Monday, 7 March 2016

Qada dan Qadar (Ilmu Kalam)



BAB I
PENDAHULUAN
             Dalam pengertian sehari-hari qadha dan qadar disebut juga takdir yang biasanya diartikan ketentuan Tuhan. Kepercayaan kepada qadha dan qadar Allah secara Ringkasnya menyatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi dia;am ini, termasuk juga yang terjadi pada dsiri manusia, baik dan buruk, suka dan duka, dan segala gerak-gerik hidup ini, semuanya todak terlepas dari takdir atau ketentuan ilahi. Semuanya, yaitu alam benda-benda atau maayarakat manusia, dikuasai oleh suatu hukum yang pasti dan tetap, yang tidak tunduk kepada kemauan manusia.
                 Al qadhar memberi harkat fathah ataupun harkat sukun pada hurup dal, bermakna menjelaskan keterangan jumlah atau member pengertian kadar ukuran tertentu dan merupakan akar kata lafal qadara yaqduru dan qadara yaqdiru.
                 Adapun mana qadara alaa syain ialah memiliki kemampuan untuk berbuat sesuai dengan yang dikehendaki. Bentuk masdarnya ialah qudratan wa qa daratan wa quduraatan.


BAB II
 PEMBAHASAN

A.    Pengertian Qadha dan Qadar
                Qadha adalah iradah Allah yang bersifat azali yang berkaitan dengan segala sesuatu, sesuai dengan keberadaannya, seperti iradahnya yang azali menciptakan manusia di muka bumi ini. Yang maknanya yaitu menyempurnakan sesuatu, melaksanakan dan menyelesaikannya.[1]
            Qadar yaitu penciptaan Allah akan sesuatu dengan kadar ukuran yang tertentu dengan qadha, zat/jenis dan sifatnya, perbuatan dan keadaannya, waktu dan tempat serta sebab-sebabnya. Misalnya Allah mengadakan manusia dimuka bumi ini sesuai dengan apa yang telah ditentukan melalui Qadhanya.
B.     Hubungan ikhtiar dengan Qadha dan Qadar
Kalau segala sesuatu telah dikuasai oleh takdir Tuhan, maka dimanakah lagi atau usaha manusia? Padahal seperti telah diketahui, bahwa manusia juga disuruh oleh Tuhan untuk berikhtiar? Demikian persoalan yang timbul berkenaan dengan ajaran Qadha Dan Qadar Allah. Lebih dari itu timbul pertanyaan pula dengan adanya takdir tuhan, apa tidak berarti bahwa manusia itu serba terpaksa dalam perbuatannya.
Persoalan ini dapat dijelaskan sebagaim berikut ;
Soal kebebasan bagi manusia, jelas memang ada sebab perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dan dilakukan atas dasar kehendak dan kemauan sendiri. Ini kenyataannya. Tetapi disamping itu harus diakui pula kenyataan yang lain, bahwa tidak jarang pula manusia gagal dalam berbagai usaha, sekalipun telah dikerjakan sekuat tenaga. Ini semua membuktikan bahwa manusia memang mempunyai kebebasan kemerdekaan dalam perbuataanya, akan tetapi kebebasan itu ialah kebebasan yang terbatas. Jadi kebebasan manusia adalah kebebasan yang tidak mutlak.
Ikhtiar atau usaha manusia, tidak secara mutlak berhasil. Namun hal itu perlu dan wajib dilakukan. Dan sesudah berikhtiar, hendaknya juga berdoa dan bertawakkal juga secara ikhlas pada Allah swt.[2]
“kalau ikhtiar berhasil, Allah yang punya manusia
Kalau tidak berhasil Allah yang punya kuasa”
Tetapi menempatkan tawakkal tidak perlu keliru. Tawakkal letaknya sesudah ikhtiar. Orang tidak dapat disebut tawakkal jika belum ikhitiar dulu.
C.    Hikmah ajaran Qadha dan Qadar
Kadang-kadang orang salah tafsir dalam mempercayai Qadha dan Qadar, sehingga pengaruh yang timbul karenanya sangatlah negatip. Sejarah islam telah mencatat bahwa kemunduran dan kejatuhan ummat islam didunia, teritana juga disebabkan karena kesalahan mereka dalam mempercayai Qadha dan Qadar.[3] Sebab kaum muslim mundur karena kepercayaan yang salah kepada Qadha da Qadar menyebabkan terbunuhnya ikhtiar. Tidak lagi orang mau bekerja, tetapi hanya berpangku tangan mengharapkan  sesuatu jatuhnya dari langi. Segala sesuatu digantungkan pada takdir, tanpa ada usaha. Jelaslah ini kepercayaan yang sesat. Tetapi sebaiknya dari itu. Apabila ajaran Qadha dan Qadar dipercayai sebagaimana mestinya (secara benar), tentulah ia menjadi sumber bagi bangkit-bangkitya amal-amal ikhtiar manusia, bukan tentu menjadi sumber militansi yang tidak kenal menyerah.[4]
Selain itu hikmah adanya ajaran Qadha dan Qadar adalah:
1.      Orang menjadi tahu berterimah kasih, tahu bersyukur pada Tuhan, apabila sesuatu usahanya berhasil, sebab ia menyadari hanya karena izin dan karunia Tuhan maka usahanya itu dapat berhasil. Ia tidak takabbur atau sombong. Sebaliknya dari itu, orang akan sabar, tawakkal dan tidak gampang putus asa, apabila suatu ketika usahanya gagal atau di timpa malapetaka, sebab ia juga menyadari bahwa memang Tuhan kuasa dan berwenang menurut kehendaknya.
2.      Orang yang memercayai dengan benar memiliki sikap hidup yang stabil dan serba enak dalam segala keadaan, baik sewaktu suka maupun duka.

