Tuesday, 8 March 2016

QOUL AS-SHOHABIH (Ushul Fiqh)

BAB I
  PENDAHULUAN

Sebelam mengetahui defenisi qoul as shahabi terlebih dahulu penulis akan membaha mengenai dari as-shahabi itu sendiri. Secara etimologu AS-SHAHABI itu adalah mufrad dari sahabat, yang diambil dari kata-kata Shahibah-yahahabu-shuhbatan yang bermakna bergaul dengan seseorang.
Perkataan sahabat yang sampai kepada generasi sesudahnya, seperti tabi’in dan berlanjut hinnga ke zaman yang sekarang. Adapun perkataan sahabat selain dari keadaan yang sudah disebutkan di atas dafat dijadikan hujjah dalam pengambilan hukum islam keabsahan Qoul as shahabi sebagai salah satu dari Masdar Tasyr ketika terjadi perbedaan pendapat mengenai keabsahan Qoul as shahabi sebagai salah satu dari Masdar Taysri dalam islam, maka kita harus bias langsung memahami bahwa Qoul as shahabi yang dimaksudkan disini adalah macam Qoul as shahabi yamg masih diperselisihkan mengenai kehujjahannya dan tidak termasuk macam yang lainnya.

 BAB II PEMBAHASAN
A.Pengertian Qoul As-Shahabi
Secara etimolog As-shahabi adalah Mufrad dari sahabat, yang diambil dari kata-kata shahibah-yashahabu-shuhbatan dan shahabatan yang bermakna bergaul dengan seseorang. Adapun secara terminology, para ulama memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mendefenisikannya. Menurut para ulama muhadditsin as-shahabi adalah orang yang ertemu dengan Nabi SAW, beriman kepadanya dan mati dalam keadaan islam.  Dari defenisi dapat diambil beberapa poin bahwa sahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi SAW. Secara mutlak, baik itu bertemu sekali ataupun sering, baik itu lama ataupun sebentar. Seseorang yang bertemu  dengan Nabi SAW. Sebelum beliau diutus menjadi rasul tidak disebut sahabat. Akan tetapi disebut sahabat apabila bertemu dengan Nabi SAW. Seseorang yang sezaman dengan Nabi SAW, tetapi tidak bertemu dengannya maka tidak disebut sahabat tetapi Mukhadharam.
Sedangkan menurut para Ushuliyyin bahwa sahabat adalah orang yang beriman kepada Nabi SAW, bergaul dengannya dalam waktu yang lama dan mati dalam keadaan islam. Adapun menurut Al-Baqilani dan beberapa ulama lainnya, seperti ibnu faruk dan ibnu sam’an bahwa sahabat adalah orang yang lama pergaulannya dengan Nabi SAW, dan anyak berguru pada Nabi. Dengan cara mengikutinya dan mengambil pengajarannya. Perbedaan defenisi sahabat menurut para muhadditsin dan ushuliyyn dari defenisi diatas dapat kita lihat bahwa terdapat perbedaan yang sangat tipis. Semuanya sepakat bahwa sahabat adalah orang yang beriman kepada Nabi SAW, dan mati dalam keadaan islam. Namun mereka berbeda pendapat dalam lama tidaknya pertemuan antara seseorang yang dianggap bersahabat dengan Nabi SAW. Para muhadditsin tidak mensyaratkan keharusan seringnya bertemu dengan Nabi SAW, sekali saja sudah cukup, hal ini dikarenakan para ulama muhadditsin memandang para sahabat sebagai periwayat bagi hadist-hadist Nabi SAW. Dan hal ini tdak menuntut  harus seringnya bertemu dan bergaul dengan Nabi SAW. Oleh karena para sahabat berbeda antara satu dengan yang lain dalam jumlah hadist yang diriwayatkannya dari Rasullah SAW.Sedangkan para ulama ushuliyyn mensyaratkan lamanya pergaulan para sahabat dengan Nabi SAW, karena memandang bahwa  para sahabat adalah generasi yang akan menyanpaikan hukum-hukum dalam islam, dan hal ini menuntut adanya pergaulan yang lama dengan Nabi SAW. Sehinga bisa menghasilkan ilmu dan pemahaman yang mendalam. Oleh karenanya tidak semua sahabat menjadi ahli hukum atau mufti. Sebagaimana perkataan ibnu Hazm yang dikutip oleh Dr. Ali jum’ah dalam bukunya bahwa, fatwa mengenai hokum dan ibadah tidak diriwayatkan kecuali dari seratus orang sahabat lebih, baik dari laki-laki atau perermpuan, dan hal ini berdasarkan penelitian yang dalam.  Lebih lanjutnya Dr. Ali jum’ah menerankan bahwa diantara para sahabat yang banyak mengeluarkan fatwa sebanyak tujuh orang yaitu: Umar bin khattab, Ali bin abu thalib, Abdullah bai mas’ud, Zaid bin tsait, Abdullah bin abbas, Abdullah bin umar dan Aisyah ummul mukmin. Defenisi Qoul as shahabi terdapat beberapa defenisi mengenai Qoul as shahabi ini, diantaranya:
1.Perkataan seorang sahabat yang tersebar pada sahabat-sahabat yang lainnya tanpa diketahui ada sahabat lain yang menentangnya.
2.Fatwa seorang sahabat atau madzhab fiqihnya dalam permasalahan ijtihadiyah.
3.Madzhab sahabat dalam sebuah sebuah permasalahan yang termasuk objek ijtihad.
4.Dr.Musthafa Daif al-bugha, mengistilahkan Qoul As-shahabi dalam madzhab as shahabi, yaitunsegala hal yang sampai kepada kita dari salah seorang sahabat Rasul baik berupa fatwanya atau ketetapan dalam oermasalahan yang berkaitan dengan syari’at, yang tidak terdapat dalam nash Al-Qur’an dan As-sunnah dan belum ada ijma’ dalam permasalahan tersebut.

