A. Pendahuluan
Lembaga pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan proses pendidikan karena lembaga berfungsi sebagai mediator dalam mengatur jalannya pendidikan. Pada zaman sekarang ini tampaknya tidaklah disebut pendidikan jika tidak ada lembaganya. Lembaga pendidikan sangat mutlak keberadaannya bagi kelancaran proses pendidikan. Apalagi lembaga pendidikan itu dikaitkan dengan konsep islam. Karena lembaga pendidikan islam merupakan suatu wadah dimana pendidikan dalam ruang lingkup keislaman melaksanakan tugasnya demi tercapainya. Maka dengan demikian perlu adanya lembaga pendidikan seperti diperguruan tinggi yang harus dijadikan sebagai tempat mengabdi.
Pendidikan merupakan sebuah yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan umat manusia. Karenanya manusia harus senantiasa mencari dan menuntut ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu factor penting yang mengharuskan manusia untuk selalu mengembangkan keilmuannya agar dapat beradaptasi di dunia modern yang kaya akan kemajuan ilmu dan teknologi.
B. Pengertian Pendidikan Islam
Dalam seminar, pendidikan Islam di Indonesia yang dilaksanakan oleh badan kerjasma perguruan tinggi islam swasta di jakarta tahun 1979 mendefenisikan pendidikan islam adalah usaha yang berlandasan al-Islam untuk membantu manusia dalam mengembangkan dan mendewasakan kepribadiannya, baik jasmaniah maupun rohaniah untuk memiliki tanggung jawab memenuhi tuntunan zamannya dan masa depannya.
Menurut Marimba yang di kutip oleh Dja’far Siddik pendidikan islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut hukum islam. Sedangkan Langeveld mendefenisikan pendidikan ialah usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa untuk mempengaruhi anak dalam usaha membimbingnya ke arah kedewasan , yaitu dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas segala tindakannya menurut pilhannya sendiri.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat dipahami:
1. Hakikat pendidikan islam adalah terbinanya kesempurnaan kepribadian peserta didik, yang disebut sebagai kepribadian al-fadilah, yaitu suatu kepribadian yang meneladani nilai-nilai kepribadian yang dicontohkan Nabi saw, baik sebagai pandangan hidup maupun sebagai sikap dan keterampilan hidup melalui kegiatan-kegiatan yang berencana dan sistematis untuk menumbuh kembangkan segenap potensi-potensi rohaniah dan jasmaniah yang dimiliki peserta didik.
2. Pendidikan islam bersifat luas dan menyeluruh , tidak terbatas pada bidang-bidang pengalaman, pengetahuan dan keterampilan tertentu saja, melainkan meliputi segenap pengalaman, pengetahuan dan keterampilan yang dapat menghantarkan peserta didik melaksanakan pengabdiannya kepda Allah swt dengan penuh penghayatan akan ke-esaan Tuhan dan mampu membangun struktur kehidupan duniawinya untuk menopang kehidupan beragama dan berbudaya bagi kesejahteraan dirinyua, kelurga, masyarakatdan ummat seluruhnya.
3. Yang membedakan konsep pendidikan Islam dari pendidikan lainnya adalah nilai tinggi yang diberikan-nya kepada iman dan kesalehan sebagai salah satu tujuan pokoknya yang paling mendasar.
C. Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi
Pendidikan Agama sejajar dengan pengertian Pendidikan Matematika, Pendidikan Biologi dan seterusnya.
Di dalam Kurikulum Pendidikan Agama di PTU dan UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat 2, pendidikan agama merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau pelatihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agam lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Berdasarkan pengertian pendidikan agama yang tertuang dalam kurikulum PTU dan UUSPN tersebut, pendidikan agama yang diselenggarakan di PTU diharapkan dapat membentuk kesalehan peserta didik baik kesalehan pribadi maupun kesalehan sosial, sehingga pendidikan tidak menumbuhkan semangat fanatisme, menumbuhkan sikap intoleran di kalangan mahasiswa dan masyarakat Indonesia dan memperlemah kerukunan hidup beragama serta kesatuan nasional. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang pluralistik memang sangat rentan munculnya konflik dan perpecahan masyarakat, sehingga pendidikan agama dalam kalangan mahasiswa, dapat dipandang sebagai pisau bermata dua, menjadi faktor pemersatu sekaligus faktor pemecah belah.
Fenomena semacam ini, menurut Muhaimin (2007: 77) paling tidak, akan ditentukan oleh: (1) teologi agama dan doktrin ajarannya, (2) sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayati agama tersebut, (3) lingkungan sosio-kultural yang mengelilinginya, dan (4) peranan dan pengaruh dosen yang mengarahkannya.
Jadi, tujuan pendidikan agama yang diberikan pada mahasiswa secara umum dalam rangka membentuk pribadi-pribadi yang saleh, baik saleh kepada Tuhan maupun saleh kepada sesamanya. Dalam konteks ini, pendidikan agama ingin membentuk mahasiswa agar menciptakan kebaikan baik untuk dirinya maupun untuk masyarakatnya, baik berkaitan dengan aspek ibadah maupun muamalah, baik urusan pribadi maupun uruan publik, yang implikasinya dapat menciptakan negara yang baldah thayyibah wa rabbun ghafûr. Tujuan ideal pendidikan agama tidak lain menciptakan pribadi yang saleh, membentuk calon anggota masyarakat yang berbudi luhur, dan mencetak calon-calon pemimpin yang memiliki kepribadian yang penuh tauladan.
