Monday, 21 March 2016

Sejarah Perkembangan Hukum Kewarisan Islam



SEJARAH PEWARIS ISLAM
A.    PENDAHULUAN
Selama hayat dikandung badan setiap orang mempunyai atau pendukung hidup hak-hak dan kewajiban, yakni berhak untuk hidup dalam masyarakat, berhak mempunyai hak milik, berhak mempunyai tempat kediaman, disamping itu mereka mempunyai pula kewajiban-kewajiban khusus terhadap anggota keluarganya, anak-anak beserta istri, kewajiban umum terhadap masyarakat.[1]
Bila seorang manusia sebagai individu meninggal dunia, maka akan timbul pertanyaan bagaimana hubungan yang meninggal dunia itu dengan yang ditinggalkan yang beberapa ragam pula coraknya dan akan ada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi baik si yang meninggal dunia maupun yang masih hidup, terutama dalam masalah kekayaan dari si meninggal dunia. Demikian itu membutuhkan aturan-aturan hukum yang mengatur bagaimana caranya hubungan yang meninggal dunia denga harta benda yang ditinggalkan (ahli waris).[2]
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat Al-Qur`an sebagai firman Tuhan yang diturunkan kepada Nabi besar Muhammad saw dan hadis Rasul yang terdiri dari ucapan, perbuatan dan hal-hal yang didiamkan Rasul. Baik dalam Al-Qur`an maupun hadis-hadis Rasul dasar hukum kewarisan itu ada yang secara tegas mengatur dan ada yang secara tersirat, bahkan kadang-kadang hanya berisi pokok-pokoknya saja, yang paling banyak ditemui dasar atau sumber  hukum kewarisan itu dalam surah an-nisa, disamping itu surah-surah lain sebagai pembantu.

B.     SEBAB-SEBAB PEMBAGIAN HARTA WARISAN PADA ZAMAN JAHILIAH
Bangsa arab pada zaman jahiliah tergolong salah satu bangsa yang gemar mengembara dan berperang. Kondisi daerahnya kering dan tandus  mengharuskan mereka  menjalani hidup penuh keberanian dan kekerasan.
Mata pencarian mereka yang utama adalah berdagang yang dilakukan dengan cara menempuh perjalanan jauh dan berat, permusuhan antara kabilah dengan kabilah lainnya seringkali menyebabkan peperangan, yang menang berhasil membawa harta rampasan. Beberapa hal tersebut memengaruhi kemetangan cara berpikir mereka yang serba mengandalkan kepada kekuatan fisik.[3]
Tradisi pembagian harta waris pada zaman jahiliah, berpegang teguh pada tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang atau leluhur mereka, yaitu anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan harta warisannya yang telah meninggal. Mereka beranggapan bahwa anak-anak, orang perempuan, dan usia lanjut adalah orang-orang yang lemah fisiknya dan tidak berharga. Karena kaum wanita, anak kecil, dan orang lanjut usia tidak mampu mencari nafkah, tidak sanggup berperang dan merampas harta musuh, sehingga mereka tidak berhak menerima harta waris dari keluarga atau orang tuanya sendiri. Sebab-sebab mereka berhak menerima harta warisan adalah sebagai berikut :[4]
1.      Karena hubungan kerabat
2.      Karena janji setia
3.      Karena pengangkatan anak
1.      Karena hubungan kerabat
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran.
Pengertian kerabat saja belum cukup dijadikan alasan untuk menutut harta waris, selagi tidak dilengkapi dengan adanya kekuatan jasmani yang sanggup untuk membela, melindungi, dan memelihara qabilah dan sekurang-kurangnyya keluarga mereka.
Persyaratan ini berakibat anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan yang tidak dapat menerima pusaka. Pantangan menerima pusaka bagi anak yang belum dewasa terletak pada tidak sanggupnya berjuang, memacukan kuda untuk ,mengejar musuh, dan memainkan pedang untuk memancung leher lawan dalam membela suku dan warga.
Demikian juga kaum perempuan karena fisiknya tidak memungkinkan untuk memanggul senjata dan bergulat  di medan laga serta jiwa yang sangat lemah. Oleh karena itu, para ahli waris jahiliah dari golongan kerabat semuanya terdiri atas :[5]
a.       Anak laki-laki
b.      Saudara laki-laki
c.       Paman,
d.      Anak-anak yang semuanya harus dewasa
2.      Karena janji setia
Janji prasetia terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, bila salah satu pihak telah mengikrarkan janji setianya kepada pihak lain, seperti ucapan : “ Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu. Perjuanganku perjuanganmu”.