B.Macam-Macam Qoul as-shahabi
Para ulama membagi Qoul AS shahabi kedalam beberapa macam, diantaranya Dr. Abdul karim Zaedan yang membagi kedalam beberapa macam:
1.Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad.
Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bias dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dan Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam ini basa termasuk dalam kategori as-sunnah, meskipun perkataan ini dalam hadist mauquf.  Pendapat ini dikuatkan iman As-sarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bias dijadikan objek ijtihad, seperti perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa  paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari, sedangkan paling banyak sepuluh hari. Namun contoh-contoh tersebut ditolak oleh beberapa ulama As-Syafi’iyah, bahwa hal-hal tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bias dijadikan objek ijtihad. Dan pada kenyataan baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan nasing-masing.
2.Perkataan sahabat yang telah disepakati oleh sahabat lain. Dalam hal ini perkataan sahabat lain adalah hujjah karana masuk dalam kategori ijma’.
3.Perkataan sahabat yang tersebar diantara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal ini pun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti  , bagi mereka yang berpendapat bahwa ijma’sukuti bias dijadikan hujjah.
4.Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qoul as-shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan diantara para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh islam.
Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-asyqar menambahkan bahwa perkataan yang berasal dari ijtihad seseorang sahabat yang tidak diketahui tersebarnya pendapat tersebut diantara para sahabat lainnya juga tidak diketahui pula ada sahabat lain yang menentangnya dan perkataan tersebut tidak bertentangan dengan Al-qUR’AN dan As-sunnah. Pada perkataan sahabat seperti ini para ulama berbeda pendapat mengenai statusnya.  Adapun Dr.Muhammad Sulaiman Abdullah Al-asyqar menambahkan beberapa poin mengrenai macam-macam Qoul as-shahabi ini, diantaranya”
1.Perkataan Khulafa ar rasydin dalam sebuah permasalahan. Dalam hal ini para ulama sepakat menjadikan hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam Hadist, “Hendaklah kalian mengikuti sunnahku  dan sunnah para Khulafah Ar-rasydin setelahku”.
2.Perkataan seorang sahabat yang berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh sahabat lainnya. Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa perkataan sahabat ini tidak bias dijadikan hujjah. Akan tetapi sebagian ulama lainnya dari kalangan Ushuliyyin dan fuqaha mengharuskan untuk mengambil perkataan satu sahabat.
Beberapa macam Qoul AS-Shahabi yang menjadi perselisihan para ulama setelah dijelaskan diatas bahwa perkataan sahabat memiliki beberapa macam variasi, semua ulama sepakat bahwa perkataan sahabat yang diperselisihkan keabsahannya sebagai hujjah adalah:
1.Perkataan sahabat yang berasal dari pendapat dan ijtihad.
2.Perkataan sahabat terhadap permasalahan yang bias dijadikan objek ijtihad.
3.Perkataan sahabat yang tidak tersebar diantara para sahabat yang lainnya dan tidak ada sahabat yang mengingkari pendapat tersebut.
4.Perkataan sahabat terhadap suatu permasalahan yang tidak ada nash dan syarih baik Al-Qur’an ataupun As-sunnah.
5.Perkataaan sahabat yang sudan sampai pada generasa sesudahnya, seperti tabi’in dan berlanjut hinnga ke zaman sekarang.
Adapun perkataan sahabat selain dari keadaan yang sudah disebutkan diatas dapat disebutkan diatas dapat dijadikan hujjah dalm pengambilan hokum islam keabsahan Qoul as-shahabi sebagai salah satu Masdar Tasyr ketika terjadi perbedaan pendapat mengenai keabsahan Qoul As-shahabi sebagai salah satu masdar tasyr dalam islam, maka kita harus bias langsung memahami bahwa Qoul As-shahbi yang dimaksudkan disini adalah macam Qoul as-shahabi yang masih diperselisihkan mengenai kehujjahannya dan tidak macam yang lainnya. Dengan kata lain tidak semua QoulAs-Shahabi diperselisihkan keabsahannya sebagai hujjah.