Berdasarkan landasan penyelenggaraan pendidikan agama di perguruan tinggi, maka pendidikan agama sesuai UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat 2, merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan yang maha esa sesuai dengan agama yang dianut para peserta didik. Mata kuliah pendidikan agama di perguruan tinggi merupakan bentuk penyelenggaraan dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, manusia yang beriman kepada Tuhan dan berbudi pekerti luhur, mempunyai pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
D. Eksistensi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia
Pradigma baru Perguruan Tinggi
Dilihat dari perpesktif perkembangan nasional dan global maka konsep paradigma baru bagi Perguruan Tinggi di Indonesia merupakan sebuah keharusan termasuk didalamnya adalah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Sebagimana dikemukakan dalam visi Dalam dunia yang tengah berubah sangat cepat, terdapat kebutuhan mendesak bagi adanya visi dan paradigma baru Perguruan Tinggi. Paradigma baru itu, mau tidak mau, melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Dengan reformasi dan perubahan Perguruan Tinggi dapat melayani kebutuhan yang lebih beragam bagi lebih banyak orang dengan pelayanan pendidikan, metode, dan penyampaian pendidikan berdasarkan jenis dan bentuk-bentuk baru hubungan dengan masyarakat dan sektor-sektor masyarakat lebih luas.
Pradigma baru Perguruan Tinggi yang sekarang ini di Indonesia menjadi kerangka dan landasan pengembangan Perguruan Tinggi merupakan hasil dari pembahasan dan perumusan yang telah dilakukan sejak waktu yang lama baik pada tingkat nasional maupun internasional. Sekali lagi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional juga tidak bisa melepaskan diri dari perumusan-perumusan yang berkembang dari waktu ke waktu itu. Kajian ulang terhadap kinerja Perguruan Tinggi secara komprehensif, yang menghasilkan pemikiran dan konsep baru tentang pengembangan Perguruan Tinggi, bisa kita lihat misalnya dalam kerangka yang diajukan oleh D.A.
Tisna Amijaya, Sebelum memberikan kerangka pengembangan Perguruan Tinggi jangka panjang, ia mengidentifikasi lima masalah besar yang dihadapi Perguruan Tinggi pada umumnya: (1) Produktivitas yang rendah, (2) Keterbatasan daya tampung, (3) Keterbatasan kemampuan berkembang, (4) Kepincangan di antara berbagai Perguruan Tinggi, (5) Distribusi yang tidak seimbang dalam bidang-bidang ilmu yang disediakan Perguruan Tinggi, khususnya di antara ilmu-ilmu sosial dan humaniora dengan ilmu-ilmu eksakta.
Untuk mengatasi berbagai kelemahan ini, Amijaya mengajukan lima program besar:
1. Peningkatan produktivitas Perguruan Tinggi
1. Peningkatan daya tampung
2. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat
3. Peningkatan bidang keilmuan eksakta atau iptek
4. Peningkatan kemampuan berkembang.
Namun dalam hal ini program tidak banyak berhasil, karena terdapat berbagai kendala, khususnya dilingkungan perguruan tinggi sendiri dan kebijakan pendidikan Nasional yang masih tetap sangat sentralistik dan kaku, sebab itu sebuah konsep program pengembangan perguruan tinggi jangka panjang 1986-1995 yang sedikit berbeda.
Menurut Sukadji Ranuwihardjo ada beberapa konsep program yang harus dirumuskan kembali yakni, pertama, peningkatan kualitas di perguruan tinggi, prukdivitas, peningkatan relevansi, perluasan kesempatan memperoleh pendidikan. Berdasarkan konsep ini sebagian besar dilanjutkan dengan perumusan “pradigma baru” perguruan tinggi sebagimana terdapat dalam rencana jangka panjang.
Rencana jangka panjang ini sejak semula memang disebut sebagai paradigma baru Perguruan Tinggi. Paradigma baru ini pada dasarnya bertujuan untuk merumuskan kembali peran negara dan Perguruan Tinggi, sehingga lebih memungkinkan bagi Perguruan Tinggi untuk berkembang lebih baik. Paradigma baru itu juga dimaksudkan untuk memberi panduan bagi pengembangan mekanisme baru guna memperkuat Perguruan Tinggi, seperti perencanaan atas dasar prinsip desentralisasi, evaluasi berkelanjutan terhadap kualitas, dan lain-lain. Peranan negara mengalami perubahan yang sangat signifikan dengan pengurangan peranan pemerintah. Pemerintah secara konseptual dan praktikal tidak lagi merupakan lembaga sentral yang menetapkan segala ketentuan secara rinci atau mengontrol secara terpusat seluruh gerak dan dinamika Perguruan Tinggi. Pemerintah dalam paradigma baru itu hanyalah memberikan kerangka dasar, memberikan insentif agar sumber daya manusia dan keuangan dapat dialokasikan kepada prioritas-prioritas terpenting pada Perguruan Tinggi, dan mendorong setiap Perguruan Tinggi meningkatkan standar kualitasnya.
Untuk memperjelas visi dan aksi Perguruan Tinggi seperti dirumuskan UNESCO, sangat relevan dengan paradigma baru Perguruan Tinggi di Indonesia, berikut beberapa bagian penting Deklarasi UNESCO:
1. Misi dan fungsi Perguruan Tinggi, deklarasi menegaskan bahwa misi dan nilai pokok Perguruan Tinggi adalah memberikan kontribusi kepada pembangunan yang berkelanjutan dan pengembangan masyarakat secara keseluruhan. Secara lebih spesifik adalah mendidik mahasiswa dan warganegara untuk memenuhi kebutuhan seluruh sektor aktivitas manusia dengan menawarkan kualifikasi yang relevan, termasuk pendidikan dan pelatihan profesional yang mengkombinasikan ilmu pengetahuan dan keahlian tingkat tinggi melalui matakuliah yang terus dirancang, dievaluasi secara ajeg, dan terus dikembangkan untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat dewasa ini dan masa datang.
2. Memberikan berbagai kesempatan kepada para peminat untuk memperoleh pendidikan tinggi sepanjang usia. Perguruan Tinggi memiliki misi dan fungsi memberikan kepada para penuntut ilmu sejumlah pilihan yang optimal dan fleksibilitas untuk masuk ke dalam dan keluar dari sistem pendidikan yang ada. Perguruan Tinggi juga harus memberikan kesempatan bagi pengembangan individu dan mobilitas sosial bagi pendidikan kewarganegaraan dan bagi partisipasi aktif dalam masyarakat. Dengan begitu, peserta didik akan memiliki visi yang mendunia, dan sekaligus mempunyai kapasitas membangun yang membumi.