Berprasetialah dan berjanji padaku untuk saling menolong dan bantu membantu
Sebagai akibat dari janji setia yang telah mereka setujui bersama, konsekuensi yang terjadi adalah jika salah satu pihak telah mengadakan perjanjian kemudian meninggal dunia, pihak yang masih hidup berhak mempusakai harta peninggalan patnernya yang mendahului meninggal dunia sebanyak 1/6  bagian harta peninggalannya. Adapun sisa harta setelah dikurangi  1/6 ini dibagikan kepada ahli warisnya.[6]
Janji setia adalah dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka. Tujuan ini tidak mungkin terealisasi apabila pihak-pihak yang berprasetia adalah anak-anak yang belum dewasa, apalagi kaum wanita.
Sebagai mufassir (ahli tafsir) membenarkan pusaka mempusakai berdasar janji setia ini, berdasar firman Allah , Surah An-nisa ayat 33 :[7]
9e@à6Ï9uir $oYù=yèy_ uÍ<ºuqtB $£JÏB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur 4 tûïÏ%©!$#ur ôNys)tã öNà6ãZ»yJ÷ƒr& öNèdqè?$t«sù öNåkz:ÅÁtR 4 ¨bÎ) ©!$# tb%Ÿ2 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« #´Îgx© ÇÌÌÈ  
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya[288]. dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
Sebagai mufassir memberikan pemahaman bahwa, Allah swt memerintahlan orang-orang mukmin agar memberikan kepada orang-orang yang memberikan janji setia untuk tolong menolong, nasihat-menasihati dan sebagainya, bagian yang telah menjadi hak mereka. Karena tidak ada ayat lain yang men naskh (menghapus) atau men-ta’wil kan (mengalihkan arti) ayat tersebut.
3.      Karena pengangkatan anak
Pengangkatan anak (          ), seorang yang telah mengambil anak laki-laki orang lain untuk dipelihara dan dimasukkan kedalam keluarga  yang menjadi tanggungannya dan menjadi bapak angkat terhadap anak yang telah diadopsi dengan berstatus sebagai anak nasab.
Apabila anak angkat tersebut sudah dewasa dan bapak angkatnya meninggal dunia, dapat mempusakai harta peninggalan bapak angkatnya seperti anak keturunannya sendiri. Didalam segala hal ia diperlakukan sebagai anak kandung dan dinasabkan kepadanya, bukan dinasabkan kepada bapak yang sejati.



C.     PEMBAGIAN WARIS PADA AWAL ISLAM MENUJU KESEMPURNAAN
Pada zama awal Islam ada beberapa sebab pusaka-mempusakai disamping karena adanya hubungan kerabat atau pertalian nasab, yaitu sebagai berikut :[8]
1.      Pengangkatan anak
2.      Hijrah dari Mekkah ke Madinah
3.      Persaudaraan antara Muhajirin dan Anshor
Pengangkatan anak sebagai sebab mempusakai dimasa jahiliah terus berlaku sampai pada permulaan Islam. Kebiasaan zaman jahiliah mengankat anak orang lain sebagian anaknya dan dibangsakan kepadanya.
Hijrah dari Mekkah ke Mainah, pada awal Islam menjadi sebab pusaka-mempusakai. Kekeuatan kaum muslimin pada saat itu masih sangat lemah, karena jumlah mereka sedikit. Intuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy yang sangat kuat dan banyak pengikutnya selain minta bantuan kepada penduduk diluar kotayang sepaham dan simpatik terhadap perjuangan beliau beserta kaum muslimin dalam memberantas kemusyrikan.[9]
Untuk memperteguh dan mengabdikan persaudaraan antar kaum Muharin dan Anshor, Rasulullah menjadka ikatan persaudaraan sebagai salah satu sebab untuk saling mempusakai. Misalnya, apabila seorang Muhajirin meninggal dunia di Madinah dan ia mempunyai wali (ahli waris) yang ikut Hijrah maka harta peninggalannya dipusakai oleh walinya (ahli warisnya) yang ikut hijrah, sedang ahli waris yang enggan hijrah ke Madinah tidak berhak mempusakai harta peninggalannya.
            Keistimewaan yang terdapat dalam  pusaka mempusakai menurut kewarisan Islam antara lain :
1.      Tidak menyerahkan sepenuhnya kepada orang yang mewariskan seluruh harta peninggalannya untuk diwasiatkan kepada orang yang dipilihnya sebagi penggantinya, baik dari kerabat yang jauh maupun kerabat yang sudah tidak ada pertalian nasab sama sekali, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Yunani dan Romawi kuno. Akan tetapi, syariat Islam mengizinkan kepada  orang yang mewariskan memberi wasiat maksimal 1/3 harta peninggalan, dengan maksud yang tidak merugikan kepada ahli waris yang lain.
2.      Tidak melarang kepada bapak dan  leluhur yang lebih atas darinya untuk mempusakai  bersama-sama dengan anak si mati dan tidak melarang si istri  untuk mempusakai suaminya yang telah meninggal atau sebaliknya, seperti tata cara mempusakai yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Romawi. Akan tetapi, Islam menetapkan bahwa mereka semua adalah tergolong ahli waris yang sama-sama mempunyai hak untuk memerima harta peninggalan.
3.      Tidak mengistimewakan dalam pemberian harta peninggalan hanya kepada satu macam pewaris saja, kendatipun jumlah anak-anak tersebut banyak. Akan tetapi, syariat Islam menyamakan hak anak tersebut sesuai dengan bagian masing-masing.
4.      Tidak menolak anak-anak yang belum dewasa dan yang perempuan untuk menerima harta peninggalan.
5.      Tidak membenarkan anak angkat untuk mempusakai harta peninggalan si mati, sebagai ahli waris si mati.