C.DALIL-DALIL QOUL AS-SHAHABI
Adapun dalil-dalil Qoul as-shahabi yang mutlak adalah:
1.Al-Qur’an
-Firman Allah SWT, ” Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik dari mereka, diantara mereka ada yang beriman dan kebanyakan dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik (QS. 3:110).
-“ Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) diantara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyadiakan bagi mereka surge-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya, itulah kemenangan yang besar. (QS. 9:100)
-Firman Allah SWT yang menerangkan kelebihan para sahabat secara umum, diantaranya: “Ikutilah orang tiada balasan kepadamu, dam mereka adalah orang-orang yang mendapat peteunjuk”. (QS. 36:21).
-“ Dan ikutilah jalan yang kembali kepadaku, dan kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. 31:15).
2.As-sunnah
-Rasullah SAW bersabda, “ Sahabatku ibarat bintang, maka dimanapun kelian mengikutinya kalian akan mendapatkan petunjuk”.
3.Ijma’
Ketika Abdurrahman bin’ Auf menjadi ketua pemilihan khalifah setelah umar. Ia pertama kali menawarkan kepada Ali untuk menjadi khalifah dengan syarat mengikuti  sunah kedua khalifah sebelumnya, tapi Ali menolak. Kemudian ia menawarkan pada utsman dengan syarat yang sama, ustman pun menerimanya. Pada saat itutidak ada seorang sahabat pun mengingkari syarat yang diajukan Aburrahman bin’Auf itu sehingga sampai pada derajat ijma’.
4.Dalil Akal
-Bahwa perkataan sahabat meskipun bersumber dari akal atau ijtihad, maka ijtihadnya lebih kuat dari pada yang lainnya. Karena para sahabat menyaksikan secara langsung turunnya Al-Qur’an, dan mengetahui metode-metode Rasullah SAW. Dalam menyampaikan dan menjelaskan berbagai hukum atau suatu permasalahan.
-Bahwa Qoul as-shahabi bias dipandang ijma’ juga, karena apabila terjadi perbedaan atau perselisihan pendapat dari kalangan sahabat yang lainnya pasti akan tampak dan diketahui.

