SEJARAH PEWARIS ISLAM
A.
PENDAHULUAN
Selama hayat dikandung badan setiap
orang mempunyai atau pendukung hidup hak-hak dan kewajiban, yakni berhak untuk
hidup dalam masyarakat, berhak mempunyai hak milik, berhak mempunyai tempat
kediaman, disamping itu mereka mempunyai pula kewajiban-kewajiban khusus
terhadap anggota keluarganya, anak-anak beserta istri, kewajiban umum terhadap
masyarakat.[1]
Bila seorang manusia sebagai
individu meninggal dunia, maka akan timbul pertanyaan bagaimana hubungan yang
meninggal dunia itu dengan yang ditinggalkan yang beberapa ragam pula coraknya
dan akan ada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi baik si yang meninggal
dunia maupun yang masih hidup, terutama dalam masalah kekayaan dari si
meninggal dunia. Demikian itu membutuhkan aturan-aturan hukum yang mengatur
bagaimana caranya hubungan yang meninggal dunia denga harta benda yang
ditinggalkan (ahli waris).[2]
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya
bersumber kepada beberapa ayat Al-Qur`an sebagai firman Tuhan yang diturunkan
kepada Nabi besar Muhammad saw dan hadis Rasul yang terdiri dari ucapan,
perbuatan dan hal-hal yang didiamkan Rasul. Baik dalam Al-Qur`an maupun
hadis-hadis Rasul dasar hukum kewarisan itu ada yang secara tegas mengatur dan
ada yang secara tersirat, bahkan kadang-kadang hanya berisi pokok-pokoknya
saja, yang paling banyak ditemui dasar atau sumber hukum kewarisan itu dalam surah an-nisa,
disamping itu surah-surah lain sebagai pembantu.
B.
SEBAB-SEBAB PEMBAGIAN HARTA WARISAN PADA ZAMAN JAHILIAH
Bangsa arab pada zaman jahiliah
tergolong salah satu bangsa yang gemar mengembara dan berperang. Kondisi
daerahnya kering dan tandus mengharuskan
mereka menjalani hidup penuh keberanian
dan kekerasan.
Mata pencarian mereka yang utama
adalah berdagang yang dilakukan dengan cara menempuh perjalanan jauh dan berat,
permusuhan antara kabilah dengan kabilah lainnya seringkali menyebabkan
peperangan, yang menang berhasil membawa harta rampasan. Beberapa hal tersebut
memengaruhi kemetangan cara berpikir mereka yang serba mengandalkan kepada
kekuatan fisik.[3]
Tradisi pembagian harta waris pada
zaman jahiliah, berpegang teguh pada tradisi yang telah diwariskan oleh nenek
moyang atau leluhur mereka, yaitu anak-anak yang belum dewasa dan kaum
perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan harta warisannya yang telah
meninggal. Mereka beranggapan bahwa anak-anak, orang perempuan, dan usia lanjut
adalah orang-orang yang lemah fisiknya dan tidak berharga. Karena kaum wanita,
anak kecil, dan orang lanjut usia tidak mampu mencari nafkah, tidak sanggup
berperang dan merampas harta musuh, sehingga mereka tidak berhak menerima harta
waris dari keluarga atau orang tuanya sendiri. Sebab-sebab mereka berhak
menerima harta warisan adalah sebagai berikut :[4]
1.
Karena hubungan kerabat
2.
Karena janji setia
3.
Karena pengangkatan anak
1.
Karena hubungan kerabat
Kekerabatan
ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi
yang disebabkan oleh kelahiran.
Pengertian
kerabat saja belum cukup dijadikan alasan untuk menutut harta waris, selagi
tidak dilengkapi dengan adanya kekuatan jasmani yang sanggup untuk membela,
melindungi, dan memelihara qabilah dan sekurang-kurangnyya keluarga
mereka.
Persyaratan
ini berakibat anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan yang tidak dapat
menerima pusaka. Pantangan menerima pusaka bagi anak yang belum dewasa terletak
pada tidak sanggupnya berjuang, memacukan kuda untuk ,mengejar musuh, dan
memainkan pedang untuk memancung leher lawan dalam membela suku dan warga.