3. Memajukan, menciptakan dan menyebarkan ilmu pengetahuan melalui riset dan memberikan keahlian yang relevan untuk membantu masyarakat umum dalam pengembangan budaya, sosial dan ekonomi, mengembangkan penelitian dalam bidang sains dan teknologi, ilmu sosial, humaniora dan seni kreatif.
4. Membantu untuk memahami, menafsirkan, memelihara, memperkuat, mengembangkan, dan menyebarkan budaya historis nasional, regional dan internasional dalam pluralisme dan keragaman budaya.
5. Membantu untuk melindungi dan memperkuat nilai-nilai sosial dengan menanamkan kepada generasi muda nilai-nilai yang membentuk dasar kewarganegaraan yang demokratis.
6. Memberikan kontribusi kepada pengembangan dan peningkatan pendidikan pada seluruh jenjangnya, termasuk pelatihan para guru.
Dengan demikian perguruan Tinggi harus menjadikan mahasiswa sebagai pusat atau orientasi dalam seluruh kegiatannya. Para pengambil kebijakan Perguruan Tinggi pada tingkat nasional dan institusional harus menjadikan para mahasiswa sebagai pusat dan memandang mereka sebagai mitra utama serta merupakan stakeholder yang paling penting dalam pembaharuan dan reformasi Perguruan Tinggi. Paradigma baru Perguruan Tinggi dalam konteks ini adalah keterlibatan mahasiswa menyangkut hal-hal tentang tingkat pendidikan, evaluasi, renovasi metode pengajaran dan kurikulum dan bahkan dalam perumusan kerangka kerja institusional Perguruan Tinggi, kebijaksanaan dan manajemen Perguruan Tinggi. Dalam konteks perumusan konsep pengembangan Perguruan Tinggi di Indonesia dapat mengacu pada rumusan Departemen Pendidikan Nasional.
1. Kemandirian lebih besar dalam pengelolaan atau otonomi. Otonomi seluas-luasnya atau setidaknya otonomi lebih luas, otonomi bukan saja dalam hal pengelolaan secara manajerial, tetapi juga dalam hal penentuan atau pemilihan kurikulum dalam rangka penyesuaian Perguruan Tinggi dengan dunia kerja atau kebutuhan pasar. Dengan demikian Perguruan Tinggi berfungsi selain untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang menguasai sains dan teknologi, ilmu-ilmu sosial dan humaniora, tetapi juga harus mengembangkan seluruh bidang tersebut melalui penelitian dan pengembangan.
2. Akuntabilitas, bukan hanya dalam hal pemanfaatan sumber-sumber keuangan secara lebih bertanggungjawab, tetapi juga dalam pengembangan keilmuan, kandungan pendidikan dan program-program yang diselenggarakan. Akuntabilitas ini tidak hanya kepada pemerintah sebagai pembina pendidikan atau pemberi sumber dana dan sumber daya lainnya, tetapi juga kepada masyarakat dan stake holder lainnya yang memakai dan memanfaatkan lulusan Perguruan Tinggi dan hasil pengembangan berbagai bidang ilmunya. Karena itu, di sini terkait pula akuntabilitas terhadap dunia profesi, dan masyarakat luas.
3. Jaminan lebih besar terhadap kualitas melalui evaluasi internal yang dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan, dan evaluasi eksternal yang sekarang ini dilakukan Badan Akreditasi Nasional (BAN). BAN harus meningkatkan fungsinya dengan menentukan standar-standar yang lebih fleksibel dan dinamis atau tidak kaku, sehingga tetap memungkinkan bagi Perguruan Tinggi untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan dan kebutuhan dunia kerja, juga harus melibatkan lebih banyak unsur stakeholder dalam organisasinya, sehingga memungkinkan terjadinya penilaian dan pengakuan yang sesungguhnya dari masyarakat, yang sangat berkepentingan dengan hasil-hasil Perguruan Tinggi.
E. Tantangan PTAI Era Globalisasi dan Informasi
Berbagai perubahan di era global yang di tandai dengan WTO, AFTA, APEC membuat masyarakat di masa depan akan sangat terbuka disertai ketergantungan kultural yang bersifat global. Tenaga kerja dari luar negeri yang akan masuk ke tanah air tidak dapat di bending. Kecendurngan ini diperkuat oleh laju perkembangan teknologi informasi dengan mudah dapat diakses dan dapat mengubah sikap moral, sosial dan intelektual seseorang dalam waktu cepat.
Tantangan di era globalisasi menuntut respons tepat dan cepat dari sistem pendidikan Islam secara keseluruhan. Maka dalam hal ini umat Islam tidak boleh berpangkau tangan dan menonton dari luar seluruh perkembangan yang terjadi. Dengan pemikiran inilah yang mendorong adanya gagasan tentang perkembangan IAIN (khususnya universitas tinggi) seperti di universitas Jakarta dan lainnya. Dibawah ini Depatemen Agama Repuplik Indonesia yang mencakup bukan hanya fakultas-fakultas Agama, tetapi juga fakultas umum dengan corak epistemology keilmuan dan etika moral keagamaan yang integralistik. Maka dalam konsep ini perlu dikembangkan kurikulumnya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengguna jasa IAIN di era globalisasi dan diperkuat tenaga pengajar dengan berbagai metode dan pendekatan baru dalam Islamic studies dan ilmu-ilmu social, sedangkan dalam fakultas umum perlu dibekali muatan-muatan spritualitas an moral kegamaan yang lebih terarah dan kritis dalam format integrated curuculum. Kemudian pengembanagn diharapkan melahirkan pendidikan Islam yang ideal dimasa depan.