D.    Aliran-Aliran yang timbul dalam Qadha dan Qadar
Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang secara lahir dapat dipahami dengan pemahaman yang saling berlawanan. Di satu pihak ayat-ayat menunjukkan bahwa segala sesuatu dikuasai oleh takdir, dipihak lain ada pula ayat-ayat yang member kesan bahwa sesuatu itu ditentukan oleh usaha manusia sendiri.
Hal ini menyebabkan timbulnya beberapa aliran dikalangan umat islam yang satu sama lain mempunyai paham berbeda-beda. Aliran-aliran itu adalah: Jabariyah, Qodariyah, Mu’tazilah, Ahli sunnah.
a.       Aliran Jabariyah
Aliran ini berpendapat bahwa manusia tidak punya kekuasaan apa-apa, sebab segala-galanya tentang diri dikuasai secara mutlak oleh takdir Tuhan. Amal ikhtiar manusia tidak mempunyai peranan sama sekali.
Orang yang menjadi jahat adalah karena ditakdirkan jahat oleh Tuhan, bukan karena tingkah laku orang itu sendiri, Demikian pula kaya, miskin, mulia, hina, pandai, bodoh, semuanya semata-mata ketentuan Tuhan semesta Alam.[5]
Karena itu manusia di dunia ini hanyalah bagaikan kapas yang diterbangkan oleh angin. Mereka beralasan, bahwa kalau betul manusia dapat berbuat, berarti ia menjadi sekutu bagi Tuhan, atau sekurang0kurangnya dapat mengadakan perbuatan yang mungkin tidak tunduk kepada kehendak Tuhan dan ini Mustahil.
b.      Aliran qodariyah
Aliran Qodariyah adalah kebalikan dari faham aliran jabariyah. Menurut alairan ini nasib manusia sepenuhnya ditangan manusia sendiri, bukan ditangan takdir. Karena itu buruk atau baik nasib manusia, yifak boleh pertanggung-jawabannya dilemparkan kepada Tuhan.
c.       Aliran muqtazilah
Menurut muqtazilah perbuatan manusia terbagi:
1.      Perbuatan yang timbul dengan sendirinya, seperti gerakan reflex. Perbuatan ini jelas bukan diadakan oleh manusia atau bukan terjadi karena kehendak manusia.
2.      Perbuatan bebas, dimana manusia dapat melakukan pilihan antara mengerjakan dan tidak mengerjakan. Perbuetn semacam ini lebih pantas dikatakan diciptakan oleh manusia daripada dikatakan diciptaka Tuhan.
d.      Aliran Ahli Sunnah
Aliran ini bermaksud mencari jalan tengah antara dua aliran yang saling berlawanan yaitu jabariyah, qadariyah dan muktazilah.
Seperti juga kaum miktazilah, aliran ah;li sunnah juga membagi perbuatan manusia kepada dua bagian, yaitu ;
1.      Perbuatan yang timbul dengan sendiri
2.      Perbuatan yang timbuk karena kehendak.
Perbuatan yang kedua manusia merasa sanngup mengerjakannya, Ini menjadi bukti bahwa manusia mempunyai kekuasaan yang dapat dipergunakannya, kekuasaan ini didahulai olleh kehendak (kemauan/iradah). Dan dengan kekuasaan itu manusia mendapatkan perbuatan. Jadi menurut ahlisunnah manusia memang memiliki kekuasaan. Akan tetapi kekuasaan itu sebenarnya tidak lain     hanyalah alat kekuasaan Tuhan yang dipergunakan untuk mewujudkan perbuatan yang dikehendaki manusia.[6]

BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
Qadha adalah iradah Allah yang bersifat azali yang berkaitan dengan segala sesuatu, sesuai dengan keberadaannya, seperti iradahnya yang azali menciptakan manusia di muka bumi ini. Yang maknanya yaitu menyempurnakan sesuatu, melaksanakan dan menyelesaikannya.
            Qadar yaitu penciptaan Allah akan sesuatu dengan kadar ukuran yang tertentu dengan qadha, zat/jenis dan sifatnya, perbuatan dan keadaannya, waktu dan tempat serta sebab-sebabnya. Misalnya Allah mengadakan manusia dimuka bumi ini sesuai dengan apa yang telah ditentukan melalui Qadhanya.
Aliran dalam qadha dan qadar :
1.      Jabariyah
2.      Qodariyah
3.      Muktazilah
4.      Ahli sunnah

DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Taimiyah, al-aqidatul wasathiyah.  Beirut  libanon,1976
Hamka, pelajaran Agama Islam. jalarta : bulan bintang, 1960
A. Hanafi, pengantar Theologi Islam . Yogyakarta:sumbangsih, 1964
Isyrat al-maran, Taaiyatul qadha wal qadar wa syardih, surabaya, bina ilmu, 1974


[1] Ibnu Taimiyah, al-aqidatul wasathiyah, Beirut (libanon,1976), hal 441-442
[2] Isyrat al-maran, Taaiyatul qadha wal qadar wa syardih, (surabaya, bina ilmu, 1974), hal 20
[3]ibid                                           
[4] A. Hanafi, pengantar Theologi Islam (Yogyakarta:sumbangsih, 1964), pagina 129-130
[5] Hamka, pelajaran Agama Islam (jalarta : bulan bintang, 1960), pagina, 251-253
[6] Ibid

No comments:

Post a Comment