Demikian
juga kaum perempuan karena fisiknya tidak memungkinkan untuk memanggul senjata
dan bergulat di medan laga serta jiwa
yang sangat lemah. Oleh karena itu, para ahli waris jahiliah dari golongan
kerabat semuanya terdiri atas :[5]
a.
Anak laki-laki
b.
Saudara laki-laki
c.
Paman,
d.
Anak-anak yang semuanya harus dewasa
2.
Karena janji setia
Janji
prasetia terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, bila salah satu pihak telah
mengikrarkan janji setianya kepada pihak lain, seperti ucapan : “ Darahku
darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu. Perjuanganku perjuanganmu”.
Berprasetialah
dan berjanji padaku untuk saling menolong dan bantu membantu
Sebagai akibat
dari janji setia yang telah mereka setujui bersama, konsekuensi yang terjadi
adalah jika salah satu pihak telah mengadakan perjanjian kemudian meninggal
dunia, pihak yang masih hidup berhak mempusakai harta peninggalan patnernya
yang mendahului meninggal dunia sebanyak 1/6
bagian harta peninggalannya. Adapun sisa harta setelah dikurangi 1/6 ini dibagikan kepada ahli warisnya.[6]
Janji setia
adalah dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan
mereka. Tujuan ini tidak mungkin terealisasi apabila pihak-pihak yang
berprasetia adalah anak-anak yang belum dewasa, apalagi kaum wanita.
Sebagai mufassir (ahli
tafsir) membenarkan pusaka mempusakai berdasar janji setia ini, berdasar firman
Allah , Surah An-nisa ayat 33 :[7]
9e@à6Ï9uir $oYù=yèy_ uÍ<ºuqtB $£JÏB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# cqç/tø%F{$#ur 4 tûïÏ%©!$#ur ôNys)tã öNà6ãZ»yJ÷r& öNèdqè?$t«sù öNåkz:ÅÁtR 4 ¨bÎ) ©!$# tb%2 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« #´Îgx© ÇÌÌÈ
Bagi tiap-tiap
harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat,
Kami jadikan pewaris-pewarisnya[288]. dan (jika ada) orang-orang yang kamu
telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
Sebagai
mufassir memberikan pemahaman bahwa, Allah swt memerintahlan orang-orang
mukmin agar memberikan kepada orang-orang yang memberikan janji setia untuk tolong
menolong, nasihat-menasihati dan sebagainya, bagian yang telah menjadi hak
mereka. Karena tidak ada ayat lain yang men naskh (menghapus) atau men-ta’wil
kan (mengalihkan arti) ayat tersebut.
3.
Karena pengangkatan anak
Pengangkatan anak (
), seorang yang telah mengambil anak laki-laki orang lain untuk
dipelihara dan dimasukkan kedalam keluarga
yang menjadi tanggungannya dan menjadi bapak angkat terhadap anak yang
telah diadopsi dengan berstatus sebagai anak nasab.
Apabila anak angkat tersebut sudah dewasa dan bapak angkatnya
meninggal dunia, dapat mempusakai harta peninggalan bapak angkatnya seperti
anak keturunannya sendiri. Didalam segala hal ia diperlakukan sebagai anak
kandung dan dinasabkan kepadanya, bukan dinasabkan kepada bapak yang sejati.
C.
PEMBAGIAN WARIS PADA AWAL ISLAM
MENUJU KESEMPURNAAN
Pada
zama awal Islam ada beberapa sebab pusaka-mempusakai disamping karena adanya
hubungan kerabat atau pertalian nasab, yaitu sebagai berikut :[8]
1.
Pengangkatan anak
2.
Hijrah dari Mekkah ke Madinah
3.
Persaudaraan antara Muhajirin dan
Anshor
Pengangkatan
anak sebagai sebab mempusakai dimasa jahiliah terus berlaku sampai pada
permulaan Islam. Kebiasaan zaman jahiliah mengankat anak orang lain sebagian
anaknya dan dibangsakan kepadanya.