F. Kurikulum di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
Subtansi pendidikan pada dasarnya adalah refleksi atas problem-problem aktual yang dihadapi dalam kehidupan nyata dimasyarakat. Proses pendidikan atau pengalaman belajar mahasiswa terbentuk kegiatan-kegiatan belajar yang mengutamakan kerjasama, berbagai pihak dalam mengapresiasi kepekaan terhadap persoalan kekinian. Oleh karena itu dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan berolak pada problem yang dihadapi masyarakat. Kemudian dalam proses pengalaman belajar mahasiswa adalah dengan cara memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta belajar secara kooperatif dan klaboratif berupaya mencari pemecahan terhadap roblem yang dihadapi menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik. Pembenahan kurikulm pad pendidikan tinggi senantiasa dilakukan dengan menyesuaikan kebutuhan masyarakat, dan isi pendidikan yang terus-menerus berkembang dan meningkat. Pembenahan kurikulm dilakukan pemerintah dengan beberap kali sampai yang terakhir KBK yang dilaksanakan secara serentak di semua lembaga pendidikan tahun 2004 ini.
Pembenahan kurikum perguruan tinggi agama Islam (PTAI) tahun 2004 dilakukan dengan mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam sistem pendidikan nasional yang menyangkut tentang fungsi dan tujuan pendidikan,isi kurikulum, perjenjangan pendidikan dalam jalur pendidikan sekolah, dan adanya dua macam muatan dalam kurikulum yang meliputi muatan nasional dan muatan institusional atau lokal. Fungsi kurikulum dapat diarahkan kepada pihak-pihak yang terkait antara lain Rektor/ ketua, pendidik, pejabat, dipertais, dan penerima lulusan.
G. Kelemahan Kurikulum di PTAI
1. Kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat, banyak prodi yang diminati masyarakt tetap dipertahankan
2. Kurang efektif, yakni tidak menjamin dihasilkannya lulusan yang sesuai dengan harapan
3. Kurang efesien, yakni banyaknya mata kuliah dan sks tidak menjamin dihasilkannya lulusan yang sesuai harapan.
4. Fleksibel, yakni PTAI kurang berani secara efektif dan bertanggung jawab mengubah kurikulum guna menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
5. Realibity rendah, tidak komunitatif (bisa menimbulkan banyak tafsir
6. Hanya berupa deretan mata kuliah
7. Berbasis (berfokus) pada mata kuliah/ penyampaian materi bukan pada tujuan kurekuler/ hasil belajar/ mutu lulusan
8. hubungan fungsional antar mata kuliah yang mengacu pada tjuan kurekuler kurang jelas.
Untuk mengatasi berbagai kelemahan tersebut, maka Direktur Pertais mengambil kebijakan tentang pengembangan kurikulum, yaitu: (1) kurikulum berbasis hasil, (2) kurikulum terdiri atas kurikulum institusional dan lain sebagainya.
Kebijakan tersebut mengandung makna bahwa : (1) kurikulum perlu dikembangkan menitikberatkan pada pencapaian target kompetensi daripada penguasaan materi, (2) lebih mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumberdaya pendidikan tersebut, (3) memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pelaksana pendidikan di PTAI untuk mengembangkan program pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan, (4) menggunakan prinsip kesatuan dalam pelaksanaan, (5) pengembangan kurikulum memuat sekelompok mata kuliah pengembangan kepribadian (MPB) pada semua program studi.
H. Prinsip Pengembangan KBK di PTAI
Dengan memperhatikan kecendurangan global nasional, maka pengembangan KBK di PTAI hendaknya mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Keimanan, budi pekerti luhur, dan nilai-nilai budaya
2. Penguatan integrasi nasional
3. Keseimbangan etika, logika, estetika dan kinestetika
4. Kesamaan memperoleh kesempatan
5. Perkembangan pengetahuan dan teknologi informasi
6. Pengembangan kecakapan hidup
7. Berpusat adanya mahasiswa
8. Pendekatan menyeluruh dan kemitraan.
I. Kesimpulan
Di dalam Kurikulum Pendidikan Agama di PTU dan UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat 2, pendidikan agama merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau pelatihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agam lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.
Eksistensi PTAI dilihat dari perpesktif perkembangan nasional dan global maka konsep paradigma baru bagi Perguruan Tinggi di Indonesia merupakan sebuah keharusan termasuk didalamnya adalah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Sebagimana dikemukakan dalam visi Dalam dunia yang tengah berubah sangat cepat, terdapat kebutuhan mendesak bagi adanya visi dan paradigma baru Perguruan Tinggi. Paradigma baru itu, mau tidak mau, melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Dengan reformasi dan perubahan Perguruan Tinggi dapat melayani kebutuhan yang lebih beragam bagi lebih banyak orang dengan pelayanan pendidikan, metode, dan penyampaian pendidikan berdasarkan jenis dan bentuk-bentuk baru hubungan dengan masyarakat dan sektor-sektor masyarakat lebih luas.
. lima masalah besar yang dihadapi Perguruan Tinggi pada umumnya: (1) Produktivitas yang rendah, (2) Keterbatasan daya tampung, (3) Keterbatasan kemampuan berkembang, (4) Kepincangan di antara berbagai Perguruan Tinggi, (5) Distribusi yang tidak seimbang dalam bidang-bidang ilmu yang disediakan Perguruan Tinggi, khususnya di antara ilmu-ilmu sosial dan humaniora dengan ilmu-ilmu eksakta.Untuk mengatasi berbagai kelemahan ini, Amijaya mengajukan lima program besar: (1) Peningkatan produktivitas Perguruan Tingg, (2) Peningkatan daya tampung (3) Peningkatan pelayanan kepada masyarakat, (4) Peningkatan bidang keilmuan eksakta atau iptek, (5) Peningkatan kemampuan berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Siddik Dja’far, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Citapustaka Media, 2006.
Brodionegoro Soetedjo, Pendidikan Islam Nasional Indonesia, Jakarta: Yayasan, IKIP Yogyakarta, 1981.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta: RajaGrafindo, 2007.
Alim M, Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim, Bandung: Rosdakarya, 2006.
Hidayat Komaruddin, Problem dan Prospek IAIN, Jakarta: Departemen Agama RI, 2000.
Abdullah Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2006.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005.
