perbuatan manusia kepada
dua bagian, yaitu ;
1.
Perbuatan yang timbul dengan sendiri
2.
Perbuatan yang timbuk karena kehendak.
Perbuatan
yang kedua manusia merasa sanngup mengerjakannya, Ini menjadi bukti bahwa
manusia mempunyai kekuasaan yang dapat dipergunakannya, kekuasaan ini didahulai
olleh kehendak (kemauan/iradah). Dan dengan kekuasaan itu manusia mendapatkan
perbuatan. Jadi menurut ahlisunnah manusia memang memiliki kekuasaan. Akan
tetapi kekuasaan itu sebenarnya tidak lain
hanyalah alat kekuasaan Tuhan yang
dipergunakan untuk mewujudkan perbuatan yang dikehendaki manusia.[6]
BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
Qadha adalah iradah Allah yang
bersifat azali yang berkaitan dengan segala sesuatu, sesuai dengan
keberadaannya, seperti iradahnya yang azali menciptakan manusia di muka bumi
ini. Yang maknanya yaitu menyempurnakan sesuatu, melaksanakan dan
menyelesaikannya.
Qadar yaitu
penciptaan Allah akan sesuatu dengan kadar ukuran yang tertentu dengan qadha,
zat/jenis dan sifatnya, perbuatan dan keadaannya, waktu dan tempat serta
sebab-sebabnya. Misalnya Allah mengadakan manusia dimuka bumi ini sesuai dengan
apa yang telah ditentukan melalui Qadhanya.
Aliran dalam qadha dan qadar :
1.
Jabariyah
2.
Qodariyah
3.
Muktazilah
4.
Ahli sunnah
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu
Taimiyah, al-aqidatul wasathiyah. Beirut
libanon,1976
Hamka,
pelajaran Agama Islam. jalarta : bulan bintang, 1960
A. Hanafi, pengantar Theologi Islam . Yogyakarta:sumbangsih,
1964
Isyrat al-maran, Taaiyatul qadha wal qadar wa syardih, surabaya,
bina ilmu, 1974
[1] Ibnu Taimiyah, al-aqidatul wasathiyah, Beirut (libanon,1976), hal
441-442
[2] Isyrat al-maran, Taaiyatul qadha wal qadar wa syardih, (surabaya,
bina ilmu, 1974), hal 20
[3]ibid
[4] A. Hanafi, pengantar Theologi Islam (Yogyakarta:sumbangsih,
1964), pagina 129-130
[5] Hamka, pelajaran Agama Islam (jalarta : bulan bintang,
1960), pagina, 251-253
[6] Ibid
No comments:
Post a Comment