D.    HUKUM WARISAN DI INDONESIA
Bangsa Indonesia yang menganut berbagai agama dan kepercayaan mempunyai bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Diantara orang-orang Indonesia asli tidak terdapat satu sifat kekeluargaan, melainkan diberbagai daerah terdapat berbagai sistem kekeluargaan yang dapat dimasukkan dalam tiga golongan yaitu, :[10]
a.       Sifat kebapaan
b.      Sifat keibuan
c.       Sifat kebapak-ibuan
Apa yang tampak dari hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia untuk para warga Indonesia ialah:
1.      Bagi warga Indonesia asli pada pokoknya berlakulah hukum adat, yang berlaku dalam pelbagai daerah dan berhubungan dekat dengan tiga sifat kekeluargaan, yaitu sifat kebapaan, sifat keibuan, dan sifat kebapak-ibuan.
2.      Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam dipelbagai daerah ada pengaruh yang nyata dari peraturan warisan dan hukum Indonesia.
3.      Bagi orang-orang arab pada umumnya berlaku seluruh hukun Islam.
4.      Bagi orang-orang Tionghoa dan Eropa berlaku hukum warisan dari Burgelijk wetboek.[11]
E.     LEMBAGA YANG BERWENANG MENYELESAIKAN PERKARA KEWARISAN DI INDONESIA
Pada umumnya perkara yang menjadi tugas dan wewenangnya adalah :
1.      Perkara-perkara yang berhubungan dengan pernikahan, perceraian, mahar, nafkah dan perwalian.
2.      Warisan.
3.      Waqaf.
Dengan adanya staatsblad 1937 No 16, yang mulai berlaku tanggal 1 April 1937 kekuasaan pengadilan Agama dibatasi pada:
a.       Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.
b.      Perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang beragama Islam yang memerlukan hakim Agama Islam
c.       Memberi keputusan perceraian
Eksistensi peradilan Agama dengan penerapan hukum Islam menjadi lebih kukuh dengan adanya undan-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama. Pasal 1 undang-undang ini antara lain menyatakan bahwa peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Pasal ini dijelaskan lagi oleh pasal 2 yang menentukan bahwa peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang.
            Pengertian perkara perdata tertentu oleh undang-undang dijelaskan dalam pasal 49 yang menentukan bahwa pengadilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
1.      Perkawinan
2.      Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
3.      Waqaf
Dalam pasal ini ditegaskan bahwa kewarisan bagi umat Islam, diseluruh Indonesia penyelesaiannya menjadi wewenang peradilan Agama. Hukum yang digunakan dalam menyelesaikan kewarisan itu adalah Hukum Kewarisan Islam atau faraidh.
F.      KESIMPULAN
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat Al-Qur`an sebagai firman Tuhan yang diturunkan kepada Nabi besar Muhammad saw dan hadis Rasul yang terdiri dari ucapan, perbuatan dan hal-hal yang didiamkan Rasul.
Sebab-sebab berhak menerima harta warisan adalah sebagai berikut :[12]
1.      Karena hubungan kerabat
2.      Karena janji setia
3.      Karena pengangkatan anak
Hukum warisan di Indonesia :
a.       Sifat kebapaan
b.      Sifat keibuan
c.       Sifat kebapak-ibuan




DAFTAR PUSTAKA
Idris M. Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,Jakarta: pedoman Ilmu Jaya, 1992.
Muhammad Teungku hasbi AAsh-shiddieqy, Fiqh mawaris, Semarang: pustaka Rizki Putra, 2001.
Hanafi, Ahmad Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1961.
Daud Ali, Hukum Islam, Ilmi Hukum, dan Tata Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 1998.
Hazairin, Hukum Kewarisan Islam Menurut Al-Qur`an dan Hadist, Jakarta: Tintamas, 1982.
Azar Ahmad Basyr, Hukum Waris Islam,Yogyakarta: UII press 2004.
Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum di Indonesia Bandung: Jurnal Ilmiah Buana, 2007.



[1]M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,( Jakarta: pedoman Ilmu Jaya, 1992), hal 46
[2]Ibid
[3]Teungku Muhammad hasbi AAsh-shiddieqy, Fiqh mawaris, (Semarang: pustaka Rizki Putra, 2001), hal 5
[4]Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,( Jakarta: Bulan Bintang, 1961), hal 7
[5]Daud Ali, Hukum Islam, Ilmi Hukum, dan Tata Islam di Indonesia,( Jakarta: Raja Grafindo, 1998), hal 43
[6]Ibid
[7]Hazairin, Hukum Kewarisan Islam Menurut Al-Qur`an dan Hadist,( Jakarta: Tintamas, 1982) , hal 10
[8] Ahmad Azar Basyr, Hukum Waris Islam,( Yogyakarta: UII press 2004), hal 9
[9]Ibid
[10]Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum di Indonesia ,( Bandung: Jurnal Ilmiah Buana, 2007), hal 74
[11] ibid
[12]Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,( Jakarta: Bulan Bintang, 1961), hal 7

No comments:

Post a Comment