Lembaga pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan proses pendidikan karena lembaga berfungsi sebagai mediator dalam mengatur jalannya pendidikan. Pada zaman sekarang ini tampaknya tidaklah disebut pendidikan jika tidak ada lembaganya. Lembaga pendidikan sangat mutlak keberadaannya bagi kelancaran proses pendidikan. Apalagi lembaga pendidikan itu dikaitkan dengan konsep islam. Karena lembaga pendidikan islam merupakan suatu wadah dimana pendidikan dalam ruang lingkup keislaman melaksanakan tugasnya demi tercapainya. Maka dengan demikian perlu adanya lembaga pendidikan seperti diperguruan tinggi yang harus dijadikan sebagai tempat mengabdi.
Pendidikan merupakan sebuah yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan umat manusia. Karenanya manusia harus senantiasa mencari dan menuntut ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu factor penting yang mengharuskan manusia untuk selalu mengembangkan keilmuannya agar dapat beradaptasi di dunia modern yang kaya akan kemajuan ilmu dan teknologi.
B. Pengertian Pendidikan Islam
Dalam seminar, pendidikan Islam di Indonesia yang dilaksanakan oleh badan kerjasma perguruan tinggi islam swasta di jakarta tahun 1979 mendefenisikan pendidikan islam adalah usaha yang berlandasan al-Islam untuk membantu manusia dalam mengembangkan dan mendewasakan kepribadiannya, baik jasmaniah maupun rohaniah untuk memiliki tanggung jawab memenuhi tuntunan zamannya dan masa depannya.
Menurut Marimba yang di kutip oleh Dja’far Siddik pendidikan islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut hukum islam. Sedangkan Langeveld mendefenisikan pendidikan ialah usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa untuk mempengaruhi anak dalam usaha membimbingnya ke arah kedewasan , yaitu dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas segala tindakannya menurut pilhannya sendiri.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat dipahami:
1. Hakikat pendidikan islam adalah terbinanya kesempurnaan kepribadian peserta didik, yang disebut sebagai kepribadian al-fadilah, yaitu suatu kepribadian yang meneladani nilai-nilai kepribadian yang dicontohkan Nabi saw, baik sebagai pandangan hidup maupun sebagai sikap dan keterampilan hidup melalui kegiatan-kegiatan yang berencana dan sistematis untuk menumbuh kembangkan segenap potensi-potensi rohaniah dan jasmaniah yang dimiliki peserta didik.
2. Pendidikan islam bersifat luas dan menyeluruh , tidak terbatas pada bidang-bidang pengalaman, pengetahuan dan keterampilan tertentu saja, melainkan meliputi segenap pengalaman, pengetahuan dan keterampilan yang dapat menghantarkan peserta didik melaksanakan pengabdiannya kepda Allah swt dengan penuh penghayatan akan ke-esaan Tuhan dan mampu membangun struktur kehidupan duniawinya untuk menopang kehidupan beragama dan berbudaya bagi kesejahteraan dirinyua, kelurga, masyarakatdan ummat seluruhnya.
3. Yang membedakan konsep pendidikan Islam dari pendidikan lainnya adalah nilai tinggi yang diberikan-nya kepada iman dan kesalehan sebagai salah satu tujuan pokoknya yang paling mendasar.
C. Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi
Pendidikan Agama sejajar dengan pengertian Pendidikan Matematika, Pendidikan Biologi dan seterusnya.
Di dalam Kurikulum Pendidikan Agama di PTU dan UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat 2, pendidikan agama merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau pelatihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agam lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Berdasarkan pengertian pendidikan agama yang tertuang dalam kurikulum PTU dan UUSPN tersebut, pendidikan agama yang diselenggarakan di PTU diharapkan dapat membentuk kesalehan peserta didik baik kesalehan pribadi maupun kesalehan sosial, sehingga pendidikan tidak menumbuhkan semangat fanatisme, menumbuhkan sikap intoleran di kalangan mahasiswa dan masyarakat Indonesia dan memperlemah kerukunan hidup beragama serta kesatuan nasional. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang pluralistik memang sangat rentan munculnya konflik dan perpecahan masyarakat, sehingga pendidikan agama dalam kalangan mahasiswa, dapat dipandang sebagai pisau bermata dua, menjadi faktor pemersatu sekaligus faktor pemecah belah.
Fenomena semacam ini, menurut Muhaimin (2007: 77) paling tidak, akan ditentukan oleh: (1) teologi agama dan doktrin ajarannya, (2) sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayati agama tersebut, (3) lingkungan sosio-kultural yang mengelilinginya, dan (4) peranan dan pengaruh dosen yang mengarahkannya.
Jadi, tujuan pendidikan agama yang diberikan pada mahasiswa secara umum dalam rangka membentuk pribadi-pribadi yang saleh, baik saleh kepada Tuhan maupun saleh kepada sesamanya. Dalam konteks ini, pendidikan agama ingin membentuk mahasiswa agar menciptakan kebaikan baik untuk dirinya maupun untuk masyarakatnya, baik berkaitan dengan aspek ibadah maupun muamalah, baik urusan pribadi maupun uruan publik, yang implikasinya dapat menciptakan negara yang baldah thayyibah wa rabbun ghafûr. Tujuan ideal pendidikan agama tidak lain menciptakan pribadi yang saleh, membentuk calon anggota masyarakat yang berbudi luhur, dan mencetak calon-calon pemimpin yang memiliki kepribadian yang penuh tauladan.