Hijrah
dari Mekkah ke Mainah, pada awal Islam menjadi sebab pusaka-mempusakai. Kekeuatan
kaum muslimin pada saat itu masih sangat lemah, karena jumlah mereka sedikit.
Intuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy yang sangat kuat dan banyak pengikutnya
selain minta bantuan kepada penduduk diluar kotayang sepaham dan simpatik terhadap
perjuangan beliau beserta kaum muslimin dalam memberantas kemusyrikan.[9]
Untuk
memperteguh dan mengabdikan persaudaraan antar kaum Muharin dan Anshor,
Rasulullah menjadka ikatan persaudaraan sebagai salah satu sebab untuk saling
mempusakai. Misalnya, apabila seorang Muhajirin meninggal dunia di Madinah dan
ia mempunyai wali (ahli waris) yang ikut Hijrah maka harta peninggalannya
dipusakai oleh walinya (ahli warisnya) yang ikut hijrah, sedang ahli waris yang
enggan hijrah ke Madinah tidak berhak mempusakai harta peninggalannya.
Keistimewaan yang terdapat
dalam pusaka mempusakai menurut
kewarisan Islam antara lain :
1.
Tidak menyerahkan sepenuhnya kepada orang yang mewariskan seluruh
harta peninggalannya untuk diwasiatkan kepada orang yang dipilihnya sebagi
penggantinya, baik dari kerabat yang jauh maupun kerabat yang sudah tidak ada
pertalian nasab sama sekali, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Yunani dan
Romawi kuno. Akan tetapi, syariat Islam mengizinkan kepada orang yang mewariskan memberi wasiat maksimal
1/3 harta peninggalan, dengan maksud yang tidak merugikan kepada ahli waris
yang lain.
2.
Tidak melarang kepada bapak dan
leluhur yang lebih atas darinya untuk mempusakai bersama-sama dengan anak si mati dan tidak
melarang si istri untuk mempusakai suaminya
yang telah meninggal atau sebaliknya, seperti tata cara mempusakai yang
dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Romawi. Akan tetapi, Islam menetapkan
bahwa mereka semua adalah tergolong ahli waris yang sama-sama mempunyai hak
untuk memerima harta peninggalan.
3.
Tidak mengistimewakan dalam pemberian harta peninggalan hanya
kepada satu macam pewaris saja, kendatipun jumlah anak-anak tersebut banyak.
Akan tetapi, syariat Islam menyamakan hak anak tersebut sesuai dengan bagian
masing-masing.
4.
Tidak menolak anak-anak yang belum dewasa dan yang perempuan untuk
menerima harta peninggalan.
5.
Tidak membenarkan anak angkat untuk mempusakai harta peninggalan si
mati, sebagai ahli waris si mati.
D.
HUKUM WARISAN DI INDONESIA
Bangsa Indonesia yang menganut
berbagai agama dan kepercayaan mempunyai bentuk kekerabatan dengan sistem
keturunan yang berbeda-beda. Diantara orang-orang Indonesia asli tidak terdapat
satu sifat kekeluargaan, melainkan diberbagai daerah terdapat berbagai sistem
kekeluargaan yang dapat dimasukkan dalam tiga golongan yaitu, :[10]
a.
Sifat kebapaan
b.
Sifat keibuan
c.
Sifat kebapak-ibuan
Apa
yang tampak dari hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia untuk para warga
Indonesia ialah:
1.
Bagi warga Indonesia asli pada pokoknya berlakulah hukum adat, yang
berlaku dalam pelbagai daerah dan berhubungan dekat dengan tiga sifat
kekeluargaan, yaitu sifat kebapaan, sifat keibuan, dan sifat kebapak-ibuan.
2.
Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam dipelbagai daerah ada
pengaruh yang nyata dari peraturan warisan dan hukum Indonesia.
3.
Bagi orang-orang arab pada umumnya berlaku seluruh hukun Islam.
4.
Bagi orang-orang Tionghoa dan Eropa berlaku hukum warisan dari Burgelijk
wetboek.[11]
E.