Ulama yang menolak Qoul as-shahabi  sebagai sebuah hujjah, diantaranya imam Al-ghojali, jumhur Al-Asya’irah, Mu’tazillah . Adapun dalil yang mereka pakai adalah:
a.Al-Qur’an
-Firman Allah SWT, “Maka ambillah kejadiaan itu untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”.(QS. 59:2)
Allah SWT memerintahkan hambahnya untuk mengambil pelajaran itu dari pada ijtihad. Dan ijtihad sangat berbeda dengan taqlid, karena ijtihad usaha untuk mencari dalil dalam sebuah permasalahan. Adapun taklid mengambil pendapat yang lain tanpa ada dalil. Maka mengambil Qoul as-shahabi termasuk dalam  kategori taqlid.
-Firman Allah SWT” Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul ( As-sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari kemudian yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. (QS. 4:59)
b.Bahwa para sahabat ketika berfatwa terhadap suatu permasalahan berarti ia telah berijtihad. Dan kemungkinan salah dalam ijtihadnya tetap ada karena pada sahabat bukanlah orang-orang yang dimaksaukan dalam kesalahan. Oleh karenanya tidak boleh mengikuti madzhab para sahabat (secara taklid)
c.Apabila Qoul as-shahabi bias dijadikan hujjah karena keadaan para sahabat yang lebih mengetahui dan lebih utama dari yang lain. Kalaulah begitu maka perkataan seorang yang lebih paham dan mengetahui terhadap suatu permasalahan selain dari pada sahabat dapat pula dijadikan hujjah.
d.Para sahabat telah bersepakat bahwa ijtihad yang bereka lakukan boleh untuk ditentang apabila tidak sesuai, sebagaimana Abu bakar dan Umar tidak menyalagkan orang yang menolak ijtihad. Akan tetapi mewajibkan kepada semua mujtahid untuk berijtihad pada permasalahan yang termasuk objek ijtihad.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Qoul as-shahabi adalah hujjah apabila bertentangan dengan qiyas. Maksudnya Qoul as-shahabi didahulukan dari pada qiyas jika keduanya bertentangan. Adapun dalil mereka yang berpendapat bahwa Qoul as-shahabi bisa dijadikan hujjah apabila bertentangan dengan qiyas adalah:
-Bahwa perkataan atau fatwa seseorang sahabat terhadap satu permasalahan ada dua kemungkinan, Kemungkinan pertama bahwa perkataannya tidak bersandarkan pada dalil. Kemungkinan yang pertama adalah batil, karena tidak mungkin seorang sahabat berkata berlandaskan hawa nafsunya sendiri dan tidak mungkin mereka berdusta atau mengada-ada dalam fatwa. Maka pasti perkataan sahabat itu berlandaskan pada dalil, meskipun mereka tidak secara  sharih menjelaskan dalil tersebut. Oleh karenanya Qoul as-shahbai didahulukan dari pada qiyas, karena Qoul as-shahabi berlandaskan langsung kepada dalil (nash/hujjah ashliyah), sedangkan qiyas meskipun berlandaskan dalil juga namun qiyas berlandaskan pada illa yang menjadi titik persamaan dengan al-ashl, sehingga qiyas disebut sebagai hujjahmuttabi’ah dan bukan hujjah ashiliyyah.


DAFTAR PUSTAKA
A.Basik Djalil, Ilmu ushul fiqh stud an dua, (Jakarta : Prenada Media Group)
Rahmad Syafe’I, Ilmu ushul fiqh,(Bandung :Pustaka Setia).

No comments:

Post a Comment