Berdasarkan landasan penyelenggaraan pendidikan agama di perguruan tinggi, maka pendidikan agama sesuai UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat 2, merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan yang maha esa sesuai dengan agama yang dianut para peserta didik. Mata kuliah pendidikan agama di perguruan tinggi merupakan bentuk penyelenggaraan dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, manusia yang beriman kepada Tuhan dan berbudi pekerti luhur, mempunyai pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
D. Eksistensi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia
Pradigma baru Perguruan Tinggi
Dilihat dari perpesktif perkembangan nasional dan global maka konsep paradigma baru bagi Perguruan Tinggi di Indonesia merupakan sebuah keharusan termasuk didalamnya adalah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Sebagimana dikemukakan dalam visi Dalam dunia yang tengah berubah sangat cepat, terdapat kebutuhan mendesak bagi adanya visi dan paradigma baru Perguruan Tinggi. Paradigma baru itu, mau tidak mau, melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Dengan reformasi dan perubahan Perguruan Tinggi dapat melayani kebutuhan yang lebih beragam bagi lebih banyak orang dengan pelayanan pendidikan, metode, dan penyampaian pendidikan berdasarkan jenis dan bentuk-bentuk baru hubungan dengan masyarakat dan sektor-sektor masyarakat lebih luas.
Pradigma baru Perguruan Tinggi yang sekarang ini di Indonesia menjadi kerangka dan landasan pengembangan Perguruan Tinggi merupakan hasil dari pembahasan dan perumusan yang telah dilakukan sejak waktu yang lama baik pada tingkat nasional maupun internasional. Sekali lagi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional juga tidak bisa melepaskan diri dari perumusan-perumusan yang berkembang dari waktu ke waktu itu. Kajian ulang terhadap kinerja Perguruan Tinggi secara komprehensif, yang menghasilkan pemikiran dan konsep baru tentang pengembangan Perguruan Tinggi, bisa kita lihat misalnya dalam kerangka yang diajukan oleh D.A.
Tisna Amijaya, Sebelum memberikan kerangka pengembangan Perguruan Tinggi jangka panjang, ia mengidentifikasi lima masalah besar yang dihadapi Perguruan Tinggi pada umumnya: (1) Produktivitas yang rendah, (2) Keterbatasan daya tampung, (3) Keterbatasan kemampuan berkembang, (4) Kepincangan di antara berbagai Perguruan Tinggi, (5) Distribusi yang tidak seimbang dalam bidang-bidang ilmu yang disediakan Perguruan Tinggi, khususnya di antara ilmu-ilmu sosial dan humaniora dengan ilmu-ilmu eksakta.
Untuk mengatasi berbagai kelemahan ini, Amijaya mengajukan lima program besar:
1. Peningkatan produktivitas Perguruan Tinggi
1. Peningkatan daya tampung
2. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat
3. Peningkatan bidang keilmuan eksakta atau iptek
4. Peningkatan kemampuan berkembang.
Namun dalam hal ini program tidak banyak berhasil, karena terdapat berbagai kendala, khususnya dilingkungan perguruan tinggi sendiri dan kebijakan pendidikan Nasional yang masih tetap sangat sentralistik dan kaku, sebab itu sebuah konsep program pengembangan perguruan tinggi jangka panjang 1986-1995 yang sedikit berbeda.
Menurut Sukadji Ranuwihardjo ada beberapa konsep program yang harus dirumuskan kembali yakni, pertama, peningkatan kualitas di perguruan tinggi, prukdivitas, peningkatan relevansi, perluasan kesempatan memperoleh pendidikan. Berdasarkan konsep ini sebagian besar dilanjutkan dengan perumusan “pradigma baru” perguruan tinggi sebagimana terdapat dalam rencana jangka panjang.
Rencana jangka panjang ini sejak semula memang disebut sebagai paradigma baru Perguruan Tinggi. Paradigma baru ini pada dasarnya bertujuan untuk merumuskan kembali peran negara dan Perguruan Tinggi, sehingga lebih memungkinkan bagi Perguruan Tinggi untuk berkembang lebih baik. Paradigma baru itu juga dimaksudkan untuk memberi panduan bagi pengembangan mekanisme baru guna memperkuat Perguruan Tinggi, seperti perencanaan atas dasar prinsip desentralisasi, evaluasi berkelanjutan terhadap kualitas, dan lain-lain. Peranan negara mengalami perubahan yang sangat signifikan dengan pengurangan peranan pemerintah. Pemerintah secara konseptual dan praktikal tidak lagi merupakan lembaga sentral yang menetapkan segala ketentuan secara rinci atau mengontrol secara terpusat seluruh gerak dan dinamika Perguruan Tinggi. Pemerintah dalam paradigma baru itu hanyalah memberikan kerangka dasar, memberikan insentif agar sumber daya manusia dan keuangan dapat dialokasikan kepada prioritas-prioritas terpenting pada Perguruan Tinggi, dan mendorong setiap Perguruan Tinggi meningkatkan standar kualitasnya.
Untuk memperjelas visi dan aksi Perguruan Tinggi seperti dirumuskan UNESCO, sangat relevan dengan paradigma baru Perguruan Tinggi di Indonesia, berikut beberapa bagian penting Deklarasi UNESCO:
1. Misi dan fungsi Perguruan Tinggi, deklarasi menegaskan bahwa misi dan nilai pokok Perguruan Tinggi adalah memberikan kontribusi kepada pembangunan yang berkelanjutan dan pengembangan masyarakat secara keseluruhan. Secara lebih spesifik adalah mendidik mahasiswa dan warganegara untuk memenuhi kebutuhan seluruh sektor aktivitas manusia dengan menawarkan kualifikasi yang relevan, termasuk pendidikan dan pelatihan profesional yang mengkombinasikan ilmu pengetahuan dan keahlian tingkat tinggi melalui matakuliah yang terus dirancang, dievaluasi secara ajeg, dan terus dikembangkan untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat dewasa ini dan masa datang.
2. Memberikan berbagai kesempatan kepada para peminat untuk memperoleh pendidikan tinggi sepanjang usia. Perguruan Tinggi memiliki misi dan fungsi memberikan kepada para penuntut ilmu sejumlah pilihan yang optimal dan fleksibilitas untuk masuk ke dalam dan keluar dari sistem pendidikan yang ada. Perguruan Tinggi juga harus memberikan kesempatan bagi pengembangan individu dan mobilitas sosial bagi pendidikan kewarganegaraan dan bagi partisipasi aktif dalam masyarakat. Dengan begitu, peserta didik akan memiliki visi yang mendunia, dan sekaligus mempunyai kapasitas membangun yang membumi.