LEMBAGA YANG BERWENANG MENYELESAIKAN PERKARA KEWARISAN DI INDONESIA
Pada
umumnya perkara yang menjadi tugas dan wewenangnya adalah :
1.
Perkara-perkara yang berhubungan dengan pernikahan, perceraian,
mahar, nafkah dan perwalian.
2.
Warisan.
3.
Waqaf.
Dengan
adanya staatsblad 1937 No 16, yang mulai berlaku tanggal 1 April 1937 kekuasaan
pengadilan Agama dibatasi pada:
a.
Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.
b.
Perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara
orang-orang beragama Islam yang memerlukan hakim Agama Islam
c.
Memberi keputusan perceraian
Eksistensi peradilan Agama dengan
penerapan hukum Islam menjadi lebih kukuh dengan adanya undan-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang peradilan Agama. Pasal 1 undang-undang ini antara lain
menyatakan bahwa peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam. Pasal ini dijelaskan lagi oleh pasal 2 yang menentukan bahwa
peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang
diatur dalam undang-undang.
Pengertian perkara
perdata tertentu oleh undang-undang dijelaskan dalam pasal 49 yang menentukan
bahwa pengadilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
1.
Perkawinan
2.
Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam
3.
Waqaf
Dalam pasal ini ditegaskan bahwa
kewarisan bagi umat Islam, diseluruh Indonesia penyelesaiannya menjadi wewenang
peradilan Agama. Hukum yang digunakan dalam menyelesaikan kewarisan itu adalah
Hukum Kewarisan Islam atau faraidh.
F.
KESIMPULAN
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya
bersumber kepada beberapa ayat Al-Qur`an sebagai firman Tuhan yang diturunkan
kepada Nabi besar Muhammad saw dan hadis Rasul yang terdiri dari ucapan,
perbuatan dan hal-hal yang didiamkan Rasul.
Sebab-sebab berhak menerima harta
warisan adalah sebagai berikut :[12]
1.
Karena hubungan kerabat
2.
Karena janji setia
3.
Karena pengangkatan anak
Hukum warisan di Indonesia :
a.
Sifat kebapaan
b.
Sifat keibuan
c.
Sifat kebapak-ibuan
DAFTAR PUSTAKA
Idris
M. Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,Jakarta: pedoman Ilmu
Jaya, 1992.
Muhammad
Teungku hasbi AAsh-shiddieqy, Fiqh mawaris, Semarang: pustaka Rizki
Putra, 2001.
Hanafi,
Ahmad Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1961.
Daud
Ali, Hukum Islam, Ilmi Hukum, dan Tata Islam di Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo, 1998.
Hazairin,
Hukum Kewarisan Islam Menurut Al-Qur`an dan Hadist, Jakarta: Tintamas,
1982.
Azar Ahmad
Basyr, Hukum Waris Islam,Yogyakarta: UII press 2004.
Muhibbin,
Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum di Indonesia Bandung:
Jurnal Ilmiah Buana, 2007.
[1]M.
Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,( Jakarta: pedoman
Ilmu Jaya, 1992), hal 46
[3]Teungku
Muhammad hasbi AAsh-shiddieqy, Fiqh mawaris, (Semarang: pustaka Rizki
Putra, 2001), hal 5
[4]Ahmad
Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,( Jakarta: Bulan Bintang,
1961), hal 7
[5]Daud
Ali, Hukum Islam, Ilmi Hukum, dan Tata Islam di Indonesia,( Jakarta:
Raja Grafindo, 1998), hal 43
[7]Hazairin,
Hukum Kewarisan Islam Menurut Al-Qur`an dan Hadist,( Jakarta: Tintamas,
1982) , hal 10
[8] Ahmad
Azar Basyr, Hukum Waris Islam,( Yogyakarta: UII press 2004), hal 9
[10]Muhibbin,
Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum di Indonesia ,( Bandung:
Jurnal Ilmiah Buana, 2007), hal 74
[12]Ahmad
Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,( Jakarta: Bulan Bintang,
1961), hal 7
No comments:
Post a Comment