3. Memajukan, menciptakan dan menyebarkan ilmu pengetahuan melalui riset dan memberikan keahlian yang relevan untuk membantu masyarakat umum dalam pengembangan budaya, sosial dan ekonomi, mengembangkan penelitian dalam bidang sains dan teknologi, ilmu sosial, humaniora dan seni kreatif.
4. Membantu untuk memahami, menafsirkan, memelihara, memperkuat, mengembangkan, dan menyebarkan budaya historis nasional, regional dan internasional dalam pluralisme dan keragaman budaya.
5. Membantu untuk melindungi dan memperkuat nilai-nilai sosial dengan menanamkan kepada generasi muda nilai-nilai yang membentuk dasar kewarganegaraan yang demokratis.
6. Memberikan kontribusi kepada pengembangan dan peningkatan pendidikan pada seluruh jenjangnya, termasuk pelatihan para guru.
Dengan demikian perguruan Tinggi harus menjadikan mahasiswa sebagai pusat atau orientasi dalam seluruh kegiatannya. Para pengambil kebijakan Perguruan Tinggi pada tingkat nasional dan institusional harus menjadikan para mahasiswa sebagai pusat dan memandang mereka sebagai mitra utama serta merupakan stakeholder yang paling penting dalam pembaharuan dan reformasi Perguruan Tinggi. Paradigma baru Perguruan Tinggi dalam konteks ini adalah keterlibatan mahasiswa menyangkut hal-hal tentang tingkat pendidikan, evaluasi, renovasi metode pengajaran dan kurikulum dan bahkan dalam perumusan kerangka kerja institusional Perguruan Tinggi, kebijaksanaan dan manajemen Perguruan Tinggi. Dalam konteks perumusan konsep pengembangan Perguruan Tinggi di Indonesia dapat mengacu pada rumusan Departemen Pendidikan Nasional.
1. Kemandirian lebih besar dalam pengelolaan atau otonomi. Otonomi seluas-luasnya atau setidaknya otonomi lebih luas, otonomi bukan saja dalam hal pengelolaan secara manajerial, tetapi juga dalam hal penentuan atau pemilihan kurikulum dalam rangka penyesuaian Perguruan Tinggi dengan dunia kerja atau kebutuhan pasar. Dengan demikian Perguruan Tinggi berfungsi selain untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang menguasai sains dan teknologi, ilmu-ilmu sosial dan humaniora, tetapi juga harus mengembangkan seluruh bidang tersebut melalui penelitian dan pengembangan.
2. Akuntabilitas, bukan hanya dalam hal pemanfaatan sumber-sumber keuangan secara lebih bertanggungjawab, tetapi juga dalam pengembangan keilmuan, kandungan pendidikan dan program-program yang diselenggarakan. Akuntabilitas ini tidak hanya kepada pemerintah sebagai pembina pendidikan atau pemberi sumber dana dan sumber daya lainnya, tetapi juga kepada masyarakat dan stake holder lainnya yang memakai dan memanfaatkan lulusan Perguruan Tinggi dan hasil pengembangan berbagai bidang ilmunya. Karena itu, di sini terkait pula akuntabilitas terhadap dunia profesi, dan masyarakat luas.
3. Jaminan lebih besar terhadap kualitas melalui evaluasi internal yang dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan, dan evaluasi eksternal yang sekarang ini dilakukan Badan Akreditasi Nasional (BAN). BAN harus meningkatkan fungsinya dengan menentukan standar-standar yang lebih fleksibel dan dinamis atau tidak kaku, sehingga tetap memungkinkan bagi Perguruan Tinggi untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan dan kebutuhan dunia kerja, juga harus melibatkan lebih banyak unsur stakeholder dalam organisasinya, sehingga memungkinkan terjadinya penilaian dan pengakuan yang sesungguhnya dari masyarakat, yang sangat berkepentingan dengan hasil-hasil Perguruan Tinggi.
E. Tantangan PTAI Era Globalisasi dan Informasi
Berbagai perubahan di era global yang di tandai dengan WTO, AFTA, APEC membuat masyarakat di masa depan akan sangat terbuka disertai ketergantungan kultural yang bersifat global. Tenaga kerja dari luar negeri yang akan masuk ke tanah air tidak dapat di bending. Kecendurngan ini diperkuat oleh laju perkembangan teknologi informasi dengan mudah dapat diakses dan dapat mengubah sikap moral, sosial dan intelektual seseorang dalam waktu cepat.
Tantangan di era globalisasi menuntut respons tepat dan cepat dari sistem pendidikan Islam secara keseluruhan. Maka dalam hal ini umat Islam tidak boleh berpangkau tangan dan menonton dari luar seluruh perkembangan yang terjadi. Dengan pemikiran inilah yang mendorong adanya gagasan tentang perkembangan IAIN (khususnya universitas tinggi) seperti di universitas Jakarta dan lainnya. Dibawah ini Depatemen Agama Repuplik Indonesia yang mencakup bukan hanya fakultas-fakultas Agama, tetapi juga fakultas umum dengan corak epistemology keilmuan dan etika moral keagamaan yang integralistik. Maka dalam konsep ini perlu dikembangkan kurikulumnya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengguna jasa IAIN di era globalisasi dan diperkuat tenaga pengajar dengan berbagai metode dan pendekatan baru dalam Islamic studies dan ilmu-ilmu social, sedangkan dalam fakultas umum perlu dibekali muatan-muatan spritualitas an moral kegamaan yang lebih terarah dan kritis dalam format integrated curuculum. Kemudian pengembanagn diharapkan melahirkan pendidikan Islam yang ideal dimasa depan.
F. Kurikulum di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
Subtansi pendidikan pada dasarnya adalah refleksi atas problem-problem aktual yang dihadapi dalam kehidupan nyata dimasyarakat. Proses pendidikan atau pengalaman belajar mahasiswa terbentuk kegiatan-kegiatan belajar yang mengutamakan kerjasama, berbagai pihak dalam mengapresiasi kepekaan terhadap persoalan kekinian. Oleh karena itu dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan berolak pada problem yang dihadapi masyarakat. Kemudian dalam proses pengalaman belajar mahasiswa adalah dengan cara memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta belajar secara kooperatif dan klaboratif berupaya mencari pemecahan terhadap roblem yang dihadapi menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik. Pembenahan kurikulm pad pendidikan tinggi senantiasa dilakukan dengan menyesuaikan kebutuhan masyarakat, dan isi pendidikan yang terus-menerus berkembang dan meningkat. Pembenahan kurikulm dilakukan pemerintah dengan beberap kali sampai yang terakhir KBK yang dilaksanakan secara serentak di semua lembaga pendidikan tahun 2004 ini.
Pembenahan kurikum perguruan tinggi agama Islam (PTAI) tahun 2004 dilakukan dengan mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam sistem pendidikan nasional yang menyangkut tentang fungsi dan tujuan pendidikan,isi kurikulum, perjenjangan pendidikan dalam jalur pendidikan sekolah, dan adanya dua macam muatan dalam kurikulum yang meliputi muatan nasional dan muatan institusional atau lokal. Fungsi kurikulum dapat diarahkan kepada pihak-pihak yang terkait antara lain Rektor/ ketua, pendidik, pejabat, dipertais, dan penerima lulusan.
G. Kelemahan Kurikulum di PTAI
1. Kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat, banyak prodi yang diminati masyarakt tetap dipertahankan
2. Kurang efektif, yakni tidak menjamin dihasilkannya lulusan yang sesuai dengan harapan
3. Kurang efesien, yakni banyaknya mata kuliah dan sks tidak menjamin dihasilkannya lulusan yang sesuai harapan.
4. Fleksibel, yakni PTAI kurang berani secara efektif dan bertanggung jawab mengubah kurikulum guna menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
5. Realibity rendah, tidak komunitatif (bisa menimbulkan banyak tafsir
6. Hanya berupa deretan mata kuliah
7. Berbasis (berfokus) pada mata kuliah/ penyampaian materi bukan pada tujuan kurekuler/ hasil belajar/ mutu lulusan
8. hubungan fungsional antar mata kuliah yang mengacu pada tjuan kurekuler kurang jelas.
Untuk mengatasi berbagai kelemahan tersebut, maka Direktur Pertais mengambil kebijakan tentang pengembangan kurikulum, yaitu: (1) kurikulum berbasis hasil, (2) kurikulum terdiri atas kurikulum institusional dan lain sebagainya.
Kebijakan tersebut mengandung makna bahwa : (1) kurikulum perlu dikembangkan menitikberatkan pada pencapaian target kompetensi daripada penguasaan materi, (2) lebih mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumberdaya pendidikan tersebut, (3) memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pelaksana pendidikan di PTAI untuk mengembangkan program pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan, (4) menggunakan prinsip kesatuan dalam pelaksanaan, (5) pengembangan kurikulum memuat sekelompok mata kuliah pengembangan kepribadian (MPB) pada semua program studi.
H. Prinsip Pengembangan KBK di PTAI
Dengan memperhatikan kecendurangan global nasional, maka pengembangan KBK di PTAI hendaknya mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Keimanan, budi pekerti luhur, dan nilai-nilai budaya
2. Penguatan integrasi nasional
3. Keseimbangan etika, logika, estetika dan kinestetika
4. Kesamaan memperoleh kesempatan
5. Perkembangan pengetahuan dan teknologi informasi
6. Pengembangan kecakapan hidup
7. Berpusat adanya mahasiswa
8. Pendekatan menyeluruh dan kemitraan.
I. Kesimpulan
Di dalam Kurikulum Pendidikan Agama di PTU dan UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat 2, pendidikan agama merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau pelatihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agam lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.
Eksistensi PTAI dilihat dari perpesktif perkembangan nasional dan global maka konsep paradigma baru bagi Perguruan Tinggi di Indonesia merupakan sebuah keharusan termasuk didalamnya adalah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Sebagimana dikemukakan dalam visi Dalam dunia yang tengah berubah sangat cepat, terdapat kebutuhan mendesak bagi adanya visi dan paradigma baru Perguruan Tinggi. Paradigma baru itu, mau tidak mau, melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Dengan reformasi dan perubahan Perguruan Tinggi dapat melayani kebutuhan yang lebih beragam bagi lebih banyak orang dengan pelayanan pendidikan, metode, dan penyampaian pendidikan berdasarkan jenis dan bentuk-bentuk baru hubungan dengan masyarakat dan sektor-sektor masyarakat lebih luas.
. lima masalah besar yang dihadapi Perguruan Tinggi pada umumnya: (1) Produktivitas yang rendah, (2) Keterbatasan daya tampung, (3) Keterbatasan kemampuan berkembang, (4) Kepincangan di antara berbagai Perguruan Tinggi, (5) Distribusi yang tidak seimbang dalam bidang-bidang ilmu yang disediakan Perguruan Tinggi, khususnya di antara ilmu-ilmu sosial dan humaniora dengan ilmu-ilmu eksakta.Untuk mengatasi berbagai kelemahan ini, Amijaya mengajukan lima program besar: (1) Peningkatan produktivitas Perguruan Tingg, (2) Peningkatan daya tampung (3) Peningkatan pelayanan kepada masyarakat, (4) Peningkatan bidang keilmuan eksakta atau iptek, (5) Peningkatan kemampuan berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Siddik Dja’far, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Citapustaka Media, 2006.
Brodionegoro Soetedjo, Pendidikan Islam Nasional Indonesia, Jakarta: Yayasan, IKIP Yogyakarta, 1981.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta: RajaGrafindo, 2007.
Alim M, Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim, Bandung: Rosdakarya, 2006.
Hidayat Komaruddin, Problem dan Prospek IAIN, Jakarta: Departemen Agama RI, 2000.
Abdullah Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2006.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2005.
No comments:
Post a Comment